Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

P4 minus mengusik bosan

Penataran p4 untuk mahasiswa dikurangi menjadi 45 jam. alasannya, agar menarik minat mahasiswa dan tak membosankan. belum ada yang berani usul agar penataran p4 dihapuskan.

24 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penataran P4 untuk mahasiswa yang membosankan itu dikurangi. Tak ada rektor yang berani usul agar penataran P4 yang mahal itu dihapus saja. RUANG kuliah itu tampak tenang. Para calon mahasiswa di dalamnya kelihatan berusaha duduk tenang, supaya tak menarik perhatian. Bukannya serius, melainkan sebagian besar dari mereka sebenarnya sedang mencoba menahan rasa kantuk dan bosan yang nyaris tak tertahankan. Agak beruntung yang duduk di belakang. Beberapa tampak mem- baca komik yang diselipkan di antara buku Garis-Caris Besar Haluan Negara. Yang lain main tebak-tebakan atau mencoba menjadi seniman dengan membuat sketsa asal jadi. Begitulah suasana yang berulang setahun sekali di perguruan tinggi. Pekan-pekan ini, misalnya, beberapa perguruan tinggi negeri mula mengawali acara rutin itu. Yang swasta, seperti Unika Atma Jaya dari STIE Perbanas Jakarta, sudah menyelenggarakan penataran Pedomanan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang sangat populer di singkat P4 itu. Ini kewajiban, sekalipun hanya segelintir yang serius. "Mau apa lagi kalau tak akan mendapat sertifikat P4," tutur seorang mahasiswa di kampus Bulaksumur Yogya. Pendapat begini boleh dikatakan sudah menjadi pendapat umum di kalangan mahasiswa baru. Selama seratus jam mereka harus duduk terkantuk-kantuk mengikuti semua materi tentang Pancasila. Seragam putih-putih yang cepat kotor itu membuat mereka makin tak nyaman. "Jangan diminta saya bakal ingat materinya, ikut saja sudah terpaksa. Bagaimana bisa ingat," tutur mahasiswa lain yang sudah lulus penataran ini. Rupanya, kebosanan ini tertangkap juga oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mulai tahun ini, penataran P4 cukup 45 jam saja. Sisanya yang 55 jam diserahkan kepada perguruan tinggi masing-masing untuk diisi dengan materi tentang kampus. Seluruhnya menelurkan dua SKS (satuan kredit semester), setara kuliah dua jam seminggu dalam satu semester. Dan pola P4 "minus" ini sudah dicoba di Universitas Indonesia tahun lalu. "Agar menarik minat mahasiswa dan tak membosankan," demikian alasannya. Bagi mahasiswa baru, kebosanan memang musuh tak terelakkan dalam mengikuti penataran P4. Maklum, materi yang hampir sama sudah mereka kunyah-kunyah sejak SMP, dan berulang di SMA, baik dalam penataran P4 maupun pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sejak 1986 penataran P4 sudah diwajibkan di semua lembaga pendidikan mulai dari tingkat SMP. Namun, walau membosankan dan terasa tumpang tindih, nampaknya belum ada yang berani mengusulkan agar penataran P4 di perguruan tinggi dihapus saja. Kalau perlu digantikan dengan mata kuliah wajib lain yang mungkin lebih menunjang program studinya. Bahkan para rektor perguruan tinggi negeri pun masih kompak dalam pendapat resmi, bahwa penataran itu masih perlu bagi mahasiswa baru. Apalagi masih ada keppres yang mewajibkannya. "Jadi, pengulangan itu diperlukan sebagai dasar," kata Prof. Dr. Sujudi, Rektor UI. Badan Penasihat Presiden tentang Pelaksanaan P4 (BP7) juga berpendapat sama. Badan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan P4 itu menganggapnya sebagai upaya pembudayaan Pancasila. "Yang mana budayanya, dicari terus lewat penataran yang berantai," kata Wakil Ketua BP7, Padmo Wahjono. Sayangnya, BP7 belum mencatat sejauh mana penataran P4 berpengaruh bagi perilaku mahasiswa atau dinilai berhasil. "Soalnya, kami bukan mengubah perilaku. Kami cuma membudayakannya. Jadi, sulit untuk melakukan penelitian," kata Padmo. Upaya maksimal yang bisa dilakukan BP7 untuk sementara ini hanyalah mengevaluasi metode, untuk mendapatkan hasil optimal. Memang inilah yang sekarang dilakukan. Penataran yang dahulunya seratus jam diperpendek. Materi 55 jam yang diserahkan ke perguruan tinggi itu nantinya bakal diisi dengan berbagai hal yang lebih dekat dengan ilmu yang diberikan di perguruan tinggi. Diskusi juga diperbanyak. Para alumni yang dianggap berhasil, misalnya, akan diundang ke kampus. Mereka diminta berbicara tentang pengalamannya untuk memompa semangat para calon mahasiswa. Upaya memerangi kebosanan ikut penataran P4 di beberapa tempat diganti dengan acara lain. Itu pun belum tentu menarik, misalnya membicarakan panjang lebar soal sopan santun atau tata krama. "Memangnya kami yang sudah bakal jadi mahasiswa ini tak tahu tata krama," gurauan seorang calon mahasiswa ITB setelah disodori buku pelajaran tata krama ketika mengurus penataran P4. Namun, ada pula perguruan tinggi yang bisa memilih topik menarik untuk menggantikan sebagian jam penataran P4. Universitas Gadjah Mada, misalnya, mulai memperkenalkan kode etik kedokteran bagi calon mahasiswa kedokteran. Fakultas Hukum akan memberikan ceramah filsafat moral yang mendasari hukum positif. "Walau mereka sudah mengikuti P4 di SMA, mudah-mudahan dengan upaya ini mereka tak bosan," kata Dr. Djuretno Adi, M.A., ketua umum penyelenggaraan penataran P4 di UGM. Upaya memikat mahasiswa agar lebih bersemangat ikut penataran P4 dan program kampus lainnya itu masih perlu diuji keberhasilannya. Masalahnya, belum ditemukan jalan pintas terbaik untuk membudayakan P4 tanpa harus bertele-tele lewat berhari-hari penataran. Ini diakui oleh Rektor ITS Surabaya, Prof. Oedjoe Djoeriaman, "Sampai saat ini belum ditemukan cara yang lebih efektif daripada penataran." Ini tampaknya menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan segera. Terlebih lagi, proyek penataran seperti ini makan biaya tak sedikit. Seorang mahasiswa paling tidak perlu dana sekitar Rp 40.000. Jika sekarang diperkirakan ada satu juta mahasiswa yang sudah lulus P4, berarti sudah Rp 40 milyar yang dikeluarkan dari kas. Kalau ini hanya membuat mereka bosan dan tetap tak " berbudaya" dengan Pancasila, kan sayang. Apalagi kalau mereka terpaksa ikut karena harus mengisi dua SK yang diwajibkan itu. Yopie Hidayat dan Liston P. Siregar (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus