Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

PARA Syndicate: Kemunduran Indeks Demokrasi Indonesia Bukan Insiden Sporadis

Kemunduran indeks demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir bukan sekadar insiden yang terjadi secara sporadis.

6 Maret 2025 | 21.16 WIB

PARA Syndicate: Kemunduran Indeks Demokrasi Indonesia Bukan Insiden Sporadis
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif PARA Syndicate Virdika Rizky Utama mengatakan, kemunduran indeks demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir bukan sekadar insiden yang terjadi secara sporadis. Kemunduran itu merupakan bentuk akumulasi dari kesalahan struktural dan kerakusan politik yang telah terinstitusionalisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal itu disampaikan Virdika merespons laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris mengenai skor indeks demokrasi di Indonesia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Selama tiga tahun terakhir, skor indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Pada 2024 skor indeks demokrasi Indonesia sebesar 6,44. Skor ini membuat Indonesia turun tiga peringkat dari posisi 56 di tahun sebelumnya, menjadi peringkat 59 di tahun ini dari total 167 negara yang diteliti. 

Pada 2023, skor demokrasi Indonesia menunjukkan angka 6,5 yang juga menunjukkan penurunan. Pada tahun sebelumnya atau 2022, skor demokrasi Indonesia mencapai besaran 6,71. Itu artinya, tiga tahun berturut-turut Indonesia berada di kategori negara dengan demokrasi yang cacat.

Virdika mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, serangkaian peristiwa politik semakin menegaskan degradasi demokrasi Indonesia. Kontroversi dalam Pemilu 2024 menjadi salah satu contoh nyata demokrasi dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan. 

"Keterlibatan aparatur negara seperti PNS, BUMN, TNI, dan Polri dalam mendukung kandidat tertentu, serta berbagai ketidakjelasan dalam penghitungan suara di sejumlah daerah, mengikis kepercayaan publik terhadap sistem pemilu yang seharusnya berlangsung jujur dan adil," kata Virdika saat dihubungi, Kamis, 6 Maret 2025.

Dia menambahkan, Intervensi Mahkamah Konstitusi dalam mengubah batas usia calon wakil presiden bukan hanya menunjukkan keberpihakan lembaga yudikatif. Namun, merusak kredibilitas hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir demokrasi. 

Di sisi lain, ada juga kebijakan represif terhadap Papua dengan membatasi akses jurnalis asing, penggunaan kekerasan militer, serta kriminalisasi terhadap aktivis HAM Papua. Menurut Virdika, hal itu semakin menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia tidak berjalan secara inklusif.

Virdika juga menyoroti pembubaran KPK yang independen dengan memasukkan unsur pemerintah ke dalam dewan pengawas. Menurut Virdika, KPK yang dahulu dikenal sebagai garda terdepan melawan korupsi kini menjadi institusi yang kehilangan taringnya. "Dan lebih banyak berkompromi dengan kepentingan politik," kata dia.

Tidak hanya itu, Virdika juga menyoroti sejumlah pengesahan undang-undang yang mempersempit ruang demokrasi. Di antaranya, revisi UU KPK (2019), UU Cipta Kerja (2020), dan UU Pemilu (2023). Revisi itu memberikan keuntungan bagi partai penguasa.

"Pembatasan terhadap kebebasan pers juga semakin mengkhawatirkan, seperti yang terlihat dalam kasus penyerangan wartawan Tempo pada dan perusakan kantor berita Jubi di Papua," kata Virdika. 

RUU sebelumnya melaporkan penurunan skor indeks demokrasi Indonesia pada 2024. EUI dalam dokumen hasil penelitiannya menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi komponen penilaian mereka terhadap jalannya demokrasi di negara-negara dunia. Beberapa komponen tersebut seperti proses pemilihan dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.

“Pada tahun 2024, dua kategori yang mencatatkan penurunan terbesar adalah fungsi pemerintahan dan proses pemilihan serta pluralisme,” tulis EIU dalam dokumen yang diterima oleh Tempo, Rabu, 5 Maret 2025.

EIU mencatat, Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia yang melaksanakan pemungutan suara atau pemilihan. Negara-negara besar lainnya adalah Bangladesh, Brasil, Rusia, India, Pakistan, Meksiko, dan Amerika Serikat.

Pada 2024, Indonesia merampungkan hajat politik terbesarnya secara sekaligus. Ada tiga kontestasi politik yang dilangsungkan pada tahun tersebut. Mulai dari pemilihan presiden, pemilihan legislatif, hingga pemilihan kepala daerah serentak.

Untuk pilpres, mantan menantu Presiden Ke-2 Soeharto, Prabowo Subianto berhasil memenangkan laga dan mendapatkan kursi Presiden. Ia didampingi oleh anak kandung Presiden Ke-7 Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden.

Prabowo dan Gibran mengawali pemerintahan mereka dengan membentuk Kabinet Merah Putih yang sangat gemuk. Total ada 48 kementerian dalam kabinet Prabowo-Gibran yang terdiri atas 7 Kementerian Koordinator dan 41 Kementerian Teknis. Prabowo juga melantik 48 menteri dan 58 wakil Menteri untuk mengisi kabinetnya tersebut.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan stau Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi mengatakan, Indonesia berada dalam satu kategori yang sama dengan Amerika Serikat dan Prancis. Bahkan, kata dia, peringkat Singapura masih jauh di bawah Indonesia. 

“Kita dalam satu kategori yang sama dengan US (Amerika Serikat) dan Prancis. Singapura yang sering dijadikan contoh pemerintahan yang baik, rankingnya jauh di bawah kita,” kata Hasan Nasbi kepada Tempo, Rabu, 5 Maret 2025. 

EIU memasukkan Indonesia satu kategori ke dalam demokrasi cacat bersama Amerika Serikat dan Prancis. Secara peringkat, Prancis berada pada posisi 26 atau turun 3 peringkat dari tahun sebelumnya dengan skor 7,99. Sementara Amerika Serikat naik satu peringkat tahun ini di posisi 28 dengan skor 7,85. Adapun Singapura naik satu peringkat dan kini di posisi 68 dengan skor 6.18. 

Vedro Imanuel Girsang dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam tulisan ini 

Hendrik Yaputra

Hendrik Yaputra

Bergabung dengan Tempo pada 2023. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini banyak meliput isu pendidikan dan konflik agraria.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus