Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kepolisian Daerah Jawa Timur bersurat ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia meminta agar paspor Veronica Koman, 31 tahun, dicabut. Permintaan ini disampaikan setelah polisi menetapkan Veronica sebagai tersangka penyebar konten provokasi dan berita palsu di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Inspektur Jenderal Luki Hermawan, mengatakan kepolisian sudah meminta bantuan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk melakukan cegah-tangkal serta mencabut paspor Veronica. "Kami sudah membuat surat untuk bantuan pencekalan dan pencabutan paspor tersangka atas nama Veronica Koman," kata Luki, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan penyidik polisi juga sudah memanggil Veronica sebagai tersangka. Surat panggilan itu ditujukan ke dua alamat Veronica di Jakarta. Namun, pemanggilan ini sia-sia karena pengacara hak asasi manusia itu tak berada di Indonesia. Saat ini mantan aktivis Lembaga Bantuan Hukum Jakarta tersebut tengah melanjutkan studi hukum S-2 di The University of Melbourne, Australia.
"Veronica sekarang tinggal dengan suaminya di negara itu. Suaminya merupakan warga negara asing yang juga pegiat lembaga swadaya masyarakat," katanya.
Senin pekan lalu, Polda Jawa Timur menetapkan Veronica sebagai tersangka provokasi dan penyebar berita palsu di media sosial. Ia disangka pasal berlapis, antara lain pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sesuai dengan versi polisi, kalimat Veronica di media sosial dianggap berisi konten provokasi dan mengandung hoaks, antara lain seruan mobilisasi "aksi monyet" turun ke jalan di Jayapura, serta informasi soal polisi menembak 23 kali ke dalam asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
Cuitan Veronica di media sosial ini muncul setelah peristiwa pengepungan di asrama mahasiswa Papua, Surabaya, pertengahan bulan lalu. Aksi pengepungan ini dipicu informasi soal bendera Merah Putih yang rusak dan dibuang ke selokan, persis di depan asrama mahasiswa Papua. Saat pengepungan, masyarakat diduga melakukan ujaran rasial dan persekusi. Veronica tampil membela mahasiswa Papua. Ia juga rajin menginformasikan perkembangan terbaru soal demonstrasi masyarakat Papua yang menentang ujaran rasial dan persekusi tersebut di akun media sosialnya.
Veronica belum dapat dimintai konfirmasi. Ia belum menjawab pesan elektronik yang dikirim kepadanya. Pengacara publik dari LBH Jakarta, Muhammad Rasyid Ridha Saragih, mengatakan dia sempat berkomunikasi Veronica, tapi masih sangat terbatas. "Kalau dia balik ke Indonesia terus diciduk, kemungkinan didampingi bareng-bareng koalisi masyarakat sipil," kata Rasyid.
Ia menilai tuduhan polisi terhadap Veronica ini dengan mudah dapat dibantah. Sebab, cuitan Veronica di akun media sosialnya dapat dibandingkan dengan beberapa berita di media massa.
"Saya menduga cuma akal-akalan saja mau nangkap Vero, supaya enggak speak up di forum internasional," ujarnya.
Rasyid mengetahui selama ini Veronica aktif di forum internasional untuk menyuarakan hak-hak masyarakat Papua Barat. Ia juga beberapa kali mendampingi aktivis Papua Barat yang ditersangkakan oleh polisi.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, mengkritik langkah polisi yang menetapkan Veronica sebagai tersangka. "Ini mengarah pada upaya kriminalisasi," kata Beka. Ia berpendapat, Veronica hanya menginformasikan peristiwa persekusi dan ujaran rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dari sudut pandang yang berbeda.
ANDITA RAHMA | DEWI NURITA | REZKI ALVIONITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo