Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Jokowi meminta Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan.
Pemerintah masih menunggu draf final dan RUU TPKS diparipurnakan.
Rencana pengesahan RUU TPKS pada tahun lalu terganjal penolakan di DPR.
JAKARTA — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berjanji akan berembuk dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mempercepat perampungan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS. Tahun ini, legislator Senayan akan kembali mengusulkan rancangan undang-undang yang dulu dikenal dengan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) itu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak hanya segera dibahas dan disahkan, tapi juga sungguh-sungguh menjadi payung hukum komprehensif yang melindungi masyarakat Indonesia, khususnya perempuan dan anak, dari kekerasan seksual," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan I Gusti Ayu Bintang, kemarin.
Presiden Joko Widodo meminta agar RUU TPKS segera disahkan. Pemerintah membentuk Gugus Tugas RUU TPKS untuk berkoordinasi dengan Badan Legislasi DPR. Gugus tugas ini terdiri atas perwakilan Kantor Staf Presiden, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kejaksaan Agung, serta Kepolisian Republik Indonesia.
Massa dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual menggelar unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, 22 Desember 2021. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Menteri Bintang menyatakan siap mempercepat pembahasan setelah draf RUU tersebut diparipurnakan oleh DPR. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dia melanjutkan, ikut mengawal pembahasan RUU TPKS sejak awal diusulkan pada 2016. "Kami yang menerima surpres (surat presiden) telah secara resmi pada 2017 menyusun DIM (daftar inventaris masalah). Namun RUU itu belum berhasil disahkan hingga 2019."
RUU tersebut kembali diusulkan sebagai inisiatif DPR pada Prolegnas 2020 dan 2021, dengan hasil yang tetap nihil. Legislator akan kembali mengusulkan RUU TPKS pada tahun ini. Kementerian Pemberdayaan Perempuan akan menggandeng organisasi, tokoh agama, tokoh adat, lembaga swadaya masyarakat, hingga akademikus agar rancangan aturan ini bisa segera disahkan. "Ini merupakan bagian dari kerangka besar arahan Presiden kepada Kementerian PPPA, yaitu penurunan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak," ujar Bintang.
Bersama Gugus Tugas RUU TPKS, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menyusun DIM dari draf yang dibuat legislator pada tahun lalu. "Kalau nanti draf final sudah diputuskan, kami tinggal menyesuaikan DIM itu," kata Kepala Subbidang Pembahasan RUU TPKS Kemenkumham, Muhammad Waliadin.
Pemerintah, Waliadin melanjutkan, berusaha mendorong DPR segera membahas dan mengesahkan RUU itu dengan pembentukan gugus tugas sejak tahun lalu. Namun, setelah Gugus Tugas mendorong pembahasan, muncul banyak temuan oleh para legislator Senayan. Walhasil, terjadi pembahasan alot di lingkup internal mereka dan berujung batalnya rencana pengesahan RUU TPKS pada tahun lalu.
Menurut Waliadin, pada tahun lalu, hanya satu fraksi yang menolak rancangan undang-undang tersebut, yakni Partai Keadilan Sejahtera. Namun, menjelang akhir pembahasan, penolakan justru meluas ke lima fraksi lain.
Penolakan tersebut muncul seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan di Lingkungan Perguruan Tinggi oleh Nadiem Makarim pada September 2021. PKS menyatakan keberatan akan frasa kekerasan seksual tanpa persetujuan korban. Mereka menganggap frasa tersebut melegalkan perzinaan. "Akhirnya pemerintah terjebak," kata Waliadin. Dia enggan menyebutkan enam fraksi penolak RUU tersebut.
Membesarnya penolakan mendorong Gugus Tugas menyambut bola dengan meminta draf RUU TPKS guna menyusun DIM. "Jika sudah ada draf final, pembahasan akan lebih cepat," ujar Waliadin.
Suasana rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di ruang Badan Legislasi, Kompleks Parlemen, Senayan, 8 Desember 2021. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Golkar, John Kenedy Azis, membantah tudingan soal merebaknya penolakan terhadap RUU TPKS. Menurut dia, rancangan aturan itu belum dapat disahkan karena masih menunggu penyempurnaan dari para anggota Dewan. "Semua fraksi pada prinsipnya mendukung RUU ini. Tapi kami tidak mau nanti digugat pasca-pengesahan karena belum maksimal membahas rancangannya," ujar dia.
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi janji terbuka Presiden soal percepatan pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, berharap pernyataan kepala negara dan kepala pemerintahan itu mendorong partai politik yang sempat ingin menunda, atau bahkan menolak, RUU TPKS berubah sikap menjadi turut mendukung terbentuknya aturan pelindungan perempuan dan anak itu.
"Pernyataan Presiden perlu menjadi pedoman bagi berbagai pihak, khususnya di DPR dan pemerintah, agar dalam pembahasan nanti sepenuhnya berfokus pada kepentingan korban," ujar Andy. Dengan demikian, naskah undang-undang akan terhindar dari negosiasi-negosiasi politik yang justru dapat melemahkan posisi korban.
Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan berharap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa disahkan dalam waktu enam bulan. "Kami berharap DPR segera memasukkan RUU TPKS dalam paripurna," ujar Venny Siregar, koordinator organisasi tersebut.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo