AKHIRNYA para rektor -- dalam Rapat Kerja Rektor
Universitas/Institut Negeri se-Indonesia, akhir Februari
kemarin -- sepakat mengusulkan "penyempurnaan Badan Koordinasi
Kemahasiswaan sesuai dengan kepentingan setempat." Hanya saja
seberapa jauh modifikasi BKK itu diperbolehkan, masih menunggu
ketentuan Menteri P&K.
Dalam masalah itu lagi-lagi seperti ada pihak yang ditinggalkan:
mahasiswa. Sampai kini memang tidak tampak ada usaha untuk
mengetahui bagaimana sebetulnya sikap mahasiswa secara
keseluruhan. Bahkan dalam menyusun program dan sarana di
universitas yang tentu saja sebagian besar menyangkut
kepentingan mahasiswa -- belum ada tradisi di perguruan tinggi
kita untuk melibatkan mahasiswa.
Pentingnya melibatkan mahasiswa diakui oleh Pembantu Rektor III
Universitas Gajah Mada Soepono -- meski UGM sendiri belum pernah
melakukannya. Yang ada di UGM baru catatan latar belakang
mahasiswa dan pengamatan kecenderungan di bidang ilmu di tiap
fakultas.
Demikian pula di Universitas Indonesia. Menurut Purek III UI dr.
Dadang Hawari, baru merupakan "data umum." Tentang yang
menyangkut masalah akademis, beberapa fakultas di UI pernah
menyelenggarakan, misalnya untuk menyusun kurikulum. Tapi angket
yang mendetil, sampai soal pacar dan seks, mlsalnya memang belum
ada.
Di Institut Teknologi Surabaya, angket tentang mahasiswa
diselenggarakan sendiri oleh mahasiswa -- tahun-tahun 1972-75.
Hasilnya, tahun 1975 dibangun asrama mahasiswa ITS di Baliwerti,
Sukolilo dan di Jalan Airlangga," tur Anas Rosjidi, Ketua DM.
Angket yang baru saja diadakan tentang NKK. Dari sekitar 4
ribu mahasiswa, 2 ribu lebih ikut mengisi angket soal setuju
atau tidak isi pernyataan mahasiswa ITS yang hendak dibawa ke
DPR. Hasilnya praktis para responden menyetujui pernyataan tak
setuju NKK/BKK itu. Tapi pernyataan itu tak jadi dibawa ke
Jakarta, keburu interpelasi sejumlah anggota DPR ditolak Sidang
Paripurna.
Itulah mengapa angket mahasiswa di Institut Teknologi Bandung
menarik. Angket itu "menyangkut soal kehidupan sehari-hari,
kesulitan, biaya hidup hobi sampai soal pacar dan penyakit
mahasiswa," kata Dr. Ir. Harsono Taroepratjeka, Sekretaris III
ITB merangkap Ketua Badan Masalah Kemahasiswaan (BMK). Itu
dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan program
dan sarana.
Angket tersebut diadakan dua tahun sekali, pertama kali 1972.
"Dulu ada anggapan bahwa mahasiswa ITB itu kaya-kaya. Setelah
ada angket, terbukti tidak semuanya begitu. Bahkan banyak yang
seharusnya mendapat beasiswa," kata Prof. Dr. Doddy Tisna
Amidjaja, rektor III 1969-76. Dari angket 1974 dan 1976
diketahui lebih dari 20% mahasiswa mengaku mengalami kesulitan
belajar karena kekurangan biaya.
Tentu saja, daftar pertanyaan untuk tiap angket mengalami
perubahan. Setiap angket disusun oleh tim yang berbeda --
biasanya tak lebih dari 4 dosen."Tapi terbuka juga kesempatan
bagi semua dosen untuk ikut usul," kata Harsono kepada Hasan
Syukur dari TEMPO. Pengolahan terakhir pada BMK. Itulah mengapa
pada angket keempat, September tahun lalu, tak ada lagi
pertanyaan soal Dewan Mahasiswa, tapi muncul tiga pertanyaan
tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Soal baru yang lain misalnya tentang dosen yang mempunyai
kesibukan di luar ITB. Lebih 14% mahasiswa sama sekali tak
setuju -- "karena mengurangi waktu buat mahasiswa." Sedang
hampir 80% setuju -- asal "dosen tersebut bisa membagi waktu. "
Tentang mahasiswa yang diikutsertakan dalam proyek dosen di luar
ITB tersebut, 70% lebih setuju jika motivasinya untuk menambah
pengalaman dan keahlian, tidak semata mencari uang.
Tentang soal yang lebih bersifat pribadi, soal hubungan seks di
luar pernikahan, ternyata dari keempat angket hasilnya tak
banyak berbeda. "Dalam soal seks mahasiswa ITB ternyata
konservatif," kata Harsono. Maksudnya, masih sesuai dengan nilai
standar yang dianut. Mereka yang tak setuju, dan menganggap soal
itu tak pantas dilakukan, lebih dari 50%. Yang menganggap hal
tersebut "tak buruk", tapi mengaku dia sendiri belum pernah
melakukan, lebih dari 15%. Yang unik, 5% lebih yang mengaku
pernah melakukan -- "tapi sebetulnya tak ada gunanya."
Khas Indonesia
Tentu saja, yang paling menarik adalah 3 pertanyaan tentang NKK
-- meski seorang Eddy Asmanto, fungsionaris DM ITB, menganggap
pertanyaan itu sebagai jebakan. "Banyak mahasiswa tak menyangka
angket akan dimanfaat kan untuk soal NKK dan BKK, sementara
mereka mengisinya asal-asalan saja."
Memang, sebuah angket yang lain, khusus tentang siapa di antara
mahasiswa yang akan didudukkan sebagai anggota BKK, diedarkan
akhir tahun lalu -- dan tak sebiji pun yang dikemhalikan. Itu
tutur Holiq. mahasiswa Planologi angkatan 1975. Tapi mungkin
keberatan terbesar pada pertanyaan yang menyangkut NKK karena
"jawaban yang disediakan tak memberikan alternatif yang bisa
menguntungkan mahasiswa," kata Eddy pula.
Berikut ini hasil 3 pertanyaan yang menyangkut NKK itu, yang
sempat dikutip TEMPO. Pertama tentang pokok pikiran dalam NKK.
Dari jawaban yang sudah disediakan, 32,5% (1.574 mahasiswa)
menyatakan tidak tahu. Sekitar 22,6% menganggap NKK diadakan
agar lembaga kemahasiswaan dapat bekerja memenuhi tiga kebutuhan
pokok mahasiswa kesejahteraan, pengembangan minat dan
kegemaran, dan pengembangan penalaran.
Yang lain, 22,3% memilih jawaban NKK untuk membuat perguruan
tinggi menjadi pusat pemeliharaan, penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka yang menandai jawaban NKK
untuk mendidik mahasiswa agar berjiwa penuh pengabdian dan
tanggungjawab terhadap masa depan, hanya 324 orang alias 6,7%.
Paling sedikit adalah mereka yang memilih jawab NKK sebagai alat
mengembangkan kampus agar bercorak khas Indonesia -- hanya 1,5%.
Pertanyaan kedua: apa yang dianggap terpenting dalam NKK. Lima
jawaban disediakan. Tapi toh, masih 27% yang menjawab tak tahu
11,5% menyebut peningkatan mutu proses belajar mengajar 11,4%
menyebut pengembangan daya penalaran mahasiswa. Hanya 5,8% yang
menyebut konsep itu untuk menata kembali struktur lembaga
kemahasiswaan. Sedang 2,5% menyebut untuk pemenuhan
kesejahteraan mahasiswa 1,1% menyebut untuk pemenuhan minat dan
kegemaran. Sisanya merupakan kombinasi jawaban.
Bulat-bulat
Yang paling menarik ialah pertanyaan ketiga: bagaimana sikap
pribadi terhadap NKK. Ternyata jumlah terbesar, 47,6% atau 2.302
mahasiswa, secara prinsip menyetujui konsep NKK "dengan syarat".
Syarat itu ialah: tanpa adanya perubahan struktur organisasi
kemahasiswaan. Kesimpulannya: mereka masih ingin mempertahankan
Dewan Mahasiswa.
Tapi mereka yang menolak bulatbulat lumayan juga 994 mahasiswa
atau sekitar 20,6%. Dan yang menyetujui sepenuhnya hanya 151
atau 3,1%.
Dan agak mengejutkan, bahwa sekitar 21,3% atau 1.030 mahasiswa
katanya tak bisa menentukan sikap -- karena memang tidak paham.
Memang tak semuanya ikut angket -- hanya 4.836 mahasiswa dari 21
jurusan dan dari Tingkat Pertama Bersama. Mereka adalah
mahasiswa angkatan 1974 sampai 1978, berusia antara 19 dan 25
tahun. Jumlah itu hanya separuh lebih dari jumlah seluruh
mahasiswa ITB (8 ribu). Sekitar 2 ribu mahasiswa memang belum
mendaftar, dan 1.300 lebih angkatan 1979 tak dijadikan
responden.
Yang kemudian menimbulkan pertanyaan, seperti juga keraguan yang
dinyatakan Purek III UGM: "Apakah para mahasiswa itu menjawab
yang sebenarnya?" Meskipun ada 93 jawaban yang dinilai tidak sah
dan dibuang, yang "sah" rupanya dianggap belum tentu
mencerminkan kebenaran sepenuhnya. Sebab serius-tidaknya si
mahasiswa dalam mengisi sangat menentukan, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini