Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menjembatani Pendidikan dan Pekerjaan

Penelitian menyatakan anak usia sekolah perlu diperkenalkan dengan dunia kerja sedini mungkin. Bermanfaat bagi anak untuk memahami relevansi pelajaran dalam kehidupan. Menulis untuk Conversation Indonesia, Syaikhu Usman, peneliti utama SMERU Research Institute, menyatakan kurikulum Indonesia belum mengakomodasi pengenalan kompetensi seperti itu.

26 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi memperkenalkan anak dengan dunia kerja. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan 152 juta anak di dunia terlibat pekerjaan berbahaya dan eksploitatif. Hal ini juga mendorong lahirnya target penghapusan pekerja anak dalam berbagai agenda global, terutama Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs (poin 8.7).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski demikian, berdasarkan hasil studi kami di SMERU Research Institute, pemerintah sebenarnya telah membedakan konsep "pekerja anak" dan "anak yang bekerja".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah menyediakan ruang bagi anak untuk mendalami dunia kerja, tapi mengharamkan pekerja anak, sebagaimana yang digambarkan ILO di atas.

Anak usia 5-17 tahun boleh berlatih bekerja sepanjang pekerjaannya dalam rangka membantu orang tua, melatih keterampilan baru, atau mendidik anak bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan. Persyaratan lainnya adalah anak harus tetap bersekolah, hanya bekerja pada waktu senggang, serta keselamatan dan kesehatan mereka terjamin.

Ilustrasi memperkenalkan anak dengan dunia kerja. Shutterstock

Saya berpendapat bahwa, dengan memenuhi rambu-rambu di atas secara ketat, sistem pendidikan Indonesia bisa mulai memperkenalkan dunia kerja kepada anak sejak dini. Mengapa?

Pada 2021, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka partisipasi murni (APM) di Indonesia—persentase anak yang bersekolah untuk tiap usia jenjang tertentu—mulai turun setelah level SD.

Anak usia SD (7-12 tahun) yang bersekolah sebesar 97,8 persen, sementara angkanya turun menjadi 80,6 persen untuk SMP (13-15 tahun), dan makin anjlok menjadi 61,7 persen pada level SMA/K (16-18 tahun).

Artinya, selain 60 persen anak usia sekolah tidak bersekolah, mereka berhenti menempuh pendidikan sebelum mencapai tingkat ketika mereka umumnya diperkenalkan dan dilatih dengan kompetensi dan pengalaman dunia kerja, yakni pendidikan tinggi.

Jumlah penduduk usia SMA yang tidak bersekolah pada 2020, misalnya, setara dengan 14 juta jiwa. Bisa jadi mereka berujung menjadi pekerja anak. Nasib ini menjadi realitas bagi banyak anak lainnya yang putus sekolah selepas lulus SD dan SMP.

Namun, akibat level pendidikan mereka yang rendah, ditambah belum dibekali dengan kompetensi yang dibutuhkan industri, mereka umumnya bekerja sebagai pekerja domestik atau buruh kasar dengan upah yang rendah.

Beriringan dengan upaya meredam angka putus sekolah demi mencegah banyaknya pekerja anak ini, sistem pendidikan Indonesia juga bisa mulai memasukkan kompetensi dan pengenalan dunia kerja ke pengajaran di sekolah.

Selain membekali pekerja yang berpendidikan rendah, hal ini pun bermanfaat bagi seluruh murid dari segi pembelajaran ataupun penentuan aspirasi karier.

Sayangnya, beberapa akademikus telah menjelaskan bagaimana kurikulum sekolah di Indonesia masih miskin dalam pengenalan kompetensi semacam ini.

Dalam buku mereka, Career Development Interventions (2017), peneliti pendidikan Spencer Niles dan JoAnn Harris-Bowlsbey mengatakan bahwa meremehkan proses pengenalan karier di masa kecil layaknya tukang kebun yang mengabaikan kualitas tanah yang akan ia tanami.

Mengenalkan Kerja Melalui Sekolah

Hasil penelitian di beberapa negara maju dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa pengenalan berbagai jenis pekerjaan memberikan banyak manfaat bagi murid.

Pertama, membantu murid melihat relevansi pelajaran dalam kehidupan. Kedua, meningkatkan mobilitas sosial murid dari level ekonomi rendah. Ketiga, membantu murid untuk tidak mengesampingkan pilihan kerja tertentu tanpa memahami kelebihan dan kekurangannya.

Hasil studi ini juga melaporkan, setelah mengikuti pelajaran ihwal karier, 82 persen dari 9.300 responden murid menyetujui bahwa, "Saya sekarang mengerti bagaimana belajar matematika, bahasa Inggris, atau sains bermanfaat dalam banyak jenis pekerjaan."

Dari 1.200 murid di sekolah dengan anak dari keluarga kurang mampu, 78 persen mengatakan, "Saya sekarang tahu ada banyak pekerjaan yang tersedia ketika saya dewasa." Selain itu, 74 persen murid menyatakan, "Saya merasa lebih percaya diri akan apa yang dapat saya lakukan kelak."

Temuan di atas mengisyaratkan bahwa pengenalan kerja kepada murid memperkaya kualitas pembelajaran dan memberikan pemahaman bermakna bagi masa depan kehidupan karier mereka.

Program Myfuture, yakni layanan informasi karier tingkat nasional di Australia, menyarankan, dalam mengembangkan pengenalan kerja di sekolah, perlu menimbang beberapa hal berikut ini.

- Pastikan guru merasa nyaman. Untuk menjadi pelaku utama program ini, guru membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan pelatihan yang memadai dalam membawakan materi serta program perihal karier dan pekerjaan.

- Kaitkan program pengenalan kerja dalam kurikulum dan jangan memperlakukannya sebagai sesuatu di luar kurikulum. Pengenalan kerja ini harus bisa memperkaya pembelajaran berbagai mata pelajaran.

- Libatkan komunitas di sekitar sekolah. Diskusikan dengan orang tua, pelaku bisnis, serikat pekerja, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat tentang berbagai ide yang mungkin dapat mereka sumbangkan.

- Mulailah lebih awal. Namun penting untuk menyesuaikan semua kegiatan dengan tingkat kesiapan murid. Hindari cara "satu pendekatan untuk semua" (one size fits all).

Program pengenalan kerja pada dasarnya sesuai dengan kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar. Tujuannya adalah memberikan otonomi kepada sekolah, guru, dan murid.

Profesor pendidikan karier di Inggris, Tristram Hooley menyatakan bahwa karier merupakan perjalanan seumur hidup yang dimulai jauh lebih awal dari kesadaran banyak orang.

Di masa lalu, kaum muda kerap mengenal jalur karier ketika berada di ambang transisi ke dunia kerja. Ini bisa jadi merupakan salah satu alasan ada banyak sekali mahasiswa dan lulusan kampus di Indonesia yang salah jurusan.

Sudah waktunya kita mempertimbangkan untuk mengenalkan lika-liku kerja melalui sekolah.

Komunitas internasional tentu mengutuk adanya pekerja anak, tapi nyatanya banyak anak yang terpaksa harus bekerja tanpa persiapan sama sekali. Sembari berupaya mengatasi masalah itu, program pengenalan kerja kepada murid akan membantu mengantar mereka agar kelak berpenghidupan layak.

---

Artikel ini diterbitkan pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Reza Maulana

Reza Maulana

Bergabung dengan Tempo sejak 2005 setelah lulus dari Hubungan Internasional FISIP UI. Saat ini memimpin desk Urban di Koran Tempo. Salah satu tulisan editorialnya di Koran Tempo meraih PWI Jaya Award 2019. Menikmati PlayStation di waktu senggang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus