Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nahas Sumini, Dosa Siapa ?

Sumini, 16, siswi SMEA, masuk gorong-gorong yang terendam air di Jalan Tendean, Jak-Sel. Mayatnya ditemukan di pintu kanal, penjaringan. Pemda DKI dikecam karena lalai. di Medan seorang korban got menggugat. (nas)

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM hujan di Jakarta, sekalipun tak separah tahun-tahun sebelumnya, mengambil korban lagi. Kali ini bukan karena terendam banjir kiriman, tapi karena soal sepele: gara-gara lubang riol yang tak ditutup. Ini terjadi dua minggu lalu ketika hari sedang hujan deras. Sumini, yang mencoba menghindar basah dengan berlari kecil di atas trotoar jalan Piere Tendean, Mampang, Jakarta Selatan, rupanya tak melihat ada lubang di depannya yang memang tak tampak karena terendam banjir. Akibatnya fatal. Siswi SMEA berumur 16 yang hari itu mau memfotocopikan undangan makan rujak buat teman-teman sekolahnya terperosok masuk ke dalam gorong-gorong yang airnya deras. Ia langsung hanyut dan tewas. Jasadnya baru ditemukan tiga hari setelah kejadian, di pintu terusan banjir kanal, Penjaringan, Jakarta Utara, sekitar 15 km dari tempat gadis malang itu kecemplung. Kematian tragis, yang bukan pertama kali terjadi di Jakarta itu (tahun lalu kasus yang hampir sama pernah terjadi), menimbulkan reaksi tajam dari mana-mana. Tak kurang Ketua DPR Amirmachmud, kali ini ikut bicara. "Pejabat atau pemborong yang bertanggung jawab atas riol itu harus ditindak dan diusut tuntas," katanya dengan nada berang. Ia terus terang menilai kasus itu bisa terjadi karena kecerobohan aparat pemerintah dan pemborong semata-mata. Dan karena menyangkut jiwa manusia, kasus ini menurut dia tak bisa dibiarkan begitu saja. "Harus dituntut, karena tertimpa pohon saja sebenarnya seorang warga bisa menuntut wali kotanya, " ujar bekas menteri dalam negeri itu. Sejumlah pengacara di Jakarta juga menyesalkan Pemda DKI. Advokat Palmer Simorang, misalnya, menganggap Pemda DKI bisa dlpidanakan, karena sudah melanggar KUHP pasal 359, yakni, kelalaian yang mengakibatkan matinya orang lain. Gencarnya reaksi menyebabkan Gubernur DKI R. Soeprapto sulit untuk tidak membela diri. "Jangan karena satu orang korban, Pemda DKI dipojokkan. Yang terpenting, masyarakat juga harus berhati-hati," kata Soeprapto, agak kesal. Bukan berarti Pemda DKI mau lepas tangan. Sebab, seperti dikatakan Wakil Gubernur Anwar Umar, Pemda DKI, hingga Sabtu pekan lalu, masih mengevaluasi kasus tersebut. "Semua perangkat Pemda tentu saja ikut merasakan kepedihan karena kasus kematian Sumini itu," kata Umar. Toh, ia menyatakan "tidak tahu" ketika ditanya siapa sebenarnya yang bersalah dalam kasus tersebut. Ilmar hanya mengatakan riol yang ada di Jalan Tendean itu memang dibiarkan t terbuka. Antara lain, maksudnya, agar air yang tergenang di jalan raya, jika hujan turun, bisa segera disalurkan ke kali lewat gorong-gorong itu. Namun, belakangan ini, katanya lagi, oleh beberapa pedagang yang mau berjualan, gorong-gorong itu ditutup. Bagi keluarga korban, musibah ini tampaknya diterima sebagai nasib. Kendati sudah ada usul dari Ketua DPR agar kasus ini diperkarakan, mereka tetap tak mau menuntut. "Sudah takdir, biarlah, kami tidak akan menuntut," kata Samin Sukardjo, 45, ayah Sumini. Pedagang kelontong, ayah 9 anak Sumini anak kelimanya -- asal Cilacap, Jawa Tengah, ini merasa terlalu membuang waktu jika ia mengajukan tuntutan. Padahal, "Karena musibah yang baru saja terjadi, sudah 11 hari saya tak jualan," katanya. Sikap Samin sungguh berbeda dengan Galung Hutabarat, 67, seorang pekerja serabutan di Medan. Ayah 6 anak dan kakek berapa cucu ini, bersamaan dengan ditemukannya mayat Sumini, sudah memasukkan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan. Ia menggugat pemerintah yang dianggapnya bertanggung jawab atas kecelakaan yang dialaminya pada 24 Oktober tahun lalu. Waktu itu, Galung sedang mengendarai sepeda motor membonceng cucunya. Di persimpangan Jalan Pasar Peringgan, Medan Baru, kendaraannya tiba-tiba terperosok ke sebuah lubang berukuran 60 X 60 cm dengan dalam sekitar setengah meter. Akibatnya, Galung dan cucunya cedera. Sempat berobat tiga bulan, ia kemudian melapor ke LBH dan kemudian menuntut ganti rugi sekitar Rp 7,5 juta. LBH Medan memang sangat bersemangat menyalurkan gugatan Galung. "Sebab, ini kesadaran baru di bidang hukum," kata Direktur LBH Medan Kamaluddin Lubis kepada Bersihar Lubis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus