Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAKSI Putra itu tiba-tiba berhenti. Di depan CV Pelangi, agen tiket bus antarprovinsi di Jalan Letnan Jenderal Sutoyo, Cawang, Jakarta Timur, Rabu siang pekan lalu, tiga lelaki separuh baya turun. Seorang yang menenteng tas dan bungkusan dijemput pengendara sepeda motor Honda Revo yang datang dari arah Cililitan.
Dua lainnya berdiri di pinggir jalan, lalu beranjak pergi. ”Saya sempat menawari mereka tiket bus ke Sumatera,” kata Desy, karyawati CV Pelangi, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Selang beberapa saat, 15 anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror bersenjata pistol berhamburan. Mereka menyerbu ke arah dua lelaki yang berjalan kaki. Sebagian lain mengejar pria yang dijem-put sepeda motor. ”Jangan lari,” terdengar teriakan dari para pria berpistol.
Seorang yang dikejar melawan: menghunus revolver dari balik bajunya. Terdengar tembakan, dari arah polisi. Tiga penumpang taksi tadi tersungkur. Darah mengucur dan berserakan di sepanjang jalan. Di kaus kaki salah satu penumpang ditemukan uang Rp 5 juta. Menurut polisi, ada juga peluru AK-47 dan M16 dalam jumlah besar.
Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Edward Aritonang memastikan salah seorang yang tewas itu Maulana. Pria ini masuk daftar pencarian orang karena diduga terlibat peledakan bom Kuningan dan JW Marriott. ”Dia yang mencoba menembak petugas,” kata Edward.
Nama lengkapnya Ahmad Sayid Maulana. Dalam catatan Tempo, dia dibesarkan di daerah Pejompongan, Jakarta Barat, dan bergabung dengan Darul Islam setelah lulus sekolah menengah umum pada 1994. Pada September 2003, dia berangkat ke Mindanao, Filipina Selatan, untuk ikut latihan merakit bom.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia ditahan polisi Malaysia di Pelabuhan Sandakan, Negara Bagian Sabah. ”Dia sudah lama jadi target kami,” kata Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Tiga jam setelah penembakan di Cawang, anggota kesatuan Detasemen 88 memecah keheningan Kampung Babakan Jati, Desa Cikampek Timur, 73 kilometer arah timur Jakarta. Belasan orang bersenjata lengkap mengepung rumah Eman Sulaeman, 35 tahun, penduduk kampung itu.
Ada serentetan tembakan, tapi tak lama. Sempat mencoba melawan, Eman akhirnya menyerah setelah pintu rumahnya didobrak. Detasemen mengklaim menemukan sarung senjata revolver dan 15 buku agama di rumah itu.
Sepelemparan batu dari rumah Eman, dalam waktu hampir bersamaan, puluhan petugas Detasemen menyerbu rumah kontrakan milik Hajah Dimah. Dua lelaki tersungkur bersimbah darah di dalam rumah itu. Edward Aritonang menyatakan salah satu korban tewas itu bernama Saptono, adik Pura Sudarma alias Jaja, yang mati ditembak polisi di Leupung, Aceh, Maret lalu.
Menurut polisi, Saptono bersama kakaknya diduga terlibat pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 2004. Keduanya bergabung dengan Jamaah Islamiyah di Poso, Sulawesi Tengah. Jaja dan Saptono juga melatih milisi di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Dua orang ini pernah digerebek polisi di sebuah rumah di Sazirah, Banten, pada 2000. Ketika itu ditemukan 13 pucuk senjata yang diselundupkan dari Filipina.
Jenazah Saptono dapat diidentifikasi. Mayat lainnya belum diketahui identitasnya. Sumber Tempo mengatakan, dari ciri fisik lelaki itu, wajah jenazah sangat mirip Umar Patek. ”Bentuk muka dan kening persis sama,” ujar sumber itu.
Umar, kelahiran 1970, adalah alumnus kamp Afganistan dengan rekam jejak fantastis. Dia pernah ikut berperang di Mindanao, dan dituduh berperan penting dalam Bom Bali I yang menewaskan 202 orang pada Oktober 2002.
Sumber tadi melanjutkan, meski rekonstruksi wajah sangat mirip, untuk memastikannya polisi harus tetap melakukan tes DNA terhadap orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan Umar Patek. ”Data pembanding DNA ini yang sedang dicari polisi sekarang,” katanya.
KAMIS, 13 Mei. Suasana pagi yang biasa hening di Desa Baki Pandeyan, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, sontak bergolak. Puluhan anggota Detasemen Khusus Antiteror mengepung sebuah bangunan yang menyediakan jasa setrum aki. Pada bangunan itu terpampang merek Toko Abadi.
Di dalam bengkel ini, menurut polisi, ditemukan satu senjata M16, satu revolver, ratusan peluru, rompi, dan puluhan buku tentang jihad. Secara bersamaan, petugas Detasemen juga meringkus tiga lelaki yang diduga teroris. Satu dari mereka adalah Heri Suranto, karyawan di sebuah sekolah. Dari rumah mertua Heri, petugas menyita tiga CPU komputer.
Tidak ditemukannya bahan peledak di tiga lokasi penggerebekan, menurut mantan pemimpin Jamaah Islamiyah, Nassir Abbas, menunjukkan perubahan strategi para teroris. Mereka lebih menginginkan perang terbuka dengan menggunakan senjata ketimbang memakai bom bunuh diri. ”Pilihan ini juga akibat sulitnya mencari bahan pembuat bom saat ini,” katanya.
Indikasi ini dibenarkan Jenderal Bambang Hendarso. Menurut dia, selain mengubah pola serangan, jaringan teroris telah berubah bentuk. ”Banyak muka baru, dan mereka mulai membuka kolaborasi antarkelompok radikal,” katanya.
Kelompok teroris ini, Bambang melanjutkan, sudah memiliki kemampuan mendeteksi serangan dan menghindari deteksi. Caranya dengan merekrut anggota polisi ke dalam jaringan.
Namun seorang perwira polisi punya pandangan lain. Menurut dia, tidak ditemukannya bahan peledak lebih karena terputusnya aliran dana untuk menyokong kegiatan mereka. ”Senjata-senjata itu digunakan untuk merampok, atau fa’i dalam terminologi mereka,” katanya.
Menurut polisi, para tersangka yang ditangkap atau ditembak berkaitan dengan pelatihan kelompok bersenjata di Janto, Aceh. Digerebek polisi pada Maret lalu, pengikut kelompok itu kocar-kacir. Sebagian lari ke luar Aceh, melewati gunung dan ngarai. Sebagian ditembak polisi.
Kembalinya ”gerombolan” Aceh ini ke Pulau Jawa juga disinyalir memiliki target khusus. Bambang Hendarso mengatakan, setelah ditumpas di wilayah Pegunungan Janto, Aceh, para teroris di bawah pimpinan Abdullah Sonata itu memasang dua target baru.
Sasaran pertama adalah membunuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pejabat tinggi negara, juga tamu kehormatan dari negeri sahabat. Rencananya, mereka akan melakukan serangan pada peringatan Kemerdekaan, 17 Agustus 2010. ”Setelah itu, akan dideklarasikan berdirinya Tanzim Al-Qaidah di Indonesia,” kata Bambang.
Target berikutnya, dia melanjutkan, adalah menguasai hotel-hotel tempat berkumpulnya orang asing. ”Lalu diledakkan,” katanya. ”Mereka ingin menjadikan Jakarta sebagai Mumbai kedua.”
Setri Yasra, Cornila Desyana, Puti Noviyanda, Yophiandi, Nanang Sutisna (Cikampek), Ahmad Rafiq (Sukoharjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo