Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perayaan Imlek, Mengenang Gus Dur dan Kisah Pengantin Konghucu

Publik selalu mengenang sosok Gus Dur pada setiap perayaan Imlek. Bahkan, Gus Dur juga kerap dijuluki sebagai Bapak Tionghoa.

12 Februari 2021 | 13.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Umat Budha beribadah saat Tahun Baru Imlek 2572 di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat, Bogor, Jawa Barat, Jumat 12 Februari 2021. Tahun Baru China 2572 pada tahun 2021 di masa pandemi Covid19 tampak sepi dari umat Budha yang bersembahyang, berbeda dibandingkan tahun sebelumnya yang selalu ramai dan meriah. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Perayaan Imlek di Indonesia tak terlepas dari peran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Presiden RI Keempat itu mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 era Soeharto yang melarang perayaan Imlek. Dengan Keppres Nomor 6/2000, Gus Dur membolehkan kembali perayaan Imlek setelah dilarang oleh rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putri Gus Dur, Alissa Wahid bercerita, kedekatan Gus Dur dengan keturunan Tionghoa mulai terekspos pada tahun 90-an. Ketika itu, Gus Dur pernah menjadi saksi ahli untuk pernikahan pengantin Konghucu di Surabaya, Budi Wijaya dan Lanny Guito.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budi dan Lanny masa itu terhalang saat hendak mencatatkan pernikahannya ke Kantor Catatan Sipil Surabaya, sebab agama Konghucu belum diakui di Indonesia. Akibatnya, perkawinan mereka juga tidak diakui oleh negara. Pasangan itu pun akhirnya mengajukan gugatan resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Gus Dur, ujar Alissa, sebetulnya tidak kenal dengan dua orang itu.

"Tapi ketika beliau dimintai tolong untuk menjadi saksi ahli di pengadilan, Gus Dur kemudian maju. Dari situ kemudian Gus Dur terekspos sekali dengan kehidupan kaum Tionghoa," ujar Alissa dikutip dari Podcast milik Jubir Presiden Fadjroel Rachman, Jumat, 12 Februari 2021.

Pada tahun 80 hingga 90-an, lanjut Alissa, kaum Tionghoa memang tak punya tempat selain di ruang ekonomi dan di bidang olahraga bagi mereka yang memiliki prestasi.

Begitu menjadi presiden, ujar Alissa, Gus Dur menggunakan kesempatan untuk mencabut Inpres 14/1967 era Soeharto yang dinilai diskriminatif terhadap kaum Tionghoa itu.

"Jadi menurut saya, Gus Dur itu melakukan restorative justice, mengembalikan hak-hak kewarganegaraan bagi setiap warga negara yang wajib dilindungi tanpa terkecuali," ujar Alissa.

Sehingga, lanjut Alissa, tak heran jika masyarakat Indonesia selalu mengenang sosok Gus Dur pada setiap perayaan Imlek. Bahkan, Gus Dur juga kerap dijuluki sebagai Bapak Tionghoa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus