Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAP! Dalam sekejap, kertas warna itu dilipat dan jadilah sebuah perahu-perahuan. Ada yang sempurna, ada yang belum berbentuk, tapi tangan-tangan kecil berebut mengacung-acungkan hasil karyanya ke arah Uchi. "Bu, ini Bu! Ini Bu!" suara mereka riuh-rendah. Meski di ruangan yang sumpek dan agak berbau, mereka tampak ceria, sementara sang ibu guru kewalahan menghadapi tingkah polah anak didiknya yang lugu-lugu itu. Bulir-bulir keringat memenuhi hidung dan lehernya, tapi Uchi tampak bahagia.
Selesai dengan prakarya itu, Uchi berucap, "Blue?!" Ucapan ini segera disambut acungan kertas biru dari anak didiknya. Begitu seterusnya. Setiap Uchi menyebut satu warna dalam bahasa Inggris, mereka mengangkat lipatan kertas berwarna yang dimaksud.
Dhea, 4 tahun, murid sekolah yang sama, tiba-tiba menghampiri TEMPO saat istirahat tiba. "Kalau perahu, jalannya gimana?" tanyanya tanpa menunggu jawaban. Wajahnya lugu, dandanannya seadanya. Bocah berambut jagung itu tak ikut menyerbu tukang jajanan yang menunggu di depan kelas. Dia sibuk memainkan Lego milik sekolah.
Dari sebuah bangunan berjendela jalinan kawat yang berimpit dengan perumahan kumuh di kolong jalan tol Prof. Sedyatmo itu, keceriaan masih meruap. Bocah-bocah kecil tanpa alas kaki bermain dan berlompatan di ruangan seluas hanya 40 meter persegi ini. Suara lantang dan derap langkah mereka seakan hendak meruntuhkan bangunan sempit itu. Begitulah suasana Taman Kanak-kanak Sekolah Anak Jalanan di kolong jembatan tol Sedyatmo, tepatnya di Jalan Kakap, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu pekan lalu.
Kelas sempit tadi dipadati 30-an murid 3-5 tahun yang belajar di bawah asuhan dua orang guru. Mereka diajari menggambar serta baca dan tulis. Mereka anak-anak warga kurang mampu yang tinggal di sepanjang kolong jembatan tol itu, yang umumnya bekerja sebagai pedagang kecil dan pemulung. Bagi pekerja informal kelas bawah ini, jelas terlalu mewah mengadakan sebuah sekolah taman kanak-kanak (TK).
Untung, seorang relawan jebolan Lembaga Swadaya Masyarakat Pangan untuk Rakyat Miskin (Param), Reinhard Hutabarat, berinisiatif mengadakannya. Untuk menghadirkannya, Reinhard dan kelompoknya harus mengeluarkan modal awal buat ruang belajar. "Biar di tanah negara, kami mengontrak," ujarnya. Untuk keperluan sekolah selama setahun, pihaknya harus menyediakan Rp 30 juta.
Didukung rekan-rekannya, Reinhard berhasil mendapatkan sejumlah donatur yang membantu mendanai keperluan sekolah dan lainnya. "Ada donatur tetap yang (sekaligus) mengelola keuangan," kata alumni Universitas Pancasila, Jakarta, itu. TK ini juga sering disambangi donatur tak tetap, yang mengetahui keberadaannya lewat Internet. Mereka antara lain ekspatriat yang tinggal di sekitar kawasan elite Pantai Indah Kapuk, Penjaringan. Pernah seorang donator dari negeri jiran datang ke TK ini dengan hanya bercelana pendek dan menenteng kamera video. Gaya dan dandanannya tampak aneh di kampung kumuh tempat banyak berseliwerannya pemuda bertato bertampang seram itu. "Tapi ternyata lokasi ini tak seseram yang diduga," kata Reinhard kepada TEMPO.
Meski gratis, pelajaran yang diberikan sangat layak dan memenuhi standar kurikulum yang ada. "Kami menggunakan kurikulum standar dari Departemen Pendidikan Nasional," kata Reinhard. Ia bahkan menjamin para lulusannya mendapat tanda kelulusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan pelajaran baca dan tulis yang diberikan di TK, mereka akan mudah diterima di sekolah dasar umum yang ada di sekitar kawasan tersebut.
Sama dengan sekolah formal, manajemen "sekolah kolong" ini pun diaudit. "Untuk mencegah penyimpangan dana bantuan," ujar Reinhard. Karena itu, ia meminta para donatur-tak-tetap menyumbang dalam bentuk barang. Semua peralatan di dalam kelas berasal dari mereka.
Dengan segala keterbatasan itu, para murid TK "kolong" ini masih mampu ceria, sementara Reinhard dan para orang tua murid mulai gelisah. Pasalnya, Mei ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berniat menggusur bangunan dan permukiman di semua kolong jalan tol di Jakarta. Itu berarti TK gratisan buat kaum duafa ini bakal ikut terbuldoser. "Kalau sudah digusur, anak kami belajar di mana?" tanya Nyonya Yogi, wali murid. Cuma Gubernur Sutiyoso yang mampu menjawab.
Juli Hantoro, Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo