Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kepolisian berencana melakukan uji balistik terhadap selongsong peluru yang diduga membunuh mahasiswa Universitas Haluoleo, Immawan Randi, 21 tahun, ke Belanda dan Australia. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, mengatakan uji balistik dilakukan di Belanda dan Australia karena kedua negara itu memiliki kemampuan dan peralatan yang memadai di bidang laboratorium forensik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tiga proyektil akan segera dikirim ke sana dalam waktu dekat," kata Dedi, kemarin. Ia belum dapat memastikan jadwal tim Pusat Laboratorium Forensik mengirim selongsong itu ke Belanda dan Australia. Tiga selongsong itu kini berada di Laboratorium Forensik Makassar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, Komisaris Besar Asep Adi Saputra, mengatakan selongsong peluru yang akan diuji balistik ke Belanda dan Australia itu diduga yang mengenai Randi maupun Putri, warga Kendari yang tengah mengandung. Ia mengatakan tujuan selongsong diuji balistik di dua negara itu untuk mengetahui pelaku penembakan terhadap Randi dan Putri. "Upaya kami untuk membuktikan secara profesional bagaimana peristiwa itu terjadi dan siapa yang melakukannya," katanya.
Randi meninggal saat demonstrasi mahasiswa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara, 26 September lalu. Mahasiswa semester VII Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo itu bersama ribuan mahasiswa lainnya dari berbagai kampus berunjuk rasa menentang perubahan ketiga Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka juga menolak rencana pengesahan sejumlah rancangan undang-undang yang bermasalah di DPR.
Demonstrasi mahasiswa ini berlangsung ricuh dan menyebabkan dua mahasiswa Universitas Haluoleo, yaitu Randi serta Muhammad Yusuf Kardawi, tewas. Randi tertembak di dada kanan dan Yusuf menderita luka di kepala karena benda tumpul. Warga Kendari, Putri, juga terkena tembakan di kaki saat berada di rumahnya, tak jauh dari lokasi demonstrasi.
Polisi yang mengusut kasus ini menemukan tiga selongsong peluru berdiameter 9 milimeter di lokasi demonstrasi. Mahasiswa juga mendapati dua selongsong peluru di lokasi, ukurannya sama dengan temuan polisi. Satu lagi selongsong peluru ditemukan warga Kendari, yang berbeda ukuran dengan temuan polisi.
Hasil investigasi tim Profesi dan Pengamanan Polda Sulawesi Tenggara menyimpulkan enam polisi melanggar prosedur karena membawa senjata api saat menjaga demonstrasi. Keenam polisi itu berinisial DK, GM, MI, MA, H, dan E. Mereka berasal dari satuan intelijen dan reserse di Polda Sulawesi Tenggara dan Polres Kendari. "Keenam orang ini masih berstatus terperiksa," kata Asep Adi Saputra.
Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tenggara, Ajun Komisaris Besar Harry Goldenhardt, mengatakan tim penyidik kepolisian sudah memeriksa 21 saksi. Sebanyak 13 saksi berasal dari polisi, 5 orang mahasiswa, dan 3 orang dari warga. "Penyelidikan kasus dugaan pelanggaran etik dan penyelidikan lainnya berjalan paralel," katanya.
Komisioner Ombudsman RI, La Ode Ida, mengatakan lembaganya terus memantau perkembangan pengusutan polisi terhadap kematian dua mahasiswa Kendari itu. Ia melihat penyelidikan polisi berjalan lamban. "Proses pengusutan ini harus berjalan jujur, terbuka, dan mengungkap pelaku penembakan serta siapa yang memerintahkan," katanya.
Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Tenggara, Hidayatullah, mengatakan polisi sudah 12 hari mengusut kasus tersebut, tapi belum juga mengetahui pelaku penembakan Randi dan penganiayaan terhadap Yusuf. "Jangan main-main seolah-olah ini ada upaya mendelegitimasi, mau dibuat hilang karena waktu," kata Hidayatullah.
STEPANUS NYOMAN ARY WAHYUDI | ROSNIAWANTI FIKRI (KENDARI) | RUSMAN PARAQBUEQ
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo