Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di Balik Kompromi Gubernur Basuki

Mengaku pernah diberi uang untuk kampanye, Basuki berkukuh tak mengistimewakan Aguan dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta. Peran pimpinan DPRD makin benderang.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNNY Tanuwidjaja berdiri dari kursi ketika Sugianto Kusuma alias Aguan menghampirinya di ruang tunggu gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu pekan lalu. Setelah menyalami Aguan, setengah berbisik, anggota staf Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama itu bertanya, "Sudah siap diperiksa, Pak?" Aguan menjawab singkat. "Siap," katanya seperti ditirukan Sunny kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Sunny lalu mempersilakan Aguan duduk. Tak lama kemudian, Sunny pamit karena sudah diminta naik ke lantai delapan. Selang lima menit, Aguan menyusul ke lantai yang sama. Diperiksa di bilik terpisah, keduanya menjadi saksi dugaan suap untuk tersangka Mohamad Sanusi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Fraksi Gerindra. Hari itu, keduanya diperiksa delapan jam. "Saya dicecar 12 pertanyaan," kata Sunny, yang keluar sekitar 15 menit lebih awal daripada Aguan.

Kasus ini bergulir setelah penyidik KPK mencokok Sanusi di mal FX Sudirman, Jakarta Selatan, Kamis tiga pekan lalu. Kala itu, Sanusi baru saja menerima uang Rp 1 miliar dari Trinanda Prihantoro, Personal Assistant PT Agung Podomoro Land. Suap itu untuk memuluskan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Jakarta.

Ketika ditangkap, Sanusi membawa ransel dan tas hitam. Ransel berisi Rp 1 miliar. Adapun tas yang dia tenteng berisi US$ 8.000 dan Rp 140 juta. Duit Rp 140 juta itu sisa pemberian Trinanda sebelumnya, pada 28 Maret, yang totalnya Rp 1 miliar. Sanusi tak melawan sewaktu penyidik menggiringnya ke mobil Innova. Tapi ia sempat menghubungi keluarga dan beberapa koleganya di DPRD.

Kepada penyidik KPK, Sanusi dan Trinanda mengatakan duit menggelontor atas perintah Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja. Keesokan harinya, KPK mengumumkan Ariesman, Sanusi, dan Trinanda sebagai tersangka. Beberapa jam kemudian, Ariesman menyerahkan diri. Hari itu juga KPK meminta kantor Imigrasi mencegah Aguan ke luar negeri. Berselang sepekan, KPK meminta Imigrasi mencegah juga Sunny dan Richard Halim Kusuma-Direktur Agung Sedayu Group, yang juga anak Aguan.

Agung Sedayu dan Agung Podomoro termasuk pemilik izin reklamasi. Dalam Raperda Tata Ruang Pantura, pemerintah DKI Jakarta mengusulkan kontribusi tambahan 15 persen untuk semua pengembang pulau buatan.

* * * *

NAMA Sunny masuk pusaran kasus suap karena radar KPK menangkap dia berkomunikasi dengan Aguan pada Februari lalu. Aguan menanyakan peluang menurunkan kewajiban kontribusi tambahan menjadi lima persen. "Ada indikasi, Sunny menjanjikan sesuatu ke Aguan," kata seorang penegak hukum di KPK.

Komisi antikorupsi juga mendeteksi Sunny berbicara dengan Aguan, yang meminta kontribusi tambahan tidak masuk raperda, tapi cukup masuk peraturan gubernur. Dalam rapat Badan Legislasi, sejumlah anggota DPRD pun mengusulkan hal serupa. Meski anggota staf dia menolak, pada 16 Februari, Basuki menerima kontribusi tambahan 15 persen ditetapkan dalam peraturan gubernur. Padahal, sejak awal, ia ngotot ketentuan ini masuk raperda. Alasan Basuki, lewat peraturan gubernur, ia lebih mudah menetapkan kontribusi tambah'an 15 persen. "Itu seperti cek kosong saja," ujar Basuki.

Suatu waktu, ketika Sunny dan Aguan berkomunikasi lewat telepon, tim KPK mendeteksi suara Basuki. Dari suaranya, posisi sang Gubernur sepertinya dekat dengan Sunny. Tapi penegak hukum yang mengetahui komunikasi itu tak mau menjelaskan lebih detail. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengaku belum tahu soal ini. "Saya nguping dulu, ya," katanya.

Sunny mengaku pernah berkomunikasi dengan Aguan melalui telepon tentang raperda reklamasi. Tapi dia tak ingat kalau saat itu ada Basuki. Sedangkan Basuki mengaku tak tahu Sunny pernah menelepon Aguan di dekatnya. Tapi, kata dia, Sunny kerap menelepon orang tak jauh dari posisinya. Adapun Aguan, setelah diperiksa KPK, tak mau berkomentar tentang komunikasi dengan Sunny.

Sunny juga pernah tertangkap radar KPK menelepon Sanusi pada Februari lalu untuk membahas raperda reklamasi. Sanusi membenarkan hal itu ketika diperiksa KPK, Jumat tiga pekan lalu. Menurut Sanusi, ia menyampaikan pesan pengembang agar Basuki menurunkan kontribusi tambahan menjadi lima persen. "Kata Sunny, Gubernur sudah oke," ujar Sanusi kepada penyidik. Pengacara Sanusi, Krisna Murti, membenarkan keterangan kliennya. Sunny juga mengakui pernah berkomunikasi dengan Sanusi tentang raperda reklamasi.

Adapun Basuki mengaku tak pernah diajak berbicara oleh Sunny tentang permintaan Sanusi. Menurut Basuki, ia sempat menyetujui kontribusi tambahan masuk peraturan gubernur bukan karena dipengaruhi Sunny. Basuki memilih "berkompromi" karena Dewan mengancam tak mengesahkan dua peraturan daerah tentang reklamasi tersebut. "Dalam urusan reklamasi, gua enggak nerima duit dari Aguan," ujar Basuki.

Bagi pemerintah DKI, kedua perda penting segera disahkan karena akan menjadi payung hukum untuk menghimpun pendapatan daerah dari proyek reklamasi. Adapun bagi pengembang, pengesahan kedua perda juga mendesak agar mereka segera mengantongi izin mendirikan bangunan.

* * * *

DUA kali pertemuan pimpinan DPRD Jakarta dan Aguan di rumahnya menjadi bahan pertanyaan penyidik ketika memeriksa Wakil Komisaris Utama Bank Artha Graha tersebut. Pertemuan awal Desember tahun lalu itu dihadiri Ketua DPRD Prasetyo Edi Marsudi; Wakil Ketua Muhammad Taufik; anggota Badan Legislasi, Ongen Sangaji dan Mohamad Sanusi; serta Ketua Panitia Khusus Reklamasi Selamat Nurdin. Ada juga Ariesman dalam persamuhan di teras belakang rumah Aguan, di Jalan Boulevard, Pantai Indah Kapuk, Jakarta, itu.

Dalam pertemuan itu, Aguan mengeluh kepada pimpinan DPRD soal besaran kontribusi tambahan di raperda. Dari lima pulau yang izinnya dikantongi PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group, Aguan sedikitnya harus membayar Rp 11,8 triliun jika kontribusi tambahan 15 persen. Aguan pun meminta kontribusi ini diturunkan, atau kalau bisa dihilangkan. "Pimpinan DPRD berjanji membantu," kata sumber yang mengetahui pertemuan itu.

Di ujung pertemuan, Sanusi menelepon Sunny. Menggunakan pengeras suara, Sanusi memperdengarkan percakapan dengan Sunny kepada Aguan dan para koleganya. Sanusi meminta Sunny meneruskan pesan Aguan ke Basuki. Pengacara Sanusi, Krisna Murti, membenarkan kabar bahwa kliennya pernah bertemu dengan Aguan bersama sejumlah petinggi DPRD di rumah pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi itu.

Setelah pertemuan itu, Aguan beberapa kali mengutus anaknya, Richard Halim, mendekati pimpinan Dewan. Sejak awal Desember tahun lalu, komisi antikorupsi mendeteksi sedikitnya lima kali penyerahan uang dari pengembang ke anggota Dewan. Jalurnya, kata seorang petinggi KPK, lewat pimpinan Dewan dan Badan Legislasi.

Pada penyerahan keempat, 22 Februari lalu, KPK hampir melakukan operasi tangkap tangan. Transaksi berlangsung di jembatan penyeberangan yang menghubungkan pusat belanja ITC Mangga Dua dengan Kantor Samsat Jakarta Utara. Rencana operasi tangkap tangan itu batal karena tim KPK keburu disergap puluhan polisi. Polisi sempat menyebutkan tiga penyidik KPK berkaitan dengan kasus narkotik. Beberapa jam kemudian, berdalih salah paham, polisi melepaskan mereka.

Pimpinan DPRD dan Badan Legislasi yang bertemu dengan Aguan sudah diperiksa KPK pada Senin pekan lalu. Ongen Sangaji membenarkan adanya pertemuan tersebut. "Sudah saya jelaskan ke KPK," ujarnya. Ditanyai soal ini, Prasetyo menjelaskan panjang lebar, tapi tak mau pernyataannya dikutip. Taufik, setelah diperiksa, menyangkal bertemu dengan Aguan. Pimpinan Dewan pun kompak membantah tak ada aliran duit ke mereka. Ditanyai soal aliran duit, ini jawaban Ongen, "Muke lu gila."

Selain melobi DPRD, Aguan dan Ariesman kerap berkomunikasi dengan Basuki untuk membicarakan raperda ini. Sedikitnya, menurut Sunny, Aguan bertemu dengan Basuki sebulan sekali. Selain di rumah Aguan, pertemuan kadang berlangsung di kantor Basuki. "Kadang lewat gue, kadang langsung," kata Sunny.

Basuki membenarkan kabar bahwa ia beberapa kali bertemu dengan Aguan dan Ariesman. Selain membahas raperda, "Gue mesti rayu mereka untuk bangun ini-itu," ujar Basuki. Gubernur mengaku telah lama mengenal Aguan dan kerap makan pempek bersama. Dengan Ariesman, Basuki tinggal satu kompleks di Pantai Mutiara Indah, Pluit, Jakarta Utara.

Basuki tak hanya sering bertemu dengan Aguan dan Ariesman. Ia juga mengaku pernah menerima sumbangan ratusan juta rupiah dari Aguan dan bos Ariesman, Trihatma Kusuma. Sumbangan itu Basuki terima ketika menjadi calon anggota legislatif Partai Golkar dari Bangka Belitung, pada 2009. "Untuk beli gantungan kunci buat kampanye," katanya. Meski kenal dekat dengan Aguan dan Ariesman, Basuki mengatakan tak pernah menjanjikan kepada mereka untuk menurunkan kontribusi tambahan dari angka 15 persen.

Karena Basuki berkukuh dengan angka itu, menurut seorang petinggi KPK, atas pesanan Aguan dan Ariesman, DPRD meminta kontribusi tambahan dikeluarkan dari raperda dan dimasukkan ke peraturan gubernur. Sepekan setelah Basuki berkompromi, 25 Februari lalu, Dewan seharusnya mengesahkan Raperda Tata Ruang. Tapi pengesahan perda gagal karena rapat paripurna tak mencapai kuorum.

Aguan paling berkepentingan raperda segera disahkan. Di Pulau D, misalnya, PT Kapuk Naga Indah sudah membangun rumah-rumah toko empat lantai. Bahkan, sejak Agustus 2013, perusahaan ini sudah memasarkan bangunan di pulau tersebut. Pada 2 Oktober 2013, Dinas Tata Ruang DKI Jakarta mengeluarkan surat teguran tentang pemasaran pulau itu. Suku Dinas Tata Kota Jakarta Utara, pada Juli-Agustus tahun lalu, menerbitkan surat penyegelan dan perintah pembongkaran. Namun pembongkaran tak kunjung terjadi. "Mereka tidak melanggar aturan, hanya belum mendapat izin," ujar Basuki beralasan.

Setelah rapat paripurna pengesahan raperda batal, di Badan Legislasi, Taufik dan Sanusi bergerilya untuk menyusupkan ketentuan kontribusi tambahan lima persen dalam pasal penjelasan. Menurut seorang pembahas ketentuan ini, kalau usul itu disetujui, Basuki akan terkunci sehingga tak bisa menetapkan kontribusi 15 persen pada peraturan gubernur. Dilapori soal itu, Basuki berang. Dalam naskah penjelasan pasal itu, Basuki menuliskan disposisinya: "Gila kalau seperti ini bisa pidana korupsi." Disposisi Gubernur itu sampai pula ke tangan anggota Dewan.

Kembali menemui jalan buntu, Badan Legislasi yang didukung pimpinan DPRD mengusulkan pasal penjelasan kontribusi tambahan sekurang-kurangnya sama dengan kontribusi lahan lima persen. Pasal penjelasan ini disetujui rapat gabungan DPRD, kendati eksekutif menolaknya. Pengesahan raperda dengan tambahan penjelasan itu rencananya digelar pada 6 April lalu.

Agar rapat paripurna mencapai kuorum, Taufik dan kawan-kawan menggalang dukungan kolega mereka untuk hadir. Sejumlah anggota DPRD yang sejak awal menolak reklamasi mengaku ditawari uang agar hadir dalam rapat paripurna. Politikus Partai Gerindra, Fajar Sidik, misalnya, mengaku ditawari Rp 100 juta. "Itu uang muka. Ada tambahan jika setuju," katanya. Taufik, yang sama-sama dari Gerindra, menyangkal pengakuan koleganya. "Tidak benar itu," ujarnya.

Setelah diperiksa KPK, Rabu pekan lalu, Aguan bungkam ketika ditanyai soal upaya dia melobi DPRD dan Basuki. Ia pun menolak berkomentar tentang tuduhan menggelontorkan duit ke sejumlah anggota Dewan. Pengacara Aguan, Kresna Wasedanto, juga tak mau memberikan penjelasan. "Saya belum bisa memberikan pernyataan," katanya. Pengacara Ariesman, Adardam Achyar, idem ditto. "Saya belum tahu," ujarnya.

Anton Aprianto, Erwan Hermawan, Mawardah N.H., Muhamad Rizki


Upeti Gelap Kontribusi Tambahan

OPERASI tangkap tangan dugaan penerimaan suap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, menyeret sejumlah koleganya. Mereka dituding berniat meloloskan dua rancangan peraturan daerah reklamasi pantai utara Jakarta yang menguntungkan pengembang. Anggota staf Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Sunny Tanuwidjaja, dicekal Komisi Pemberantasan Korupsi. Lewat Sunny, peran Basuki ditelisik.

2015

8 Juli
Suku Dinas Tata Kota Jakarta Utara menerbitkan surat peringatan nomor 766/6.98/SP/0/VII/2015 atas pendirian bangunan di Pulau D yang izinnya dimiliki PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group. Pendirian bangunan dianggap ilegal karena tanpa izin mendirikan bangunan.

29 Juli
Suku Dinas Tata Kota Jakarta Utara menerbitkan surat nomor 831/076.98/88/U/VII/2015 tentang perintah penyegelan bangunan tersebut.

13 Agustus
DPRD Jakarta membentuk Panitia Khusus Reklamasi Pantai Utara Jakarta, yang dipimpin Selamat Nurdin. Semua fraksi menolak reklamasi.

24 Agustus
Suku Dinas Tata Kota Jakarta Utara menerbitkan surat nomor 1000/076.98/SPB/U/VIII/2015 tentang perintah bongkar bangunan. Pembongkaran tidak dilakukan dengan dalih bangunan telah berdiri dan ada kemungkinan masuk zona permukiman dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Jakarta, yang tengah dibahas di Dewan.

Oktober
Kerja Panitia Khusus berhenti di tengah jalan. Dukungan penolakan reklamasi gembos.

16 November
Basuki mengusulkan pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta kepada Dewan.

25 November
Rapat paripurna Dewan tentang usul Raperda Tata Ruang Pantura. Enam fraksi memutuskan mendukung reklamasi. Hanya tiga fraksi yang menolak, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat-Partai Amanat Nasional, dan Partai Golkar.

7 Desember
Raperda Tata Ruang Pantura diterima Badan Legislasi, yang dipimpin Muhammad Taufik dari Fraksi Gerindra.

14 Desember
Badan Legislasi mulai membahas Raperda Tata Ruang Pantura.

2016

12 Februari
Pembahasan Raperda Tata Ruang Pantura sudah masuk ke pasal kontribusi tambahan.

15 Februari
Pembahasan mengenai kontribusi tambahan. Badan Legislasi Dewan mengusulkan kontribusi tambahan 15 persen tidak dicantumkan dalam Raperda, tapi ada di peraturan gubernur. Tim pemda berkukuh 15 persen tetap dicantumkan.

16 Februari
Tim melaporkan ke Basuki soal permintaan Dewan agar kontribusi tambahan 15 persen dihapus di Raperda dan cukup diatur peraturan gubernur. Basuki setuju dengan dalih DPRD mengancam tak mengesahkan peraturan daerah itu dan Perda Zonasi.

22 Februari
KPK mendeteksi penyerahan suap untuk pimpinan Dewan di kawasan Harco, Jakarta Utara.

23 Februari
Rapat pimpinan Dewan menetapkan jadwal pengesahan Raperda Tata Ruang Pantura.

Bunyi pasal tentang kontribusi tambahan di draf yang akan disahkan:

Pasal 110 ayat 13:
"Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, mengenai perhitungan, prosedur pembayaran, lokasi, dan jenis pengenaan kewajiban, kontribusi dan tambahan kontribusi serta tata cara penyerahannya diatur dengan peraturan gubernur."

Penjelasan Pasal 110 ayat 13: Cukup jelas.

25 Februari
Sidang paripurna untuk pengesahan Raperda Reklamasi batal karena rapat tidak mencapai kuorum.

8 Maret
Konsolidasi naskah akhir Raperda Tata Ruang Pantura. Badan Legislasi Dewan memberikan masukan untuk menambahkan penjelasan Pasal 110 ayat 13 tentang kontribusi tambahan. Bunyinya: "Tambahan kontribusi adalah kontribusi yang dapat diambil di awal dengan mengonversi dari kontribusi (yang 5 persen) yang akan diatur dengan perjanjian kerja sama antara gubernur dan pengembang."

11 Maret
Ketua Badan Legislasi M. Taufik bertemu dengan tim pemda dan ngotot agar pasal penjelasan tentang kontribusi tambahan dimasukkan ke peraturan daerah. Tapi tim pemda tetap menolak dengan menunjukkan disposisi tulisan tangan Basuki di bawah pasal itu, yang isinya: "Gila kalau seperti ini bisa pidana korupsi."

16 Maret
Rapat pimpinan gabungan Dewan yang dipimpin Prasetyo Edi Marsudi mendukung pasal penjelasan kontribusi tambahan yang baru dimasukkan ke peraturan daerah. Tapi bunyinya berubah menjadi: "Yang dimaksud tambahan kontribusi merupakan kewajiban yang disepakati dalam perjanjian kerja sama antara pemerintah daerah dan pemegang izin pelaksanaan reklamasi sekurang-kurangnya sebesar kontribusi lahan 5 persen dalam rangka penataan kembali daratan Jakarta." Tim pemda menolak.

28 Maret
Sanusi menerima suap Rp 1 miliar dari anggota stafnya, Gery, di mal FX Sudirman, Jakarta Selatan. Uang itu berasal dari petinggi PT Agung Podomoro Land untuk pembahasan dua rancangan peraturan daerah yang terkait dengan reklamasi. KPK sudah mengendus, tapi tidak menangkap.

31 Maret

Pagi
Rapat Badan Musyawarah menjadwalkan pembahasan rapat paripurna Raperda Tata Ruang Pantura pada 6 April. Dewan berkukuh memasukkan pasal penjelasan baru.

Sore
KPK menangkap Sanusi menerima suap kedua senilai Rp 1 miliar dari Gery di Mal FX Sudirman, Jakarta Selatan.

6 April
Rapat paripurna pengesahan batal. Pembahasan dua peraturan daerah itu ditunda sampai periode Dewan berganti pada 2019.

Perhitungan Kontribusi Tambahan

Dasar hukum
Pasal 109 ayat 2 soal pembiayaan kegiatan penataan kembali daratan pantai utara Jakarta bisa berasal dari hasil usaha pengelolaan tanah reklamasi

Versi pemerintah daerah DKI Jakarta
15 persen x nilai jual obyek pajak (NJOP) x lahan yang bisa dijual pengembang

Perhitungan munculnya 15 persen
Dihitung tim pemda dan dua orang konsultan independen
Rumus = Profil pengelolaan pulau/(luas lahan yang bisa dijual x NJOP)

Komponen perhitungan
Sampel pulau: Pulau K milik BUMD PT Pembangunan Jaya Ancol
Luas total lahan: 32 hektare
Harga jual (NJOP): Rp 25 juta per meter persegi
Luas lahan yang bisa dijual: 48 persen atau 153.600 meter persegi
Profit pengelolaan: Estimasi dividen disetor BUMD ke pemda 20-40 persen. Diambil angka tengah 30 persen atau senilai Rp 570 miliar.

Perhitungan = Rp 570 miliar/(153.600 meter persegi x Rp 25 juta)
Rp 570 miliar/Rp 3,84 triliun
14,8 persen-15 persen

Versi DPRD
Usul awal: NJOP x 5 persen kontribusi lahan
Usul kedua: Konversi dari 5 persen kontribusi lahan
Usul terakhir: 5 persen dari total lahan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus