PEMERINTAH Papua Niugini tetap bersikukuh bahwa tentara Indonesia telah melakukan pelanggaran perbatasan bulan lalu. Berbicara pada wartawan yang mencegatnya di bandar udara Halim Perdanakusuma hari Minggu lalu, menlu PNG Rabbie Namaliu menegaskan, "Saya kira, seperti dinyatakan dalam nota (protes), kami tetap yakin bahwa pasukan (Indonesia) telah melanggar perbatasan." Namaliu, yang tiba di Jakarta untuk menghadiri Sidang Tahunan Menlu ASEAN, sebagai peninjau, menurut rencana akan berunding dengan Menlu Mochtar dalam pekan ini. Dua pekan lalu, pemerintah PNG menyampaikan protes bahwa 21 Juni, 53 tentara Indonesia melintas perbatasan RI-PNG dan membakar 10 pondok di Desa Sowampa, 1,4 km dalam wilayah PNG. Nota itu juga berisi tuntutan ganti rugi atas pembakaran 10 pondok dan dibabatnya 171 pohon pisang, 109 pohon pinang, serta 10 pohon kelapa oleh para penyerbu itu. Pemerintah RI, lewat Menlu Mochtar dan Pangab Jenderal Benny Moerdani, membantah keras terjadinya pelanggaran itu. Menlu Mochtar menuding bahwa penyerbu itu adalah "pihak ketiga". Sedangkan Jenderal Benny menegaskan, baju tentara Indonesia "bisa dibikin di mana-mana" (TEMPO, 7 Juli 1984). Bantahan Indonesia tampaknya cukup beralasan. Hasil penelitian tim pencari fakta, antara lain dari dubes RI di Port Moresby Iman Soepomo dan pejabat Kementerian Luar Negeri PNG, yang Rabu pekan lalu mengunjungi Sowampa, mendukung bantahan RI. "Bukti-bukti bahwa yang melanggar perbatasan adalah tentara Indonesia sangat meragukan sekali," ujar seorang pejabat Deplu. Misalnya tentang jumlah "penyerbu". Tim pencari fakta telah mendengarkan keterangan sembilan saksi mata. Tiap orang menyebut jumlah yang berbeda. Ada yang menyebut 10 orang, ada yang 11 orang, dan ada pula yang mengatakan delapan orang. Mereka juga tidak bisa menjelaskan seragam dari "pasukan Indonesia" yang konon menyerbu pada malam hari. Mereka cuma menyebut, pakaian itu mirip seragam tentara. Para penyerbu itu meninggalkan beberapa barang, antara lain seragam dan ransel. Juga beberapa barang khas Indonesia, seperti bungkus rokok Gudang Garam dan Bentoel Merah, serta bungkus Sarimi. "Tapi barang semacam itu bisa dibeli di banyak tempat di perbatasan, bahkan di daerah PNG sekali pun," kata sebuah sumber TEMPO. Ada lagi kenang-kenangan dari para penyerbu itu. Pada dua batang pohon yang agak berjauhan, ditorehkan tulisan "Mr. Roy". "Jelas, itu bukan nama kebanyakan orang Indonesia. Apalagi orang Indonesia tidak pernah menyebut dirinya Mr. Bukti itu terlalu dibuat-buat," ujar sumber yang sama. Tanda kenangan itu diduga sengaja ditinggalkan untuk menimbulkan kesan bahwa para penyerbu itu "tentara Indonesia". Tim pencari fakta itu juga menemukan kejanggalan lain. Bekas gubuk yang dibakar juga sulit dibuktikan apakah bekas gubuk atau tumpukan kayu yang dibakar. Lokasi permukiman yang konon diserbu terletak di daerah yang sangat terpencil, dan tampaknya bukan permukiman permanen. "Jadi, semua bukti tadi sangat menyangsikan. Sangat boleh jadi penyerbuan itu dilakukan OPM," kata seorang pejabat Indonesia. Dalam suatu wawancara khusus dengan TEMPO, pekan lalu, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan, keributan di perbatasan akhir-akhir ini dilakukan OPM untuk menimbulkan ketegangan, dan kalau bisa sengketa, antara RI dan PNG. Setelah dipatahkannya gerombolan Rumkorem dan Jakob Prai yang agak besar dan terorganisasi, rupanya OPM mengubah taktik dan meninggalkan cara perlawanan bersenjata secara terang-terangan. "Kekuatan mereka sudah berkurang, hingga mereka mengubah taktik menjadi taktik pengacauan, terorisme, dan penghasutan," kata Mochtar. Menurut Mochtar, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah ini adalah kerja sama RI dengan PNG untuk bersama-sama menjaga perbatasan. Ajakan ini sudah lama diajukan. "Tapi pemerintah PNG selalu tak bersedia, antara lain karena hal itu mahal atau karena tak punya pasukan," kata Mochtar. Ia berharap, berbagai kejadian yang belakangan ini terjadi di wilayah PNG sendiri, seperti perusakan kampung dan penculikan guru, bisa menambah kesadaran PNG untuk melihat perlunya kerja sama itu. Penculikan guru tersebut terjadi akhir Juni lalu. Damien Makalaiyu, kepala sekolah dasar di Desa lafa, di wilayah Imonda, PNG, konon diculik dua orang tak dikenal di sekolahnya. Pemerintah PNG kabarnya sangat marah atas kejadian itu, dan mengultimatum agar Damien dibebaskan sebelum 3 Juli pukul 15.00. Ancaman itu berhasil. Guru tadi dibebaskan oleh gerombolan penculiknya di Desa Wahai, dekat perbatasan, tanpa syarat, sebelum batas waktunya. APAKAH insiden itu akan menggerakkan pemerintah PNG untuk bekerja sama menjaga keamanan perbatasan masih harus ditunggu. Kedua pihak, RI dan PNG, tampak menahan diri dan tidak ingin melihat terjadinya sengketa terbuka. "Antara kita dan PNG saat ini dalam taraf memupuk saling percaya. Karena itu, kita harus selalu berusaha mencegah adanya hal-hal yang bisa merusakkan hubungan. Daerah perbatasan selama ini menjadi daerah yang leluasa bagi para pengacau. Kita harus mengajak PNG bekerja sama menjaga perbatasan," kata Menlu Mochtar. Bentuk dan tingkat kerja sama itu terserah pada PNG. Menurut Menlu, di tingkat pertama, kerja sama ini bisa berupa tukar-menukar informasi. Tingkat berikutnya: koordinasi patroli perbatasan. Masing-masing mematroli perbatasannya sendiri, asal saling memberitahu. "Akhirnya, kita bisa mengadakan patroli bersama, seperti yang telah dilakukan dengan Malaysia dan Filipina," kata Mochtar. Ia optimistis kerja sama erat dengan PNG suatu waktu akan terlaksana. "Kita harus sabar," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini