Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di seberang sungai itu, waktu seperti bergerak surut. Tak ada suara televisi, radio, atau dering telepon seluler. Apatah lagi dengan derum bising knalpot kendaraan bermotor. Di luar suara-suara alam, hanya kesunyian yang terasa di sana. Tapi, ups, keheningan itu ternyata sesekali ditingkahi oleh lantunan ayat-ayat suci yang syahdu. Suaranya timbul-tenggelam di antara gerujuk air pancuran.
Hari-hari memang lebih banyak terasa senyap di Pondok Pesantren Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Cirebon, Jawa Barat, itu. Kesunyian yang begitu alami, karena di kawasan ini hanya sedikit sekali terdapat peralatan elektronik. Listrik ada, tapi lebih banyak digunakan untuk penerangan. Maka suara azan pun hanya akan terdengar sayup-sayup karena tak diteruskan oleh sebuah pengeras suara. Sungguh tenang sekali.
Pesantren Benda Kerep adalah salah satu pondok tertua di kawasan Cirebon. Dan bagai hendak mengabadikan diri dalam sejarah, tak banyak perubahan yang terjadi di sana sejak didirikan pada 1862, entah dalam metode pengajaran entah dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
"Para santri kami larang membawa televisi dan radio, karena bisa mengganggu konsentrasi belajar," kata pengelola pondok, Mohammad Miftah, kepada Tempo pekan lalu. "Motor dan mobil juga tak bisa masuk. Kami tidak ingin ada jembatan di sungai."
Miftah adalah putra KH Ahmad Faqih Abu Bakar, sang pemilik pesantren. Namun Abah, begitu KH Ahmad Faqih kerap disapa, usianya telah 92 tahun, dan hanya sesekali ke luar rumah. Praktis Miftahlah yang menjalankan roda kehidupan pesantren sehari-hari.
Dan, seperti Abah, dia memilih mempertahankan "jalan sunyi" untuk para santrinya. Sebuah jalan hidup yang unik, karena hampir semua orang sepertinya tak lengkap hidupnya tanpa televisi dan gadget. Benteng pertama untuk mempertahankan nyanyian sunyi itu adalah dengan tidak membangun jembatan di atas sungai selebar lima meter di pinggir desa—yang memisahkan lokasi ini dengan dunia luar.
Lokasi pondok sebenarnya tak jauh dari pusat Kota Cirebon. Dengan sepeda motor hanya dibutuhkan waktu sekitar 40 menit. Begitu ketemu sungai, perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Tak ada jembatan di atas sungai itu. Tepi yang satu dengan lainnya hanya dihubungkan deretan batu yang disusun di dasar sungai. Jarak antarpetak batu sekitar 40 sentimeter. Dengan kondisi itu, mana bisa sepeda motor atau mobil melintas?
Lintasan itu pun hanya bisa dilewati manakala sungai kering. Ketika air meluap, risiko terseret arus sangat besar. Seluruh badan basah kuyup, itu sudah pasti. Sebenarnya ada jalur lain, yakni melalui Desa Lebak Ngok. Namun jaraknya cukup lumayan, sekitar 4 kilometer.
Sebuah sungai tanpa jembatan memang sudah menjadi pilihan komunitas di sana. Bangunan penghubung itu memang tak boleh didirikan. "Karena itu merupakan wasiat dari Mbah Soleh," kata Miftah. Tujuannya agar pesantren dan santrinya tidak terkontaminasi pengaruh luar. Menurut Miftah, warga tidak memprotes pilihan itu. Mbah Soleh yang dimaksud adalah Muhammad Soleh, ulama pendiri Pondok Pesantren Benda Kerep.
Tanpa jembatan, dan sungai hanya bisa dilalui saat surut, membuat pondok bagai terputus dari dunia luar. Pasokan informasi juga sangat kecil, karena tak ada televisi apalagi Internet. Entah, apakah para santri tahu ada film Innocence of Muslims yang tengah menggegerkan dunia itu.
Maka, dalam kesendirian tersebut, hari-hari para santri suntuk dengan mengaji, mengaji, dan mengaji. Semua materi tauhid, fikih, hingga tasawuf sudah menjadi menu harian. Jadwal mereka penuh dengan kegiatan mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Quran, menghafal hadis, hingga tenggelam khusyuk dalam amalan tarekat.
Pengajian digelar dengan sistem sorogan: para santri putra duduk melingkar sambil mendengarkan ajaran sang ustad yang duduk di tengah. Semua duduk lesehan di ruang terbuka seluas 8 x 20 meter.
Sedangkan santri putri belajar di rumah-rumah penduduk yang tersebar di empat rukun tetangga. Semuanya ada 115 keluarga yang tinggal di "kompleks" ini. Tak seperti pondok pesantren lain, Benda Kerep memang tak punya gerbang masuk. Pesantren juga tak dikelilingi tembok, sehingga mereka memang berbaur dengan warga.
Khusus untuk santri cilik, ada pelajaran membaca dan menulis huruf Latin. Setelah itu, mereka hanya "mengunyah" kitab agama, seperti kitab kuning.
Agama memang satu-satunya yang diajarkan di Benda Kerep. Dan itu sudah berlangsung turun-temurun sejak pondok didirikan. Tak ada pelajaran umum: matematika, sosiologi, fisika, dan lainnya.
Di sini juga tak dikenal sistem tahun ajaran baru. Santri baru bisa masuk kapan saja. Besaran uang muka tak ditentukan alias seikhlasnya. Biaya bulanan pun hanya dipatok Rp 10 ribu. Saat lulus nanti, mereka juga tak mendapat ijazah.
Kini Benda Kerep mendidik 215 santri pria dan 107 santri putri. Semua santri pria diwajibkan mengenakan peci dan sarung. Penutup kepala itu cukup khas, yakni lebih tinggi 5-10 sentimeter daripada peci biasa, hingga membuat mereka gampang dikenali.
Pilihan pada jalan sunyi ternyata memang menjadi daya tarik utama santri yang belajar di sana. Ahmad Syafiq, 25 tahun, misalnya, sudah hampir tujuh bulan tinggal di pondok. Pemuda dari Bandung ini sebelumnya sempat mondok di salah satu pesantren di Banten, tapi oleh kiai di sana disuruh belajar lagi di Benda Kerep.
Kesunyian di sini benar-benar membuatnya betah. "Di sini memang enggak ada hiburan, tapi saya bisa lebih berfokus belajar," katanya.
Sebenarnya bukan tanpa hiburan sama sekali di pondok itu. Tempo menyaksikan betapa gembiranya santri-santri cilik saat menjala ikan di beberapa kolam yang tersebar di kompleks. Derai tawa mereka terdengar begitu polos.
Jauh dari radar media ataupun kehidupan seberang sungai ternyata tak membuat pesantren ini sama sekali steril pemberitaan. Saat pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2009, Benda Kerep membikin gebrakan. Ketika itu, pengelola pondok melarang semua warga datang ke tempat pemungutan suara lantaran harus mencelupkan jari ke tinta biru. Menurut Miftah, tinta itu akan melapisi kulit secara rapat sehingga air wudu tak bisa masuk.
Toh, mereka tak asal menentang. Pondok mengusulkan agar tinta diganti kunyit, yang alami tapi tahan lama. Setelah menuai kontroversi, usul itu pun diterima. "Petani kunyit juga diuntungkan," kata Miftah.
Soal pajak, mereka juga "selangkah di depan". Ketika para kiai sibuk membahas kewajiban membayar pajak di Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama yang digelar pekan lalu di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, warga Benda Kerep justru telah lama tak membayar pajak. "Sebagai gantinya, kami menyumbang ke kelurahan. Besarnya seikhlas kami."
Mereka juga menolak program imunisasi bayi. Sebabnya, bahan dasar vaksin masih diragukan kehalalannya. Pengurus pondok pernah meminta Majelis Ulama Indonesia Cirebon mengirim bahan dasar pembuatan vaksin, tapi permintaan itu tak dipenuhi.
Adapun program Keluarga Berencana tak mutlak ditolak. Mereka mengharamkan kalau alasannya adalah keluarga takut tak bisa menafkahi si anak. "Itu sama dengan menyangsikan Allah sebagai pemberi rezeki," kata Miftah. Tapi, kalau niatnya hanya untuk menjaga jarak kelahiran, kata Miftah, boleh-boleh saja.
Pesantren Benda Kerep telah memilih sejarahnya sendiri. Sebuah pilihan yang telah teruji oleh perjalanan waktu. Pilihan itu seperti disimbolkan oleh sosok masjid yang usianya setua pesantren tapi masih berdiri kukuh di lingkungan tersebut. Sebuah masjid yang dikeramatkan santri dan warga, sehingga untuk memotretnya diperlukan izin khusus pengelola pondok. Masjid tersebut sesungguhnyalah potret nyata tentang pilihan yang tak tergerus waktu itu.
Dwi Riyanto Agustiar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo