SEKALIPUN dibilang pendatang haram, ternyata mereka bisa juga meradang. Selasa, 7 Januari lalu, penjara Pudu di Kuala Lumpur geger. Para sipir hanya bisa bengong melihat 106 makanan yang mereka bagikan kembali utuh. Bukan karena para narapidana itu bosan dengan makanan penjara, tapi ini aksi protes. Dan, aksi itu semakin luas esoknya, sepuluh orang lagi bergabung. Pemicu protes ini bukanlah perkara politik tinggi. Para pemogok makan ini dulunya adalah buruh-buruh gelap asal Indonesia, yang sial tertangkap basah. Pengadilan Rendah Malaysia lantas mengganjar mereka dengan hukuman antara satu sampai tiga bulan penjara. Ini sudah mereka jalani. Bekas buruh gelap, yang mestinya sudah bisa menikmati hawa kemerdekaan ini, mencapai 1.100 orang lebih. Di sinilah lalu muncul adu otot leher gaya Melayu. "Pihak Indonesia yang punya tanggung jawab membiayai deportasi warga negaranya sendiri, bukan kami," kata Deputi Menteri Dalam negeri Malaysia, Datuk Megat Junid Megat Ayob. Pihak Indonesia lain lagi pedomannya. "Lo, kan sudah menjadi kebiasaan internasional, negara yang mendeportasi yang menangggung biaya. Bukan negara asal pendatang," kata Soenarso Djajusman, Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Maka, terkatung-katunglah para orang sial ini. Melepas mereka dari penjara, Pemerintah Malaysia tak mau. Para pendatang haram ini tak punya paspor. Akibatnya, sudah ada yang dua bulan, bahkan lima bulan, menghabiskan waktunya di bui. Mogok makanlah mereka, memrotes. Untuk sementara, aksi protes ini akhirnya bisa diredakan setelah Kedubes Indonesia mengirim Kepala Bidang Konsuler, Hargianto Sutarto untuk membujuk. Namun, bagaimana kelanjutan nasib mereka masih gelap. Debat kusir itu harihari ini masih terus berlangung. Malaysia berkeras akan terus menampung mereka di Pudu. Alasannya, orang-orang ini tidak berpaspor, jadi tak bisa dibiarkan berkeliaran di luar penjara. Tindakan ini, menurut anggapan Malaysia, bukanlah pelanggaran hak asasi. "Mereka kan tak ditahan, tapi ditampung sementara menunggu pemulangan," kata sebuah sumber di Kementerian Dalam Negeri. Soal kapan mau dipulangkan, bergantung pada Indonesia. Sedangkan Kedubes Indonesia, untuk sementara, baru mengurus mereka yang punya duit agar bisa pulang dengan biaya sendiri. Terpaksa ada yang melolosi kalung emas dan barang lain yang bisa dijual untuk ongkos pulang. Sejauh ini baru ada sepuluh orang yang berhasil pulang dengan biaya sendiri. Bagaimana nasib seribu lebih sisanya, belum jelas. Sebuah sumber di Departemen Luar Negeri Indonesia mengakui rumitnya soal ini. Sebenarnya, Indonesia dan Malaysia punya dua perjanjian soal keimigrasian. Satu, mengatur soal pelintas batas, satu lagi mengatur pengerahan tenaga kerja resmi. Celakanya, untuk orang-orang di luar perjanjian tadi alias pendatang haram, petunjuk pelaksanaan yang rinci belum ada. "Masalah ini dibahas dalam komisi bersama yang bersidang Oktober tahun lalu, tapi belum tuntas," kata sumber tadi. Dan selama ini, tak ada perjanjian baik internasional maupun bilateral antara Indonesia dan Malaysia yang mengatur bahwa biaya deportasi ditanggung negara yang mendeportasi. Maka, masih akan ada perundingan panjang lagi tentang soal ini. Bisa jadi, ribut-ribut siapa yang mesti membayar ini akhirnya tak lagi soal duit. Sebab, kalau dihitung-hitung ongkos memulangkan orang-orang Indonesia ini tidaklah mahal. Dari Johor ke Batam misalnya, ongkosnya hanya sekitar Rp 18 ribu seorang naik feri. Tinggal ongkos dari Batam ke kampung halamannya. Siapa tanggung? Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur), Liston P. Siregar, YH (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini