ADA "administrator", ada "pembentuk solidaritas".
Tipologi yang terkenal dalam pembicaraan tentang politik
Indonesia itu tentu saja datang dari Herbert Feith, seorang ahli
ilmu politik dari Australia yang menulis buku, The Decline of
Constitutional Democracy in Indonesia.
Banyak yang sudah hafal apa arti tipologi itu. Namun, tak ada
jeleknya di sini diulangi. Buku Feith ditulis 21 tahun yang lalu
- ketika banyak orang, termasuk para mahasiswa ilmu sosial dan
politik, masih jabang bayi. Buku Feith juga ditulis 21 tahun
yang lalu, ketika kehidupan politik demikian lain hingga kita
mengenangnya kini bagaikan membaca cerita negeri jauh.
Ada tokoh jenis "administrator" dan ada "pembentuk solidaritas",
kata Feith tentang para pemimpin Indonesia. Yang pertama
berwujud hampir sempurna dalam diri Bung Hatta. Yang kedua dalam
gaya Bung Karno.
Soekarno menciptakan simbol dan menekankan kembali tuntutan
mesianis serta janji-janji Revolusi. Hatta menyusun
kebijaksanaan administratif dan mendesakkan perlunya realisme.
Seorang "administrator" menekankan perlunya legalitas dan
terpeliharanya kontrol. Seorang "pembentuk solidaritas" bicara
dengan hati bergelora tentang rakyat - tentu saja "rakyat" bukan
sebagai kenyataan yang terbagi-bagi, melainkan suatu keutuhan,
suatu daya, suatu gairah.
Bagi khalayak ramai, sudah tentu kaum "pembentuk solidaritas"
lebih memikat. Bagi banyak orang, dalam sebuah bangsa yang baru
menyentuh dengan gemetar dan gugup ambang kehidupan modern,
politik memang berfungsi "membangun dan mempertahankan tertib
dalam diri pribadi".
Mereka butuh simbol, mereka perlu halhal yang ideal. Mereka pun
tak jarang mudah teperdaya oleh resep mahajitu untuk segala
persoalan yang dltawarkan. Seolah duma bsa tanpa cacat dan
politik suatu panggilan - bukan jalan - ke arah sana.
Dalam hal seperti itu, memang sering tampak bahwa kaum
"pembentuk solidaritas" lebih berada di atas angin, bila
keterampilan memikat rakyat banyak dipentingkan. Menarik
bagaimana misalnya Feith menilai Kabinet Wilopo, yang memerintah
Indonesia antara April 1952 dan Juni 1953.
Kabinet ini, dalam tipologi Feith, adalah kabinet para
"administrator". Sang Perdana Menteri sendiri contoh tokoh yang
demikian.
Ia putra seorang mantri guru di Purworejo, yang punya hak untuk
masuk Europese Lagere Scool, sekolah yang diperuntukkan buat
anak-anak Belanda. Meskipun ia kemudian memilih HIS, Wilopo pada
akhirnya melanjutkan ke AMS-B di Yogya, dan melalui sekolah
menengah atas jurusan ilmu pasti & alam ini ia hampir saja masuk
sekolah teknik tinggi. Wilopo, yang pernah direncanakan
orangtuanya untuk jadi pegawai gubernemen ini, akhirnya masuk
sekolah tinggi hukum.
Dari sejarah singkat itu tampak agaknya kecenderungannya untuk
peran yang lebih membutuhkan keterampilan teknis dibanding
kapasitas mengimbau orang lain. Dan ketika ia jadi perdana
menteri, tokoh PNI ini lancar saja bekerja sama dengan tokoh-
tokoh Masyumi dan PSI (antara lain Prof. Sumitro
Djojohadikusumo). Perbedaan idelogis antara mereka diatur
serendah mungkin: pada akhirnya mereka toh dari kalangan atas
yang sama di masyarakat Indonesia, dengan cita dan selera yang
sama.
Kabinet Wilopo kemudian tercatat sebagai salah satu dari sedikit
kabinet di Indonesia yang berhasil di bidang ekonomi - khususnya
dalam neraca pembayaran dan menyusun anggaran. Namun, tanggal 2
Juni 1953, baru 14 bulan memerintah, kabinet itu jatuh di
parlemen.
Kenapa? Feith mencatat, kegagalan politik kabinet ini ialah
karena pandangannya yang semata-mata "administratif" dalam
meninjau tugasnya. Mengira akan berhasil dengan menampakkan
hasil yang efektif, kabinet Wilopo tak "menjalankan peran
pahlawan", dan "tak spektakuler", justru ketika benih perpecahan
di banyak bidang tengah berjangkit.
Salahkah Wilopo? Di tahun 1979, ketika Wilopo berusia 70 tahun,
seorang "administrator" lain dari kabinetnya waktu itu, Mohamad
Roem, menuliskan kenangan, membela rekannya, "Orang yang tidak
memanipulasikan keresahan rakyat, orang yang tidak main
kepahlawanan, dan tidak memberi kesempatan kepada pengikutnya
bermain-main kepahlawanan, orang yang lugu, jujur dan sederhana,
orang itu pahlawan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini