Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUT-ribut pengiriman delegasi Indonesia ke Festival Film Berlin 2015 dua pekan lalu membuka ingatan aktris Dewi Irawan pada kisruh serupa dua tahun lalu. Pada Juni 2013, ia diundang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menghadiri Festival Tong Tong di Den Haag, Belanda. Festival kebudayaan Eropa-Indonesia ini memutar film Sang Penari yang ia bintangi.
Sebelum berangkat, Dewi bertanya ihwal uang saku selama di Belanda. Seorang pejabat Kementerian, kata Dewi, mengatakan Rp 26 juta dikurangi ongkos pesawat Rp 10 juta. Kenyataan selama festival membuat Dewi mangkel. Pemeran Wanita Terbaik Festival Film Indonesia 2014 ini hanya diberi Rp 4,6 juta, padahal di kuitansi yang ia teken tertera Rp 15,9 juta.
Tak terima uang sangunya disunat, Dewi mencak-mencak di media sosial dan grup Asosiasi Rumah Aktor Indonesia. Keluhannya sampai di telinga Kepala Subdirektorat Pemasaran Perfilman Sigit Widiyanto. Tak ingin berpolemik, Sigit membayar kekurangan honor Dewi. "Tapi dalam rupiah. Mau dipakai apa di Belanda?" kata Dewi pada Selasa pekan lalu.
Keberanian Dewi memunculkan skandal kutip-mengutip honor delegasi film karena terdorong kisruh serupa di Berlinale 2015. Hanya, kali ini keributan di kalangan industri film berfokus pada tak jelasnya nama-nama yang dikirim Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ke festival film sejak 1978.
Alih-alih mengirimkan sutradara dan pemain yang dinominasikan dalam kompetisi film bergengsi itu, Kementerian mencantumkan nama-nama artis dan pengamat film yang tak pernah terdengar.
Ketua Badan Perfilman Indonesia Robby Ertarto menuturkan, ada dua sineas muda masuk nominasi di Berlinale: Wregas Bhanuteja pada kategori Berlinale Shorts Competition lewat Lembusura dan Loeloe Hendra untuk Generation Kplus Short Film dengan film Onomastika. Kepada Direktur Pengembangan Industri Perfilman Armein Firmansyah, Robby pernah meminta dua sineas ini dibiayai ke Berlin. "Usul saya ditolak dengan alasan tak ada duit," ujar Robby.
Robby dan para pegiat film berang ketika sutradara Joko Anwar mempublikasikan nama-nama anggota delegasi yang menghadiri Berlinale. Joko mempertanyakan kapasitas artis Sarah Astriani dan Waliana Achmad May serta pengamat film Tini Afianti. Ketiganya tak pernah terdengar membintangi atau mengulas film.
Keanehan Berlinale tak hanya terkait dengan pemilihan delegasi, tapi juga penyelenggara acara. Tak pernah ada tender hingga penunjukan PT Baroka Lima Zahra sebagai penyedia tiket sampai menyiapkan stan di Berlin. Padahal, dengan nilai proyek Rp 1,5 miliar, penunjukan pendamping delegasi harus melalui lelang.
Seorang pejabat di Kementerian mengatakan para pegiat film sudah lama curiga penunjukan event organizer tanpa lelang itu terkait dengan setoran pungutan yang mencapai 17,5 persen dari nilai proyek kepada pejabat di Kementerian. Sigit Widiyanto, bawahan Armein, tak bersedia memberi penjelasan untuk mengklarifikasi isu ini. "Silakan tanya ke Inspektorat Jenderal Kementerian saja," kata Sigit.
Menurut catatan di Kementerian Pariwisata, PT Baroka menjadi langganan penyelenggara acara yang diadakan Kementerian. Mereka, antara lain, memenangi tender penyelenggaraan Festival Film Indonesia 2013 dengan nilai proyek Rp 10 miliar dan pada 2014 senilai Rp 12 miliar. Penyelenggaraan acara ini melewati tender terbuka. Tapi ada kecurigaan para pemenangnya telah ditentukan sejak awal. "Ada event organizer yang jadi langganan pemenang," ujar seorang pejabat Direktorat Film kepada Tempo pada pekan lalu.
Saat bertemu dengan komunitas film pekan lalu, Armein Firmansyah mengakui bahwa negara membayari penyelenggara acara yang mengampu acara-acara seputar film. Dia berjanji akan mengganti uang tersebut. Direktur Jenderal Ekonomi Seni, Budaya, dan Film Ahman Sya mengakui kekeliruan anak buahnya. Soal penunjukan pihak ketiga tanpa proses lelang, Ahman berujar, "Saya tidak dikasih tahu alasannya."
SELAIN Berlinale 2015, pengiriman delegasi tak jelas terjadi pada MIPCOM 2014, pameran industri hiburan di Cannes, Prancis, pada Oktober 2014. Ada nama asing sebagai "manajer artis", yakni Sri Sutinem, dan "aktor" Wawan Sukmawan. Sri kabarnya pemilik PT Sarimakarti Sukses Mandiri, penyelenggara acara dan pendamping delegasi ke Cannes. Wawan tak lain adik Sekretaris Jenderal Kementerian Pariwisata Ukus Kuswara.
Seperti Baroka, PT Sarimakarti langganan penyelenggara acara-acara di Kementerian Pariwisata. Selain menjadi penyelenggara MIPCOM 2014, Sarimakarti penyelenggara Festival Film Indonesia di Korea, Sales Mission Badan Promosi Pariwisata Indonesia 2014, serta penyelenggara pembuatan iklan di media massa dan Vakantiebeurs 2015 dengan nilai proyek Rp 6 miliar. Ketika dimintai konfirmasi, Sri Sutinem membantah jika disebut sebagai bos PT Sarimakarti. "Saya bukan pemilik," ujarnya.
Menurut Sri, kepergiannya ke Cannes karena diundang Direktur Pengembangan Industri Film Armein Firmansyah dengan tujuan menambah wawasan. Karena itu, dia berinisiatif membawa dalang. "Saya diperintahkan jalan, ya, saya ikut saja. Daripada nanti dipersoalkan," kata Sri.
Ukus tak bersedia menjawab apakah Wawan Sukmawan, yang masuk kelompok aktor dalam delegasi ke Korea Selatan, merupakan adik kandungnya sehingga ikut delegasi meski tak pernah main film. "Saya mohon maaf tidak bisa menjawab," ucapnya.
Ahman Sya mengakui tak mengecek ulang anggota delegasi yang berangkat dalam setiap festival film di luar negeri. Alasannya, pemilihan nama-nama merupakan kewenangan Armein. "Masak, saya tak percaya anak buah?" ujarnya.
Soal delegasi Berlinale, menurut Ahman, kementeriannya tak bisa mencairkan anggaran karena perubahan nomenklatur Kementerian Pariwisata dengan tambahan nama ekonomi kreatif. Karena itu, kata dia, Armein berinisiatif mengusulkan nama-nama tak dikenal tersebut karena waktunya mepet.
Ahman mengatakan tak paham soal modus-modus mengakali anggaran film di direktoratnya. "Saya orang baru di sini," ujarnya. Sedangkan Ukus lagi-lagi tak bersedia memberikan keterangan ketika dimintai konfirmasi soal ini. "Itu ranahnya inspektorat," ucapnya.
Inspektorat Jenderal Kementerian Pariwisata sudah turun mengusut kekacauan pengiriman delegasi Berlinale. Masalahnya, bukan dugaan penyimpangan anggaran dan penunjukan penyelenggara acara tanpa tender yang menjadi fokus pemeriksaan, melainkan kebocoran surat delegasi Berlinale yang disebarkan Joko Anwar melalui Twitter. Ukus, misalnya, sudah diperiksa karena ia meneken surat pengiriman delegasi ke Sekretariat Negara.
Inspektur Jenderal Kementerian Husen Alaydrus tak bersedia menjelaskan arah pemeriksaan lembaganya. Menurut dia, penyelesaian dugaan pelanggaran di kalangan pegawai negeri memiliki mekanisme sendiri. "Lagi pula, Anda tahu dari mana ada pemanggilan? Ini persoalan internal kami," kata Husen.
Komunitas film tak terlalu yakin dengan pengusutan Inspektorat Jenderal Kementerian Pariwisata. Karena itulah Dewi Irawan dan kawan-kawan memilih melaporkan dugaan penyelewengan anggaran ke Komisi Pemberantasan Korupsi dua pekan lalu. Kata Dewi, "Risikonya, paling saya tak lagi diundang Kementerian."
Wayan Agus Purnomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo