Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kabinet wilopo

Herbert feith, ahli ilmu politik australia menulis buku, the decline of constitutional democracy in indonesia. menilai kegagalan kabinet wilopo, karena pandangan administratif dalam meninjau tugasnya.

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA "administrator", ada "pembentuk solidaritas". Tipologi yang terkenal dalam pembicaraan tentang politik Indonesia itu tentu saja datang dari Herbert Feith, seorang ahli ilmu politik dari Australia yang menulis buku, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Banyak yang sudah hafal apa arti tipologi itu. Namun, tak ada jeleknya di sini diulangi. Buku Feith ditulis 21 tahun yang lalu - ketika banyak orang, termasuk para mahasiswa ilmu sosial dan politik, masih jabang bayi. Buku Feith juga ditulis 21 tahun yang lalu, ketika kehidupan politik demikian lain hingga kita mengenangnya kini bagaikan membaca cerita negeri jauh. Ada tokoh jenis "administrator" dan ada "pembentuk solidaritas", kata Feith tentang para pemimpin Indonesia. Yang pertama berwujud hampir sempurna dalam diri Bung Hatta. Yang kedua dalam gaya Bung Karno. Soekarno menciptakan simbol dan menekankan kembali tuntutan mesianis serta janji-janji Revolusi. Hatta menyusun kebijaksanaan administratif dan mendesakkan perlunya realisme. Seorang "administrator" menekankan perlunya legalitas dan terpeliharanya kontrol. Seorang "pembentuk solidaritas" bicara dengan hati bergelora tentang rakyat - tentu saja "rakyat" bukan sebagai kenyataan yang terbagi-bagi, melainkan suatu keutuhan, suatu daya, suatu gairah. Bagi khalayak ramai, sudah tentu kaum "pembentuk solidaritas" lebih memikat. Bagi banyak orang, dalam sebuah bangsa yang baru menyentuh dengan gemetar dan gugup ambang kehidupan modern, politik memang berfungsi "membangun dan mempertahankan tertib dalam diri pribadi". Mereka butuh simbol, mereka perlu halhal yang ideal. Mereka pun tak jarang mudah teperdaya oleh resep mahajitu untuk segala persoalan yang dltawarkan. Seolah duma bsa tanpa cacat dan politik suatu panggilan - bukan jalan - ke arah sana. Dalam hal seperti itu, memang sering tampak bahwa kaum "pembentuk solidaritas" lebih berada di atas angin, bila keterampilan memikat rakyat banyak dipentingkan. Menarik bagaimana misalnya Feith menilai Kabinet Wilopo, yang memerintah Indonesia antara April 1952 dan Juni 1953. Kabinet ini, dalam tipologi Feith, adalah kabinet para "administrator". Sang Perdana Menteri sendiri contoh tokoh yang demikian. Ia putra seorang mantri guru di Purworejo, yang punya hak untuk masuk Europese Lagere Scool, sekolah yang diperuntukkan buat anak-anak Belanda. Meskipun ia kemudian memilih HIS, Wilopo pada akhirnya melanjutkan ke AMS-B di Yogya, dan melalui sekolah menengah atas jurusan ilmu pasti & alam ini ia hampir saja masuk sekolah teknik tinggi. Wilopo, yang pernah direncanakan orangtuanya untuk jadi pegawai gubernemen ini, akhirnya masuk sekolah tinggi hukum. Dari sejarah singkat itu tampak agaknya kecenderungannya untuk peran yang lebih membutuhkan keterampilan teknis dibanding kapasitas mengimbau orang lain. Dan ketika ia jadi perdana menteri, tokoh PNI ini lancar saja bekerja sama dengan tokoh- tokoh Masyumi dan PSI (antara lain Prof. Sumitro Djojohadikusumo). Perbedaan idelogis antara mereka diatur serendah mungkin: pada akhirnya mereka toh dari kalangan atas yang sama di masyarakat Indonesia, dengan cita dan selera yang sama. Kabinet Wilopo kemudian tercatat sebagai salah satu dari sedikit kabinet di Indonesia yang berhasil di bidang ekonomi - khususnya dalam neraca pembayaran dan menyusun anggaran. Namun, tanggal 2 Juni 1953, baru 14 bulan memerintah, kabinet itu jatuh di parlemen. Kenapa? Feith mencatat, kegagalan politik kabinet ini ialah karena pandangannya yang semata-mata "administratif" dalam meninjau tugasnya. Mengira akan berhasil dengan menampakkan hasil yang efektif, kabinet Wilopo tak "menjalankan peran pahlawan", dan "tak spektakuler", justru ketika benih perpecahan di banyak bidang tengah berjangkit. Salahkah Wilopo? Di tahun 1979, ketika Wilopo berusia 70 tahun, seorang "administrator" lain dari kabinetnya waktu itu, Mohamad Roem, menuliskan kenangan, membela rekannya, "Orang yang tidak memanipulasikan keresahan rakyat, orang yang tidak main kepahlawanan, dan tidak memberi kesempatan kepada pengikutnya bermain-main kepahlawanan, orang yang lugu, jujur dan sederhana, orang itu pahlawan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus