Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Setara Institute, Halili, mengatakan pemotongan nisan makam bersimbol salib di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, mengindikasikan adanya pelemahan basis sosial di Yogyakarta dalam membangun toleransi. “Dalam perspektif kebinekaan dan kesetaraan hak konstitusional memeluk agama, tindakan kelompok mayoritas tersebut tidak dapat dibenarkan,“ kata Halili di Jakarta, Rabu, 19 Desember 2018.
Baca: Mendagri Akan Cek Kasus Pemotongan Nisan Salib
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halili menjelaskan, kasus Purbayan menunjukkan mengerasnya konservatisme keagamaan yang menjangkau kelompok sosial terbawah. Menurut dia, ini tidak hanya berdampak pada penebalan politik identitas, tapi juga penguatan kecemasan dan ketakutan atas simbol identitas yang berbeda. Halili pun menilai, surat pernyataan bermeterai menjadi sarana menuntut keikhlasan dari kelompok minoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polemik ini bermula ketika sekelompok masyarakat meminta keluarga memotong simbol salib pada nisan Albertus Slamet Sugiardi, seorang penganut Katolik, di Permakaman Jambon, RT 53 RW 13 Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Mereka tak ingin tanda agama Katolik ada di area permakaman. Mereka berdalih ingin menjadikan kompleks tersebut sebagai area permakaman khusus muslim. Mereka juga meminta makam Slamet dibuat di pinggir permakaman.
Nisan Slamet pun tinggal berbentuk huruf T. Setelah permakaman, warga setempat melarang keluarga untuk menggelar doa arwah. Ketua RT 53, Soleh Rahmad Hidayat, berdalih tak adanya simbol kristiani di makam telah menjadi aturan tak tertulis warganya. Warga pun meminta Maria Sutris Winarni untuk menandatangani surat pernyataan yang berisi keikhlasan untuk menghilangkan tanda salib tersebut.
Baca: Heboh Nisan Tanda Salib Dipotong di Yogya, Begini Kronologinya
Halili menambahkan, peristiwa ini sejalan dengan rilis Indeks Kota Toleran 2018 oleh Setara Institute. Dalam rilisnya, Yogyakarta memiliki skor 4,8 dalam skala 1-7. Menurut dia, skor ini menunjukkan masih sangat rendahnya toleransi di Yogyakarta. “Kasus Purbayan menegaskan buruknya inklusi soal keagamaan,” kata dia.
Ketua Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan DIY, Agustinus Sumaryoto, mengatakan kasus Purbayan ini bukan peristiwa intoleransi pertama di Yogyakarta setelah penyerangan Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman. Sumaryoto mengatakan, berdasarkan penelusuran timnya, status area permakaman Slamet adalah permakaman umum. Ia pun meminta kepolisian melindungi keluarga korban dari segala bentuk tekanan dan ancaman fisik.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan bakal mengkaji kasus pemotongan salib nisan tersebut. “Untuk teguran, kami akan lihat dulu kasusnya,“ ujar dia. Politikus PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa pemerintah akan terus berupaya untuk mencegah timbulnya intoleransi di masyarakat.
Adapun Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, membantah Yogyakarta tak toleran. “Itu konsekuensi karena diviralkan, padahal sebenarnya tidak ada masalah,“ ujarnya. Menurut dia, warga Purbayan sudah cukup toleran dengan memperbolehkan jenazah Slamet dimakamkan di area permakaman yang selama ini hanya untuk warga muslim.
VINDRY FLORENTIN | MUH. SYAIFULLAH (YOGYAKARTA)