Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak lelaki itu tampak repot. Di tangan kiri tergenggam dua wayang kulit berukuran satu setengah panjang tangannya. Tangan lainnya memegang gapit gunungan. Ukurannya lebih besar dari tubuhnya. Ia berusaha duduk tegak di depan kelir seperti laiknya seorang dalang. Suara kanak-kanaknya terdengar parau dan terbata-bata. ”Bumi gonjang-ganjing, langit kelop-kelop....”
Pekan lalu, untuk pertama kalinya Gagat Ridwan Wicaksono, 10 tahun, berlatih memainkan anak wayang. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi belajar serius agar ia bisa jadi dalang. Di sekeliling Gagat ada sepuluh anak sepantarannya yang juga sibuk menyabetkan wayang di depan kelir. Ada yang masih kaku, banyak pula yang sudah lancar. Beginilah suasana sore hari di Sanggar Sarotomo, Taman Budaya Surakarta, saat kelas mendalang untuk anak-anak dibuka.
Sanggar Sarotomo, Sanggar Pawiyatan Pedalangan Madiun di Magetan, atau Sanggar Sumbang Budaya di Jakarta adalah beberapa perkumpulan yang peduli pada kelanjutan kesenian wayang dengan membuka kelas dalang untuk anak-anak. Ini bukan hal yang mudah. Pengurus sanggar tanpa lelah membujuk anak-anak sekolah dasar—yang lebih akrab dengan televisi dan PC—agar mau belajar seni boneka kulit itu.
Upaya ini misalnya dilakukan oleh Mujiono, pengasuh Sanggar Sarotomo. Sebagai guru karawitan di beberapa sekolah dasar, lelaki ini rajin mengajak murid-muridnya datang ke Taman Budaya Surakarta untuk menonton berbagai pertunjukan kesenian. Dari sini, beberapa murid akhirnya tertarik belajar mendalang di sanggar yang ia dirikan 26 tahun silam itu.
Supaya cinta pada wayang bisa tumbuh, tak ada paksaan saat belajar. Di Sanggar Pawiyatan, yang sudah berusia 9 tahun, para murid dibiarkan memainkan wayang sekehendak hati tiap Minggu dan Kamis malam. Mereka tidak dibatasi untuk meniru gaya dalang tertentu. ”Supaya menemukan kekhasannya sendiri,” ujar Supriyanto, salah satu pengasuh di sana.
Untuk anak-anak yang baru mulai belajar mendalang, ia cuma menekankan pengajaran sabetan. Langkah selanjutnya adalah mengenalkan karakter wayang. Saat siswa mulai remaja, barulah diajari olah vokal. Tak ada standar kelulusan di sini. ”Sekolah ini sarana untuk belajar terus-menerus,” kata Supriyanto, ”Ijazah tidak penting.”
Di Sanggar Sarotomo, pengajaran seluruhnya bertumpu pada inovasi dan kreasi Mujiono, satu-satunya guru di sana. Ia biasanya memulai pembelajaran anak-anak dengan memperkenalkan titi laras. Metode yang digunakan pun sederhana, tanpa not. Para siswa cukup menirukan suara. ”Kalau pakai not malah tidak paham,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, ia mengajarkan bagaimana melakukan suluk pendek, sabetan, dan caturan alias dialog. Dulu, kata Mujiono, lembaganya pernah mencoba membuat kurikulum dengan pengajar bergantian. Metode ini tidak jalan. ”Anak-anak malah enggan datang,” katanya.
Tak ada batas waktu belajar bagi siswa mendalang. Belajar mendalang adalah proses yang memerlukan pergulatan panjang. Mujiono, misalnya, tak menetapkan kapan siswanya dinyatakan lulus. Mereka boleh belajar sesuka hati dan beristirahat bila bosan. Pendeknya, para murid bebas keluar-masuk kapan pun mereka mau.
Usia masuk pun tak dibatasi. Bagaimana pula mau dibatasi bila menjaring anak yang mau belajar dalang saja sulit dilakukan. Maka, dengan senang hati mereka menerima murid yang usianya masih balita (bawah lima tahun). ”Ada siswa yang saat masuk baru berumur tiga setengah tahun,” ujar Mujiono. Nyatanya, si bocah, yang saat itu masih ngedot, kerasan. Kini ia telah berumur enam tahun dan masih terus belajar.
Siapa saja bocah yang tertarik belajar mendalang? Ternyata mereka datang dari berbagai latar belakang. Ada yang memang dari keluarga seniman. Aditya Krisna, murid kelas 6 SD yang paling moncer di Sanggar Pawiyatan, adalah putra lelaki almarhum Ki Sakri. Semasa hidupnya, Ki Sakri dalang terkenal di daerah Madiun, Jawa Timur. Adapun ibunya, Endang Mintosih, seorang waranggana alias penembang lagu Jawa. Di tengah keluarga seperti itulah cinta Aditya pada wayang bersemi. ”Mau tidur saja ia main wayang,” kata sang ibu.
Darah seni juga mengalir dalam tubuh Panji Gilik Atnadi, 15 tahun. Ayahnya, Yamik, adalah vokalis kelompok Sinten Remen dan Kua Etnika pimpinan Djaduk Ferianto. Maka, jangan terkejut bila Panji punya motif berbeda dalam belajar mendalang ketimbang kawan-kawan seusianya. ”Saya ingin meneruskan dalang gagrak Ngayogyakarta,” ujarnya.
Gagrak Yogyakarta tak sama dengan gaya Solo atau Wetanan (Jawa Timur). Ketiga mazhab memiliki perbedaan dalam keprak, suluk, dan sabetan. ”Kalau tidak ada yang nerusin, nanti bisa musnah.” Bukan main, remaja generasi MTV ini punya cita-cita yang begitu luhur.
Namun, ada juga murid yang datang dari keluarga awam seni. Yustanza, yang tak kalah berbakat, umpamanya. Demikian pula Gagat. Alasan ibunya, Atma Lestari, memasukkannya ke sekolah dalang sederhana saja: supaya ia tak menghabiskan waktu dengan menonton televisi di rumah. Sanggar Sarotomo dipilih karena sudah bertahun-tahun murid kelas 4 SD ini biasa bermain di sekitar sana.
Dengan misi untuk mengembangkan kesenian, tak ada niat para pejuang wayang ini untuk membisniskan kelasnya. Sanggar Sarotomo, umpamanya, tak menarik sepeser pun bayaran dari murid-muridnya. ”Saya hanya ingin mengenalkan ke-senian wayang dan mendalang,” ujar Mujiono. Soal mereka akan jadi dalang atau tidak, menurut dia, biarlah waktu dan proses yang menentukan.
Di Sanggar Pawiyatan memang murid masih dikenai tarif, tapi sangat murah. Supriyanto tak menyebut angka, namun menurut dia berbeda jauh dengan kursus di lembaga pendidikan formal seperti SMKI Yogyakarta, yang menarik iuran Rp 50 ribu-Rp 100 ribu untuk setiap pertemuan. ”Demi melestarikan budaya Jawa,” Supriyanto memberikan alasan.
Setelah sekian lama belajar mendalang, para pengajar boleh bangga. Keterampilan anak-anak didik mereka mulai terlihat. Aditya telah tampil dalam acara 17 Agustusan di kota kelahirannya. Ia juga ikut gelar wayang di Balai Kota Madiun, September lalu. Dalang muda Panji bahkan pernah meraih gelar juara pertama dalam Festival Dalang Remaja se-Jawa-Bali tahun lalu.
Yustanza pun telah berkali-kali manggung. Ia bahkan pernah unjuk kebolehan di depan Presiden saat peringatan Hari Anak Nasional, Juli lalu, di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. ”Bumi gonjang-ganjing, langit kelop-kelop, tok...tok...tok….”
Purwani D. Prabandari, Imron Rosyid (Solo), Sunudyantoro (Madiun), Syaiful Amin (Yogyakarta )
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo