Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Perombakan peruntukan kawasan hutan seluas 400 hektare di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, dikritik.
Berpotensi merusak lingkungan di hulu kawasan dan menciptakan konflik dengan masyarakat.
Pemerintah akan mendirikan banyak tempat wisata di lahan itu, seperti restoran, hotel, dan kebun binatang mini.
JAKARTA – Sejumlah pegiat lingkungan mengkritik rencana pemerintah merombak peruntukan kawasan hutan seluas 400 hektare di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Proyek yang ditangani Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini berpotensi merusak lingkungan di hulu wilayah Labuan Bajo dan memicu konflik dengan masyarakat setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, Venan Haryanto, mengatakan ada tiga area yang akan dibangun dan berpotensi merusak ekologis. "Proyek Jurassic Park di Taman Nasional Komodo, pembangunan kota di pantai-pantai Labuan Bajo, dan pembangunan area wisata 400 hektare di hutan, kawasan hulu Labuan Bajo," ujar Venan kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah merencanakan pembangunan wisata premium di Nusa Tenggara Timur sejak 2017. Presiden Joko Widodo memasukkan provinsi ini sebagai bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Superprioritas Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Rencana tersebut kemudian dibagi dalam tiga proyek, yakni proyek wisata di kawasan Taman Nasional Komodo, wisata di hulu Labuan Bajo, dan pengembangan wisata di pesisir pantai Labuan Bajo.
Badan Otorita sebagai pengelola seluas 400 hektare itu dibentuk pada 2019, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2018. Badan ini mengemban peran sebagai akselerator pariwisata melalui fungsi koordinatif dan otoritatif di kawasan Labuan Bajo dan 10 kabupaten lainnya di daratan Flores. Semua proyek masuk rencana induk wisata terintegrasi untuk kawasan Labuan Bajo dan sekitarnya. Sebagai legitimasinya, rencana ini diatur dalam Rencana Tata Ruang dan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN) Kawasan Komodo.
Proyek 400 hektare hutan menjadi tempat wisata itu berada di hutan Bowosie—masyarakat setempat menyebutnya hutan Nggorang. Menurut Venan, pemerintah akan mendirikan banyak tempat wisata di lahan itu, seperti restoran, hotel, dan kebun binatang mini.
Venan khawatir pembangunan ini berdampak pada kerusakan ekologis. Musababnya, wilayah ini merupakan hulu resapan air sekaligus wilayah sumber mata air. Menurut dia, di sana terdapat 11 sumber mata air yang menjadi penghidupan masyarakat Labuan Bajo. "Secara ekologis, hutan ini penyumbang tutupan di Kota Labuan Bajo dan sumber mata air yang selama ini sering krisis."
Dia juga khawatir akan muncul konflik antara pemerintah dan masyarakat setempat apabila rencana proyek wisata ini dilanjutkan. Apalagi, dalam konsultasi uji analisis mengenai dampak lingkungan pada 2019, semua masyarakat di Kecamatan Komodo menolak pembangunan wisata itu. Menurut Venan, lahan 400 hektare tersebut milik masyarakat yang kemudian dijadikan kawasan hutan. Kini, kawasan hutan telah dilepaskan dan dikelola Badan Otorita untuk kepentingan proyek wisata premium.
Pelabuhan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, 2019. TEMPO/Tony Hartawan
Peneliti dari Senior Sajogyo Institute, Eko Cahyono, menilai road map KSPN Superprioritas Labuan Bajo dibuat hanya mengakomodasi sektor wisata demi kepentingan ekonomi. Pengelolaan wisata justru jauh dari kegentingan untuk menerapkan ekowisata atau upaya pelestarian lingkungan di kawasan Taman Nasional Komodo dan Labuan Bajo. "Orientasinya meningkatkan devisa. Tapi, pertanyaannya, keuntungan pembangunan wisata premium itu untuk siapa?" ujar dia.
Eko yakin pemerintah sama sekali tidak melibatkan masyarakat Nggorang dalam pengembangan kawasan wisata seluas 400 hektare di hutan Bowosie. Karena itu, dia memprediksi, pembangunan kawasan wisata itu bakal diperuntukkan mengejar pendapatan devisa negara dan kepentingan pemodal. Hal ini, kata dia, dapat dilihat dari paparan Badan Otorita yang kerap menggaungkan kebutuhan investasi.
Eko juga tak menemukan upaya pelestarian lingkungan dari tujuh arahan presiden terhadap rencana pengembangan wisata Labuan Bajo. Presiden hanya menginstruksikan agar Badan Otorita menyiapkan penanganan sampah di laut dan darat serta pengadaan air baku. Eko menganggap pemerintah tidak berpihak pada pelestarian lingkungan, khususnya untuk menjaga kelestarian flora dan fauna endemik wilayah itu.
Cypri Jehan Paju Dale, peneliti dari Institute of Social Anthropology Bern University, Swiss, mengatakan krisis lingkungan di hulu Labuan Bajo sudah dialami masyarakat sejak beberapa tahun terakhir. Ia banyak menemukan vila-vila yang dibangun di kawasan hutan Bowosie. "Apalagi nanti wilayah itu akan dialihkan untuk bisnis wisata, kerusakan lingkungannya bakal lebih parah," ujar dia.
Adapun Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores, Shana Fatina, belum berkomentar ihwal kritik dari para pegiat lingkungan. Sebelumnya, ia hanya menyampaikan dokumen paparan rencana pengembangan wisata di tempat tersebut. Juru bicara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nunu Anugrah, juga belum merespons ihwal pelepasan kawasan seluas 400 hektare.
Direktur Jenderal Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sigit Hardwinarto, mengatakan Kementerian mendukung rencana Badan Otorita mengembangkan wisata di kawasan hutan Labuan Bajo. Kementerian Pariwisata merencanakan usul penambahan luas pengembangan kawasan wisata dari 136 hektare menjadi 400 hektare di hutan Bowosie. Kementerian berencana menjadikan kawasan ekowisata dengan skema usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam melalui kerja sama dengan kesatuan pengelolaan hutan (KPH).
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo