Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tindakan intoleransi meningkat akibat paham mayoritarianisme, yaitu kelompok mayoritas merasa lebih kuat dibanding kelompok lainnya..
Paham mayoritarianisme dan eksklusivisme tumbuh semakin subur akibat adanya pembiaran dari pemerintah.
Tindakan intoleransi terus terjadi karena seolah-olah ada impunitas pada kelompok tertentu.
JAKARTA – Peneliti kebebasan beragama cemas akan aksi-aksi intoleransi masyarakat yang semakin subur di banyak daerah. Baru-baru ini muncul tindakan intoleran di Daerah Istimewa Yogyakarta berupa penutupan paksa patung Bunda Maria di Desa Bumirejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo. Pada hari yang sama, beberapa orang memaksa masuk di permukiman Hindu, Bali, yang tengah melaksanakan ibadah Nyepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, menjelaskan bahwa tindakan intoleran semakin meningkat akibat paham mayoritarianisme. Yaitu ketika kelompok mayoritas merasa lebih kuat dan punya hak lebih dibanding kelompok minoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kejadian di Kulon Progo itu menjadi penanda ketika mayoritas merasa superior, lalu tidak membolehkan berdirinya patung Bunda Maria,” kata Alissa, Kamis, 23 Maret 2023.
Alissa juga menyoroti paham keberagamaan yang eksklusif. Paham ini biasanya mempromosikan sikap menang-kalah. Dia mencontohkan, karena mayoritas warga Indonesia beragama Islam, lalu mereka merasa terganggu oleh praktik keagamaan dan keyakinan lainnya. “Kelompok Islam eksklusif ini biasanya bakal berpikir, kenapa kok kita terus yang disuruh menoleransi pada saat ibadah Nyepi. Itu merupakan praktik beragama yang tidak saling menghormati,” ujar Alissa.
Sikap eksklusivisme dalam beragama, kata dia, ditandai dengan meningkatnya penggunaan kalimat kafir. Kelompok agama tertentu dengan mudah menghakimi kelompok lainnya dengan kalimat tersebut. Mereka lantas membuat segregasi atau menolak berdekatan dengan orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya.
Menurut Alissa, paham mayoritarianisme dan eksklusivisme tumbuh semakin subur akibat adanya pembiaran oleh pemerintah dan penegakan hukum yang lemah. Selain itu, kedua paham tersebut kerap bersemai menjelang pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan umum. Salah satu penyebabnya adalah cara berkampanye yang menggunakan politik identitas.
“Misalnya, orang-orang berkampanye harus memilih yang seagama, atau harus memilih putra daerah,” katanya.
Rabu lalu, sekelompok masyarakat memasang terpal pada patung Bunda Maria yang berada di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa St. Yacobus, Dukuh Degolan, Kulon Progo. Video penutupan patung tersebut tersebar di media sosial. Pihak kepolisian menyebutkan bahwa kelompok masyarakat yang beribadah di Masjid Al-Barokah merasa terganggu oleh keberadaan patung tersebut.
Warga di Desa Sumber Klampok melawan barisan pecalang dengan berekreasi di pantai saat hari raya Nyepi. detik.com
Pada hari yang sama, puluhan orang memaksa masuk ke kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) di Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, di saat pelaksanaan hari raya Nyepi. Padahal lokasi wisata di Bali biasanya tertutup untuk umum di setiap perayaan Nyepi. Polisi lantas menangkap dua orang yang memaksa membuka portal pintu masuk Segara Rupek yang tengah dijaga pecalang tersebut.
Baca : Intoleransi dalam Beragama
Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan pihaknya menemukan eskalasi tindakan intoleran di banyak daerah, selain di Kulon Progo dan Buleleng. Sesuai dengan catatan Setara Institute, kasus intoleransi juga terjadi di Kabupaten Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat; serta Lampung, belum lama ini. “Masalahnya, pemerintah cenderung membiarkan tindakan kelompok intoleran dengan dalih menjaga stabilitas keamanan di tahun politik,” kata Halili.
Menurut dia, intoleransi terus terjadi karena seolah-olah ada impunitas pada kelompok tertentu serta pembiaran oleh pemerintah maupun penegak hukum. Padahal kepolisian semestinya bertindak tegas dengan mengadili setiap tindakan intoleran.
Ketua Moderasi Beragama Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Muhammad Taufik, mengatakan gerakan intoleransi selama ini disokong oleh kelompok yang baru melek agama atau merasa paling agamis. “Ada tren mayoritarianisme yang merasa lebih dapat menentukan atau lebih kuasa atas minoritas. Mereka merasa punya hak untuk menghakimi praktik beragama dan keyakinan lainnya,” kata Taufik.
Dia juga menemukan bahwa pemerintah dan penegak hukum kerap takluk kepada tekanan kelompok mayoritas. Dengan demikian, pelaku intoleransi merasa mendapat pembenaran untuk menghakimi keyakinan kelompok minoritas.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, melihat kasus intoleransi semakin marak dalam dua dekade terakhir, yaitu ditandai dengan adanya gerakan masyarakat yang ramai-ramai menghakimi kelompok lain ketika beribadah. “Sekarang intoleransi meningkat. Tanpa ada aksi-aksi, masyarakat dengan sendirinya beraksi melakukan praktik intoleransi.”
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo