SORE segera padam ketika dua buah speedboat merapat di sebuah gubuk di tepi hamparan tambak Tanjung Berukang, Kalimantan Timur, Senin pekan lalu. Beberapa orang tampak turun, disambut perlawanan "kecil", seorang penunggu tambak yang panik menghadang tamu yang melompat dari atas speedboat itu dengan sambaran kelewang. Luput. Sang tamu?yang ternyata adalah anggota tim gabungan Markas Besar Polri?malah berhasil meringkus penyerangnya. Sore itu polisi dari Jakarta itu mendapatkan "kakap": dua tersangka pelaku bom Bali, Ali Imron dan Mubarok.
Keduanya tepat memilih Tanjung Berukang sebagai liang persembunyian. Tempat itu sulit dijangkau manusia. Satu dari sepuluh tanjung di muara Sungai Mahakam itu dikenal sebagai sarang buaya. Hutan bakaunya yang lebat juga sangat sunyi. Di tengah hamparan tambak, ada gubuk-gubuk penunggu milik buruh tambak?yang kebanyakan datang dari Malang, Lamongan, atau Kediri di Jawa Timur. Di salah satu gubuk itulah Ali Imron, 30 tahun, ditangkap. Sang juragan tambak, Muhajir, dianggap melindungi Ali Imron dan kini turut dijadikan tersangka.
Ali, laki-laki asal Lamongan itu, adalah saudara laki-laki termuda dari Muchlas dan Amrozi?dua tersangka bom Bali. Ali menghilang sehari setelah Amrozi ditangkap pada 5 November 2002. Ketika pada November 2002 polisi menggerebek Pondok Pesantren Al-Islam di Tenggulun, Lamongan, Ali Imron dikabarkan sudah sampai di Samarinda. Ia agaknya sengaja menghindar dari aparat. "Tapi ia masih merasa tidak aman, lalu kembali ke Jawa Timur," tutur Komisaris Besar Polisi Abdul Madjid, Kepala Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Pada akhir Desember, ia kembali lagi ke Tanjung Berukang, dengan nama samaran Muhammad Toha, untuk membantu panen udang di tambak milik Muhajir itu. Kedatangan kedua ini tercium polisi.
Mubarok, rekan Ali Imron, tiba lebih dulu di Samarinda pada bulan Desember itu. Ia menggunakan nama palsu, Hutomo Pamungkas. Rencananya, mereka akan tinggal selama tiga pekan di Tanjung Berukang, sebelum menyeberang ke Sabah lewat Nunukan.
Tapi polisi lebih cepat mencokok mereka. Awalnya, polisi menciduk Khaerul Anam, teman Ali dan Mubarok di Lamongan, pada Desember lalu. Anam "bernyanyi" bahwa ia dan seorang kawannya mengantar Ali Imron sampai ke Kuala Pembuang di Kalimantan Tengah dengan menumpang kapal pengangkut kayu. Ali berangkat dari Surabaya pada pertengahan November 2002.
Rupanya, ia memilih wilayah itu karena di sana ia banyak mempunyai teman sesama alumni Pondok Pesantren Al-Islam Lamongan maupun Al-Mukmin Solo. Dari Kuala Pembuang, Imron, dibantu Firmansyah, beringsut ke Sampit. Lantas dengan mobil travel, Imron bertolak menuju Banjarmasin di Kalimantan Selatan. Dari situ ia melanjutkan "perjalanan" ke Samarinda, Kalimantan Timur.
Di Samarinda, Imron menemui Mbah Giman, seorang alumni Ngruki yang disegani, yang kemudian mengantarnya ke rumah Ustad Sirojul Munir di Balikpapan. Ali Imron?dan juga Mubarok?diketahui menerima bantuan uang dari sejumlah orang di Balikpapan dan Samarinda.
Ustad Sirojul Munir kemudian ditangkap polisi, 7 Januari lalu. Dari sinilah pintu terkuak lebih lebar. Orang-orang di sekitar Ali Imron dan Mubarok segera ditahan dan diperiksa. Persembunyian Imron dan Mubarok pun segera dilacak.
Info yang diterima polisi menyebut bahwa Imron ada di Tanjung Berukang sejak 27 Desember. Kepergiannya ke "pulau" terpencil yang menghadap langsung ke Selat Makassar itu diantar Yunus, Imam Santosa, dan seorang lagi yang saat ini masih diburu. Dua orang terakhir inilah yang kemudian menunjukkan lokasi persembunyian Imron dan Mubarok kepada polisi?tepat pada hari pengiriman jatah makanan mereka.
Maka, sejak awal Januari, Tim Investigasi Bom Bali yang dipimpin Brigjen Polisi Gorries Mere sudah berada di Balikpapan. Mereka melakukan pengamatan di sekitar Tanjung Berukang. Karena info yang masuk waktu itu masih samar-samar, Gorries dan timnya kemudian kembali ke Jakarta. Tak lama setelah itu, dengan bekal info yang lebih pasti dari pengakuan Anam, Gorries kembali ke Balikpapan.
Menurut Wakil Ketua Tim Investigasi, Brigjen Edi Darnadi, peran dan kesaksian Imron dan Mubarok amat penting dalam kasus bom Bali. "Imron adalah sopir pembawa mobil L-300 ke lokasi ledakan di Sari Club. Dia pula yang bersama Amrozi membawa bahan bom dari Lamongan ke Bali," kata Edi Darnadi. Imron, guru di Pondok Al-Islam ini, juga disebut sebagai pemilik senjata dan amunisi yang ditemukan di hutan Dadapan.
Adapun Mubarok, menurut versi polisi, adalah penyalur dana hasil perampokan toko emas di Serang. Perampokan itu dilakukan oleh Rauf dan Yudi?yang merupakan anggota kelompok Imam Samudra atau disebut kelompok Serang?dan kabarnya dana perampokan itu dipakai untuk membiayai peledakan bom.
Ali Imron rupanya "orang penting" di jaringannya. Polisi mengaku, dari kesaksian Imron di Samarinda bisa diketahui sejumlah amunisi dan senjata yang dipendam di rumah tiga kolega Imron di Lamongan. Senjata yang ditemukan, menurut polisi, adalah berbagai jenis pistol dan pelurunya, satu setengah kuintal potasium klorat, juga sejumlah buku tentang Jamaah Islamiyah. Polisi mengatakan, dari dokumen itu terungkap bahwa Imron adalah ahli senjata.
Imron ini juga diidentifikasi polisi sebagai salah satu perakit bom yang meledak di Kuta. Di depan polisi, kabarnya, Imron mengaku terkejut dengan waktu meledaknya bom. "Seharusnya bom tidak meledak bersamaan," kata Imron, seperti dikutip dari polisi. Ledakan bom di tiga tempat?di simpang empat Renon, Paddy's Café, dan Sari Club?mestinya tidak terjadi bersamaan dalam selisih detik, tapi berjarak hitungan menit.
Imron, demikian kata polisi, mengatakan bahwa seharusnya bom di Renon meledak lebih dulu, menyusul bom di Paddy's, baru kemudian Sari Club. Menurut juru bicara tim investigasi bom Bali, Komisaris Besar Polisi Zainuri Lubis, ledakan berenteng itu kemungkinan akibat korsleting pada handphone yang dijadikan alat pemicu bom di Renon. Bisa juga itu pengaruh getaran akibat ledakan di Renon.
Benarkah ada "penumpang gelap" dalam peledakan bom Bali ini? Mungkin polisi harus cepat-cepat menangkap Dulmatin alias Joko Pitono, jika ia benar perakit ketiga bom itu.
Arif A. Kuswardono, Syarief Amir (Tanjung Berukang)
--------------------------------------------------------------------------------
Pelarian Ali Imron
16 Januari:
Para tersangka dipindahkan ke Markas Polda Kalimantan Timur di Balikpapan. Mereka kemudian diterbangkan ke Bali.
12 Oktober 2002:
Ledakan terjadi. Ali Imron menyetir mobil Mitsubishi
L-300 yang berisi bom bersama Iqbal dan seorang tersangka lain.
6 November 2002:
Ali Imron kabur dari Pondok Pesantren Al-Islam Lamongan. Sehari sebe-lumnya, polisi menangkap Amrozi, kakak kandungnya. Karena masih merasa tidak aman, tak lama kemudian ia kembali ke Lamongan.
27 Desember 2002:
Ali Imron kembali ke Samarinda dan bersembunyi di Tanjung Berukang.
2 Januari:
Tim Investigasi Mabes Polri tiba di Balikpapan dan mengintai Tanjung Berukang. Informasi dianggap sumir. Tim kembali ke Jakarta.
10 Januari:
Tim gabungan Markas Besar Polisi, Polda Kalimantan Timur, dan Polisi Kota Samarinda melakukan pengintaian intensif di Tanjung Berukang.
13 Januari:
Diperoleh informasi Ali Imron dan Mubarok berada di salah satu tambak. Penyergapan dilakukan di ambang petang. Ali dan Mubarok tidak melawan. Kedua tersangka diperiksa di pos pengintaian yang berada di sebuah lokasi tambang, 1 mil jaraknya dari Tanjung Berukang.
14 Januari:
Ali Imron dan Mubarok diterbangkan ke Balikpapan. Mereka disembunyikan di suatu tempat. Sedangkan 12 tersangka lain diperiksa di Polres Kutai Kertanegara di Tenggarong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini