Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Tiga ratus akademikus dari 119 kampus menolak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja karena menilai pengesahan dan isi undang-undang itu cacat hukum. Perwakilan Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law, Haris Retno Susmiyati, mengatakan isi dalam omnibus law itu terdapat banyak kesalahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Retno mencontohkan, pada Pasal 7 ayat 1 UU Cipta Kerja merujuk pada Pasal 6 huruf a. Lalu Pasal 6 huruf a ini merujuk lagi pada ketentuan dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a. Tapi dalam Pasal 5 tidak terdapat ayat 1 huruf a. “Seperti ini merupakan bukti keamburadulan dan kengawuran dari perumusan UU Cipta Kerja,” kata pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman ini, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia berpendapat, dalam perspektif hukum, kondisi tersebut bisa dianggap bahwa undang-undang itu cacat hukum. Kemudian secara teori, pembuat undang-undang bisa membatalkannya. Retno menganggap berbagai kesalahan itu seharusnya menjadi peluang bagi Presiden Joko Widodo untuk mencabut pemberlakuan UU Cipta Kerja.
Menurut Retno, Aliansi Akademisi juga menemukan proses penyusunan omnibus law yang melanggar tata penyusunan peraturan perundang-undangan. “Hal itu tampak dari tidak adanya partisipasi yang cukup dari elemen masyarakat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan UU Cipta Kerja pada saat represi terhadap hak menyatakan pendapat terjadi di sejumlah tempat. Demonstrasi kelompok penentang omnibus law justru direspons dengan sikap represi aparat keamanan di lapangan. “Situasi ini melanggar Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin hak menyuarakan pendapat warga negara,” katanya.
Presiden Jokowi menandatangani UU Cipta Kerja, Senin lalu. Undang-undang ini terdiri atas 1.187 halaman, berbeda saat DPR menyerahkan naskah final undang-undang yang hanya berjumlah 812 halaman. Baik sebelum maupun sesudah Jokowi menandatanganinya, masih ditemukan sejumlah kesalahan dalam undang-undang.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui adanya kekeliruan penulisan dalam UU Cipta Kerja. Namun ia berdalih bahwa kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif dan tidak berpengaruh terhadap implementasi undang-undang.
Perwakilan Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law, Herlambang P. Wiratraman, menguatkan pendapat Retno itu. Ia mengatakan saat ini Aliansi Akademisi masih berupaya mendesak pemerintah agar membatalkan UU Cipta Kerja. Aliansi belum memutuskan untuk mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi.
“Tidak tepat jika MK diperlakukan seperti keranjang sampah karena, sedikit-sedikit ada masalah, lalu dibilang bawa saja ke MK,” kata pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini. Ia menganggap masalah kali ini bukan hanya pada teks undang-undang, tapi juga pada komitmen pemerintah yang dirasa semakin menjauh dari mandat konstitusi.
Berbeda dengan Aliansi Akademisi, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memilih mengajukan judicial review UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mendaftarkan gugatannya ke MK, kemarin. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan uji material lembaganya dilakukan bersama dengan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani Nuwa Wea. Kedua pemimpin serikat pekerja ini sempat bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana saat pengesahan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu.
Adapun poin gugatan mereka mengenai pasal-pasal tentang kluster ketenagakerjaan. Misalnya, sistem pengupahan yang dianggap merugikan karena tiadanya kewajiban gubernur untuk menetapkan upah minimum kabupaten dan kota dengan syarat tertentu, pengurangan nilai pesangon, penghapusan batasan lima jenis pekerjaan yang membolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing, serta penghilangan periode batas waktu kontrak kerja.
“Gugatan uji formal sedang kami siapkan dan akan kami ajukan juga dalam waktu dekat,” kata Said Iqbal. Selain itu, kata dia, lembaganya berencana berunjuk rasa pada 9 dan 10 November mendatang di gedung DPR dan Kementerian Ketenagakerjaan.
DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo