Peneliti remaja semakin peka meneliti masalah sosial. Pembeli SDSB ternyata orang miskin. Ada desa miskin, tapi penduduknya royal menyumbang. SEBUAH televisi tak lama lagi akan menghiasi kamar kos Nur Latief. Itu gara-gara SDSB. Tapi Nur mengaku sebagai muslim yang baik, bukan pencandu kupon rezeki nomplok yang oleh beberapa orang kiai dibilang haram itu. Nur memperolehnya karena ia "usil", mengamati tetangganya yang kecanduan SDSB. Hasil pengamatan ini lantas dituliskannya sebagai penelitian, dikirim ke Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR), dan pekan lalu dikukuhkan menjadi juara kedua. Televisi itulah hadiahnya. Sebagai remaja berusia 19 tahun, kepekaan Nur memang layak dipuji. Terlebih lagi sehari-harinya ia lebih banyak berurusan dengan martil atau gergaji di tempat praktek. Ia siswa STM Pembangunan di Temanggung, Jawa Tengah. "Saya ingin tahu, apa motivasi orang membeli SDSB," begitulah mulanya. Pertanyaan ini menggelitik Nur karena ia curiga. Meskipun namanya Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, orang yang membelinya sebenarnya tak pernah punya niat menyumbang. Dilihatnya, para tetangga yang aktif "menyumbang" ternyata dari golongan ekonomi lemah. "Mereka yang menyumbang kan mestinya dari ekonomi cukup," katanya. Dari logika sederhana anak STM inilah, ia lantas berangkat melakukan pengamatan atas 107 tetangga yang sebagian besar petani tembakau. Hasilnya ternyata sesuai dengan kecurigaannya. Cuma 0,9 persen responden yang mengaku membeli DSB dengan tujuan untuk menyumbang. Yang menarik, penelitian Nur mengungkapkan bahwa orang semakin bernafsu membeli SDSB jika sedang bokek. Ia membuktikan, bila para petani itu mengantungi duit tebal seusai panen tembakau, omset SDSB ternyata anjlok. Dari pengamatannya di satu agen, cuma 25 sampai 30 buku berisi 25 lembar kupon yang terjual. Omset ini akan melonjak sampai dua kali lipat jika musim paceklik tiba. Bukti lain bahwa orang yang tak punya duit lebih gencar membeli SDSB. Ia menunjukkan, 60 persen pecandu SDSB yang jadi respondennya ternyata tak punya pekerjaan tetap. Penelitian Nur tadi adalah salah satu yang menarik dari 408 peserta yang mengikuti Lomba Karya Ilmiah Remaja yang diselenggarakan TVRI dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Belakangan, minat remaja untuk meneliti masalah sosial dan kemanusiaan dalam lomba ini memang semakin meningkat. Dari 408 karya penelitian yang masuk, 188 di antaranya memilih bidang ilmu sosial. Di bidang ilmu pengetahuan alam ada 166 penelitian, sementara di bidang teknologi cuma 54. Dan bukan cuma minat yang meningkat. Menurut salah seorang anggota dewan juri Mely G. Tan, kepekaan remaja pada keadaan di sekitarnya nampak semakin tajam. Mely mendasarkan penilaiannya pada pilihan topik yang diambil oleh para peneliti belia ini. Mulai dari pedagang kecil, industri rumah tangga, sampai ke soal SDSB seperti punya Nur tadi. Salah satu contoh kepekaan yang dikemukakan Mely adalah hasil penelitian Iswantara Adi Nugraha tentang kebiasaan di Dusun Legundi di Gunungkidul, Yogyakarta. Apa yang diamati Iswantara sebenarnya bukan hal istimewa, yakni bagaimana penduduk di Dusun Legundi memberikan sumbangan untuk berbagai kegiatan sosial. Hal ini menarik siswa SMA 6 Yogyakarta itu karena ia tahu persis bahwa desa itu tergolong miskin sekali. Dan dari penelitian itu, terungkap bahwa sekalipun pendapatan penduduk cuma Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu sebulan, ternyata secara tradisional mereka royal menyumbang. Bahkan, dalam pengamatan Iswantara, tradisi ini sebenarnya cenderung membawa kerugian Pendidikan dan kesehatan terabaikan. Itu sebabnya, Iswantara menyarankan agar kebiasaan menyumbang dikurangi. Ia kemudian membuat kesimpulan yang sangat tajam, "Kebiasaan itu sebenarnya hanya untuk mendapatkan keuntungan dan popularitas dengan kedok sumbangan sukarela," tulisnya dalam makalahnya yang cuma setebal 24 halaman, yang kemudian dikukuhkan sebagai juara satu untuk IPS. Tentu saja bukan berarti tak ada soal lagi dalam hal mutu penelitian. Mely mencatat, para peneliti muda ini masih terlalu kaku dalam mengikuti metodologi. Demikian juga referensi yang dipakai cenderung menjadi belenggu. "Akibatnya, wawasan mereka jadi terkekang," tuturnya. Kelemahan lain yang juga mencolok, para peserta rata-rata kurang memahami konsep yang mereka pakai. Tapi yang tak bisa disangkal, lomba penelitian seperti ini memang memicu para peneliti remaja mencari-cari sesuatu yang bisa dikutak-katik untuk dikirimkan ke Jakarta. Minat Nur, misalnya, untuk ikut meneliti dan mengirimkannya ke perlombaan sudah tercetus sejak tahun lalu. Ia sempat mencoba menciptakan hormon pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan, gagal. Lalu ia berniat membuat sistem irigasi curah, tak selesai juga. Baru setelah banting setir meneliti SDSB, ia berhasil. Penelitian yang juga khusus dikebut untuk ikut lomba adalah milik Eriyanto, yang akhirnya menjadi juara I untuk bidang ilmu pengetahuan alam. Ketika data baru selesai diolah, Eriyanto baru tahu bahwa batas waktu pengiriman sudah hampir lewat. Terpaksa ia dengan tergesa-gesa membuat laporan yang ditulis tangan setebal 250 halaman. "Saya punya mesin ketik, tapi bikin lama," kata Eriyanto, yang membuat penelitian tentang makanan ternak bergizi yang diberi campuran cacing tanah. Bagaimana lomba karya ilmiah menggerakkan penelitian juga bisa dilihat dari makin banyaknya kelompok ilmiah remaja di sekolah-sekolah. Eryanto, misalnya, adalah anggota kelompok ilmiah di sekolahnya. Sedangkan Nur juga tergabung dalam Ikatan Beasiswa Supersemar, yang di STM Pembangunan Temanggung menjadi ajang sekelompok siswa untuk melakukan peneIitian. Yopie Hidayat dan Ardian T. Gesury (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini