NASIB Yordania bagaikan rumput di lapangan tempat gajah bertarung:~~ diinjak-injak kedua pihak. Sabtu pekan silam, 22 September, pemerintah Riyadh mengusir 20 diplomat Yordania. Pada waktu yang hampir bersamaan Arab Saudi mengurangi pasok minyaknya ke negara itu sampai setengahnya. Kemarahan Arab Saudi itu memuncak dengan terselenggaranya pertemuan antarkelompok pendukung Saddam Hussein di Amman, ibu kota Yordania. Dalam konperensi tersebut para pemimpin Arab radikal menganjurkan rakyat negeri-negeri Teluk berontak merobohkan pemerintahnya apabila Irak diserang. Sudah sejak mulai muncul krisis Teluk, Riyadh kesal dengan sikap Yordania yang tak tegas. Tindakan Riyadh itu cukup mengagetkan karena terasa tiba-tiba. Pemotongan pasok minyaknya pun baru diberitahukan kepada Amman enam jam sebelum dilaksanakan. Maka, Yordania terpukul hebat. Kebutuhan minyaknya tak kurang dari 70.000 barel per hari, setengahnya dipenuhi Arab Saudi, sisanya diperoleh dari Irak dengan harga persahabatan, US$ 16 per barel. Maka, kalangan pemerintah Yordania mengatakan, "hukuman" yang dijatuhkan itu hanya akan lebih memojokkannya untuk makin pro Irak. Karena letak geografisnya, sudah sejak awal krisis Yordania dirundung malang. Negeri ini diapit dua raksasa yang bermusuhan, Israel dan Irak. Di samping itu, hampir 50% dari penduduknya yang 1,9 juta terdiri dari orang-orang Palestina yang selalu mendambakan kembali ke tanah airnya yang direbut bangsa Yahudi. Karena kenyataan itu pula sejak pagi Israel sudah mengancam apabila terjadi perubahan mendasar di Yordania--misalnya saja tentara Irak masuk -- ia akan masuk dan menduduki negeri itu. Sadar akan posisinya yang begitu rawan, Raja Hussein mencoba melakukan akrobat politik dan diplomasi. Dalam dua bulan terakhir ini ia sibuk mondar-mandir ke negara-negara Arab, Washington, dan Eropa. Sikap Raja Hussein yang ingin menyelamatkan keadaan itu terlukiskan dalam surat terbukanya yang dimuat dalam mingguan The Guardian terbitan 30 September lalu. "Saya takut perkembangan dalam hari-hari terakhir ini seperti memainkan keadaan pada 1914, ketika dunia terjerumus ke peperangan, walaupun itu tak diinginkannya. Memainkan kembali skenario itu tak pelak lagi suatu tragedi yang tak bisa dimaafkan," tulisnya antara lain. Yang dimaksudkannya adalah situasi dunia pada 1914 ketika ia ada di ambang Perang Dunia I. Ia juga mengatakan, kalau usaha perdamaian yang dilakukan masyarakat dunia sama kuatnya dengan usaha memusatkan kekuatan militer dan memaksakan sanksi ekonomi, ia yakin perang akan bisa dicegah. Ia juga mengatakan bahayanya perang yang akan membinasakan Timur Tengah. Atas dasar itu pula ia mengatakan, suatu penyelesaian politik adalah hal yang tak bisa ditawar. Katanya, "Aksi militer adalah berbahaya, bahkan suatu pandangan yang cupet." Dalam akhir suratnya Hussein mengatakan, setiap pencarian jalan keluar harus memperhitungkan kepentingan Irak dan Kuwait, fakta akan adanya kesenjangan kekayaan di Teluk. Ia juga menyerukan agar penyelesaian apa pun yang diambil mesti menyelesaikan konflik di kalangan negara-negara Arab, Arab-Israel, dan Israel-Palestina. Surat itu ditanggapi oleh Pangeran Bandar ibn Sultan, duta besar Arab Saudi di Washington. Ia secara tak langsung menyesalkan sebenarnya Hussein tak berbuat banyak untuk menolong rakyat Palestina (lihat Surat untuk Raja Hussein). Sementara itu, Amerika, dan Arab Saudi terutama, menganggap imbauan Raja Hussein tak berbeda dengan jalan keluar yang ditawarkan Saddam. Tak lama setelah mencaplok Kuwait, Saddam Hussein mengusulkan Irak bersedia meninggalkan Kuwait, asalkan Israel bersedia keluar dari wilayah-wilayah yang diduduki dalam perang 1967. Sedangkan Amerika menganggap usul Saddam itu sebagai propaganda untuk mengalihkan perhatian dan tak relevan dengan persoalan yang dihadapi. Mungkin karena terdesak oleh opim dunia, Yordania mulai melembek sikapnya. Ia misalnya menyatakan akan mendukung keputusan PBB untuk melakukan blokade udara atas Irak yang keputusannya diambil pada Selasa pekan lalu. Tapi, beranikah Hussein? Tidakkah ia memancing kemarahan Saddam? Bila memang Hussein melaksanakan blokade itu, jangan-jangan timbul ketegangan baru: kemungkinan Irak menguasai Yordania, dan karena itu membuat Israel mewujudkan ancamannya - menyerbu Yordania. A. D~ahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini