Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam simulasi pemungutan dan penghitungan suara yang digelar di Tangerang, Banten, Agustus tahun lalu, KPU menyaksikan petugas tak mampu menyelesaikan tugasnya sebelum hari berganti.
Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan beban petugas pada pemilu kali ini lebih berat karena untuk pertama kalinya pemilihan presiden dan legislator diadakan berbarengan, sehingga ada satu surat suara lagi yang harus dihitung. Padahal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mewajibkan penghitungan dan rekapitulasi suara di TPS selesai sebelum tengah malam. “Dalam simulasi, kami melihat bahwa petugas sangat kelelahan dan tak bisa selesai tepat waktu,” ujar Pramono, Senin, 13 Mei lalu.
Untuk mengurangi beban petugas, KPU membuat terobosan. Caranya, kata Pramono, mengurangi jumlah pemilih di TPS dari semula maksimal 500 orang, sesuai dengan undang-undang, menjadi maksimal 300. Itu sebabnya jumlah TPS meningkat dari sekitar 500 ribu untuk pemilu legislatif pada 2014 menjadi 813 ribu. Otomatis, jumlah petugas pun meningkat dari sekitar 3,5 juta menjadi 5,6 juta orang.
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), lembaga pemerhati pemilu, menilai langkah KPU menambah TPS merupakan terobosan. Tapi Titi, yang mengikuti uji coba di Tangerang, mengatakan simulasi yang digelar KPU sebenarnya belum mampu menggambarkan beban yang ditanggung petugas TPS. Sebab, simulasi digelar dengan kondisi terlalu ideal, seperti ketiadaan antrean dan tidak ada saksi yang mempertanyakan proses penghitungan suara.
“Dalam simulasi itu, petugas juga tidak harus mendirikan tenda atau mengatur logistik. Mereka juga tidak perlu mengirimkan hasil rekapitulasi ke kecamatan,” ujarnya. Dengan pemilu presiden dan legislator berbarengan, Titi menghitung idealnya hanya ada 200 pemilih di tiap TPS. Tapi ini bisa berakibat pada pembengkakan biaya honor dan logistik, seperti kotak suara dan tinta.
Titi, yang mengunjungi sejumlah TPS pada hari-H, mengatakan proses rekapitulasi juga tetap tidak selesai sebelum tengah malam. Petugas pun terlihat kelelahan. Salah satu sebabnya, ada begitu banyak formulir C1—berisi rekapitulasi suara di TPS—yang harus ditandatangani petugas. Dengan satu saksi yang hadir saja, petugas harus 18 kali membubuhkan tanda tangan di formulir C1 untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Belum lagi C1 untuk DPRD dan Dewan Perwakilan Daerah.
Untungnya, Perludem dan sejumlah pegiat pemilu mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan waktu penghitungan dan rekapitulasi. Akhir Maret lalu, Mahkamah menambahkan waktu penghitungan dan rekapitulasi selama 12 jam.
Selain kelelahan, ada sejumlah petugas KPPS yang mengaku ketakutan dikira curang. Ini diakui Sih Sugiarti, istri Lilik Suswanto, 60 tahun, Ketua KPPS TPS Nomor 25, Desa Caturtunggal, Kelurahan Sagan, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang meninggal enam hari setelah pencoblosan. Menurut Sugiarti, suaminya khawatir terjadi pemungutan suara ulang di TPS yang dijaganya. “Kondisi kesehatannya jadi menurun,” ujar Sugiarti.
Mencegah peristiwa meninggalnya petugas TPS berulang, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Daeng M. Faqih mengatakan KPU perlu memperketat syarat kesehatan calon petugas. Tapi Titi Anggraini dan Pramono Ubaid mengatakan syarat kesehatan ini menjadi dilema karena peng-ujian memakan biaya.
PRAMONO, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo