KESEDERHANAAN sering jadi ucapan, tapi apa yang tampak hari itu
memang mengesankan. Upacara peringatan hari ulang tahun ABRI 5
Oktober lalu di Senayan selesai dalam waktu kurang dari dua jam.
Tidak ada pesawat jet yang ikut menderu dalam flypass. Tidak ada
demonstrasi satu batalyon pasukan diterjunkan. Hidangan untuk
hadirin cukup sebungkus kue dan satu dus teh. Semuanya efisien,
dan memenuhi tujuan: sebuah hari kelahiran tidak dilupakan.
Juga sebuah pola baru telah ditunjukkan. Tahun ini hanya enam
brigade pasukan yang ikut upacara. Tidak ada pasukan yang
didatangkan dari luar Jakarta. "Jadi, tidak ada biaya untuk
pengangkutan pasukan, biaya akomodasi, dan sebagainya," kata
seorang perwira Hankam. Bila ada yang agak istimewa tahun ini,
itu cuma Pameran Industri dan Teknologi Hankam di Istora Senayan
yang dibuka Presiden Soeharto dan Ny. Tien. Berbagai peralatan
ABRI yang dimiliki, termasuk peluru kendali Exocet, untuk
pertama kalinya dipamerkan kepada umum.
Tidak adanya demonstrasi kegiatan operasional atau kemahiran
militer itu telah dipertimbangkan jauh-jauh hari. Panglima ABRI
Jenderal L. Benny Moerdani memang menghendakinya. "Kesederhanaan
ini bukanlah berarti berkurangnya penghormatan dan penghargaan
kita terhadap Hari ABRI kebanggaan kita itu," kata Jenderal
Benny pada pidatonya di TVRI. Alasan kesederhanaan ini, menurut
Pangab, adalah "keprihatinan yang mendalam akan keselamatan
kesinambungan pembangunan nasional yang sedang dihambat
kesulitan akibat resesi dunia."
Namun, tak berarti ABRI, di bawah Jenderal Benny, adalah ABRI
masa resesi. Di balik itu semua, Jenderal Benny agaknya
memanfaatkan Hari ABRl itu sebagai titik awal dan suatu
kebijaksanaan barunya: bagaimana menyusun suatu ABRI yang cocok
untuk Indonesia kini dan di masa depan yang nampak. Kabarnya,
hal itu diuraikannya dalam Rapat Pimpinan (Rapim) ABRI 1983 yang
berlangsung di Jakarta 26-29 September lalu.
Sebelumnya, dalam kunjungan peninjauannya ke berbagai daerah,
kebijakanaan baru ini telah diuraikan Benny. Dalam perintah
harian 1 April 1983, Pangab dengan jelas meneantumkan soal
penghematan dan peningkatan efisiensi serta keterampilan
profesional. Dan Rapim yang dihadiri 146 pejabat teras ABRI itu
merupakan forum paling tepat bagi Pangab untuk menyampaikan
kebijaksanaan pimpinan ABRI itu secara lebih terperinci.
Kebijaksanaan yang akan melahirkan perubahan cukup besar itu
pada dasarnya bukan sesuatu yang baru, memang. Tapi jelas lebih
konsisten derapnya. "Selama ini kita kurang memperhatikan
pengeluaran uang untuk meningkatkan efisiensi. Pengeluaran yang
hanya untuk kelihatan kaya, atau gagah, harus dikasih rem yang
agak lebih kencang, kata Benny. Dengan lain kata, Pangab
mengingini ABRI perlu ikut prihatin.
Langkah pertama kebijaksanaan baru tersebut adalah meninjau
semua hal berdasarkan fungsinya. "Setelah itu, ditentukan tugas
pokoknya, dan baru kemudian bagaimana pengorganisasiannya," kata
seorang pejabat Hankam.
Upacara yang bersifat seremonial, misalnya, dinilai tidak sesuai
dengan fungsi dan tugas pokok ABRI. Dan peringatan Hari ABRI
secara besar-besaran rupanya termasuk kategori ini. "Sebagai
pertanggungjawaban pada rakyat, sekaligus untuk menunjukkan
bahwa ABRI siap menangkal tiap serbuan, peringatan Hari ABRI
yang besar memang baik. Tapi itu tidak perlu dilakukan setiap
tahun. Mungkin sekali dalam lima tahun di akhir satu Repelita,"
kata sebuah sumber TEMPO.
Menurut suatu sumber lain, belakangan ini memang tumbuh berbagai
kebiasaan yang tidak sesuai atau malahan bertentangan dengan
tugas pokok ABRI. Umpamanya, ada suatu kesatuan yang
memperingati ulang tahunnya dengan acara demonstrasi menembak
oleh anggota Persit. Itu tentu sesuatu yang bisa dinilai
berlebihan. Biaya cukup besar dikeluarkan untuk melatih para ibu
itu menembak.
Contoh lain: pembangunan balai prajurit atau gedung serba guna
di tiap daerah juga bisa dianggap tidak teramat perlu. Ternyata
bangunan itu jarang digunakan untuk acara-acara prajurit, dan
lebih sering disewakan pada pihak luar untuk pesta pengantin...
Contoh itu mungkin cuma contoh permukaan, tapi mencerminkan
belum adanya suatu tinjauan yang menyeluruh mengenai pengeluaran
ABRI yang rasional.
Ada empat pos pengeluaran: biaya personil, biaya penggiatan
(operating cost), biaya pemeliharaan (maintenance cost), dan
biaya investasi. "Di masa lalu, biaya personil ini terlalu
besar, pernah mencapai 70 persen dari pengeluaran," kata seorang
pejabat teras ABRI. Biaya personil ini meliputi gaji prajurit,
uang lauk-pauk, dan pengeluaran rutin lainnya.
Penekanan biaya personil ini tidak berarti pengurangan personil
ABRI. Belanja rutin yang tinggi, menurut suatu penelitian,
ternyata terutama disebabkan oleh struktur organisasi ABRI.
Karena itu, hal inilah yang dijadikan sasaran.
Seperti dikatakan Pangab Benny dalam wawancaranya dengan TEMPO,
organisasi ABRI saat ini dinilai terlalu besar dan tidak sesuai
lagi dengan situasi saat ini.
Dibentuk setelah 1965, oranisasi ABRI sekarang tampaknya
terlalu terpengaruh oleh suasana purna-G30S/PKI. Waktu itu ABRI
sempat terguncang perpecahan sebagai akibat penyusupan PKI, yang
hampir bikin bentrok pelbagai angkatan. Maka, tatkala ditata
kembali, tujuan pokoknya adalah integrasi. Penampilan integrasi
melalui penyusunan suatu organisasi yang sama dan sebangun pada
keempat angkatan - agar tampak "adil".
Demikianlah, di mana ada Kodam (Komando Daerah Militer),
dibentuk Kodau (Komando Daerah Angkatan Udara), Kodaeral
(Komando Daerah Angkatan Laut) dan Kodak (Komando Daerah
Kepolisian). Bila di TNI-AD ada sekian asisten yang berpangkat
jenderal, di TNI-AU dan TNI-AL akan terdapat susunan dan jumlah
yang sama itu adalah hilangnya kekhasan matra angkatan.
"Misalnya AURI. Menurut doktrinnya, AU sangat mengutamakan
peralatan dan teknologi. Tapi, untuk persamaan denan angkatan
lain, AURI harus membayarnya dengan menurunnya tingkat
profesionalisme individunya," ujar suatu sumber TEMPO. Artinya,
jumlah personilnya terlalu banyak dibanding peralatan yang ada,
sedangkan tingkat kemahiran dan keterampilan belum dianggap
memadai.
Kini integrasi keempat angkatan dianggap telah tercapai. Maka,
tiba saatnya organisasi yang ada ditata secara lebih rasional.
"Struktur organisasi ABRI yang sekarang ini lebih berat ke atas.
Terlalu banyak jenderal dan pimpinannya, ' kata seorang perwira
tinggi Hankam. Menurut dia, masalah penyusunan dan penataan
kembali ABRI ini merupakan salah satu masalah utama yang
dibicarakan dalam Rapim.
Keluarnya Undang-undang Nomor 20/ 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI, yang
diundangkan tahun lalu, rupanya dimanfaatkan pimpinan ABRI untuk
menata kembali organisasi ABRI ini. Belum jelas bagaimana
struktur organisasi ABRI yang baru ini. Keputusan Presiden yang
mengaturnya belum keluar. Tapi, menurut beberapa sumber,
organisasi baru ABRI ini memang lebih efisien. Di Markas Besar
ABRI, tiga kepala staf yang semula ada dikurangi menjadi dua.
Kepala Staf Administrasi (Kasmin) akan dipindahkan ke Departemen
Hankam sebagai Sekjen. Hingga yang tinggal Kepala Staf Umum
(Kasum) dan Kepala Staf Sosial Politik (Kasospol) yang dahulu
disebut Kepala Staf Kekaryaan. Kasum akan mengepalai staf Pangab
dalam melakukan tugas hankamnya, sedang Kasospol merupakan
tangan Pangab dalam menjalankan tugas sosial politik.
Mengapa Kepala Staf Kekaryaan diubah namanya menjadi Kasospol?
"Itu tidak berarti dwifungsi ABRI mau ditingkatkan. Alasannya
hanya agar fungsi sosial politik ABRI lebih gamblang dinyatakan,
dan ini lebih luas artinya dari kekaryaan," kata seorang pejabat
Hankam.
Sejauh mana penghematan bisa dilakukan dalam susunan organisasi
ABRI yang baru ini, tentu saja, masih harus ditunggu. Namun,
pimpinan ABRI kabarnya telah merumuskan suatu komposisi yang
ideal dari pengeluaran ABRI: belanja rutin 50%, penggiatan 10%,
pemeliharaan 10%, dan investasi 30%. Menurut perhitungan, dengan
biaya investasi yang30% tadi, ABRI bisa membeli peralatan baru,
hingga tidak ketinggalan dengan perkembangan teknologi mutakhir
yang di beberapa bagian memang mau.tak mau harus dlmlhkl.
Komposisi pengeluaran yang ideal tersebut hingga kini belum bisa
dicapai. Dalam anggaran belanja ABRI 1983/1984, misalnya,
belanja rutin memang telah bisa ditekan sampai 50,83% dan
pemeliharaan 9,67%. Tapi kedua pos pengeluaran lainnya masih
timpang: investasi 22,4% dan penggiatan 16,96%. Mungkin karena
itulah belanja penggiatan di masa mendatang akan lebih ditekan.
Salah satu kegiatan ABRI yang termasuk penggiatan yang tampaknya
bakal terkena adalah program ABRI Masuk Desa (AMD).
Di waktu lalu, di beberapa daerah, AMD ini dilakukan dengan
mengirimkan pasukan dari daerah lain yang tiba di daerah lokasi
AMD - dengan diterjunkan dari pesawat terbang. Kelak, "Tidak
akan ada lagi AMD yang diterjunkan," kata Pangab Benny.
Menurut Benny, program AMD dengan penerjunan dulu itu
dimaksudkan agar semua pasukan ABRI mengenal daerah lainnya.
Kebijaksanaan itu kini diubah. Yang dikerahkan dalam AMD adalah
pasukan ABRI setempat, karena mereka lebih mengenal daerahnya.
Yang diwajibkan mengenal daerah lain sekarang ini hanya para
perwira.
Dari berbagai langkah penghematan Benny, tampaknya yang paling
akan nampak di mata secara langsung adalah rencana penyeragaman
pakaian buat ketiga angkatan dan polri. Meskipun "peraturan
mengenai hal ini sedang dipersiapkan," kata Kepala Puspen Hankam
Laksamana Emir Mawengkang, tapi sebuah sumber menyatakan: warna
seragam baru yang dipilih ialah warna khaki.
Menurut Emir, pelaksanaan penyeragaman pakaian ini menunggu masa
habis pakaian uniform yang sekarang ini. "Bukan penghematan
namanya kalau seragam baru itu dilaksanakan sebelum seragam yang
sekarang dipakai habis masa pakainya," ujar Emir. Segalanya
memang dihitung. Menurut Jenderal Benny sendiri, dengan
penyeragaman ini bisa dihemat uang sampai Rp 24 mllyar setahun
(Lihat Wawancara).
Dalam sejarah ABRI, upaya penghematan seperti sekarang ini tentu
bukan yang pertama kali dilakukan. Pada 1950 pimpinan ABRI
melakukan tindakan yang lebih drastis: mengurangi jumlah pasukan
dari 500.000 menjadi tinggal sekitar 200 .000 . "Rasionalisasi"
tersebut sempat menimbulkan gejolak karena sebagian besar
prajurit yang diberhentikan itu adalah bekas lasykar yang punya
afiliasi politik.
Yang dilakukan Jenderal Benny sekarang ini agak berbeda. Jumlah
personil tidak akan dikurangi. "Yang ditingkatkan adalah
pendayagunaan tiap individu secara optimal. Malah kalau kurang,
akan ditambah," kata seorang pejabat Hankam.
Sebagai contoh ia menunjuk Polri. Berbeda dengan angkatan
perang, Polri tidak bisa digantikan dengan peralatan yang modern
sekahpun.
Untuk meningkatkan mutu Polri, mulai 1984 syarat minimum
pendidikan calon bintara adalah lulusan SMTA. "Dengan demikian
nanti kita akan memperoleh sersan polisi yang kualitas
pendidikannya SMTA ditambah sebelas bulan pendidikan bintara,"
kata Kapolri Letjen (pol) Anton Soedjarwo.
Berbagai langkah baru Jenderal Benny tampaknya memang ditunggu
banyak pihak sekarang. Di saat-saat ekonomi Indonesia tersendat
akibat resesi ekonoi dunia, suatu kesadaran tumbuh: bagaimana
membentuk suatu angkatan bersenjata yang kekuatan dan fungsinya
cocok dengan keperluan yang ada secara rasional.
Namun Benny, seperti biasanya, tidak ingin bikin pentas
pertunjukan. la, misalnya, tidak akan menjalankan kebijaksanaan
ini secara drastis. Efisien dan cukup perhitungan dalam sasaran
maupun dalam cara. Ia juga tidak menyenggol masalah yang bisa
dianggap peka oleh sejumlah orang: menyempitnya kesempatan
promosi menjadi perwira tinggi dengan dirasionalisasikannya
organisasi ABRI. Dalam wawancaranya dengan TEMPO, ia tidak
mengemukakan pengharapan yang berlebihan tinggi. Seperti
kebiasaannya dalam operasi tentara, ia mengharapkan hasil yang
terbaik, tapi juga bersiap menghadapi kemungkinan yang terburuk.
Menurut Benny, apa yang dilakukannya sebetulnya bukan sesuatu
yang baru. "Saya hanya menggali kembali tradisi ABRI yang lama,"
katanya. Mungkin yang dimaksud tradisi semasa ABRI dilahirkan
pada Oktober 1945, tatkala Indonesia tak punya apa-apa. Toh
kepentingan bangsa ditaruh diatas segala-galanya.
Di saat ABRI memasuki usianyayang ke-39, terasa hal ini
menyegarkan. Bukan karena kata kesederhanaan itu, bukan pula
semata-mata karena suara penghematan itu. Tapi karenanya
dirumuskan melalui analisa yang jernih, berimbang, dan dengan
kesadaran: ketika Indonesia tak menghadapi ancaman yang
mendesak, dari luar maupun dari dalam, segala daya upaya
disiapkan untuk kemajuan yang yang selama ini dicita-citakan.
Bukan untuk menggebrak-gebrak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini