Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perayaan Waisak Setelah Konflik

Perayaan Waisak di Desa Mareje, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, tak terpengaruh insiden konflik warga dua pekan sebelumnya. Warga Buddha di Mareje tak ingin memperpanjang konflik.

17 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah umat Budha, Dusun Ganjar, Desa Mareje, Kecamatan Sekotong Tengah, Lombok Barat, berjalan mengeliling Vihara Avalokitesvara, sebagai rangkaian perayaan Trisuci Waisak, Nusa Tenggara Barat, 17 Mei 2022. TEMPO/Abdul Latief Apriaman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Puluhan polisi menjaga perayaan Waisak di Desa Mareje, Lombok Barat, kemarin.

  • Meski berbeda agama, warga Desa Mareje masih berasal dari suku yang sama, yaitu suku Sasak.

  • Rumah warga yang dibakar sudah mulai dibangun kembali.

JAKARTA — Sembari membawa lilin, buah-buahan, dan dupa, sekitar 300 umat Buddha di Dusun Ganjar, Desa Mareje, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, berjalan mengelilingi Vihara Avalokitesvara sebanyak tiga kali, Senin, 16 Mei 2022. Mereka menjalani upacara perayaan Tri Suci Waisak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan polisi berjaga-jaga di sekitar vihara. Polisi bersiaga setelah terjadi konflik warga yang membuat enam rumah penduduk Mareje yang beragama Buddha dibakar massa, dua pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski baru saja terjadi konflik, umat Buddha di Mareje tetap merayakan Waisak dengan tenang. Mustiasih atau Upasaka Pandhita Ajuna Satya, yang memimpin upacara perayaan Tri Suci Waisak, mengingatkan umat Buddha agar tak menyimpan dendam.

“Buddha mengajarkan kebencian itu tidak boleh dibalas dengan kebencian,” kata Mustiasih, yang mengutip kitab Dhammapaha yang dibacakan pada awal upacara. “Kebencian itu dibalas dengan cinta kasih, maka kebencian itu akan berakhir.”

Mustiasih juga berpesan kepada umat Buddha agar selalu memperdalam dan menguatkan keyakinan, serta mengembangkan toleransi. “Kita juga harus bisa mengendalikan diri, bisa menahan diri dari hawa nafsu,” kata Mustiasih.

Umat Buddha Dusun Ganjar, Desa Mareje, Sekotong Tengah, Lombok Barat, menjalankan upacara Trisuci Waisak, di Vihara Avalokitesvara, Nusa Tenggara Barat, 17 Mei 2022. TEMPO/Abdul Latief Apriaman

Konflik warga di Mareje dipicu oleh petasan saat pawai takbiran merayakan Hari Lebaran pada 1 Mei lalu. Insiden itu berlanjut dengan provokasi lewat pesan berantai WhatsApp hingga memicu pembakaran enam rumah warga Mareje yang beragama Buddha, dua hari setelah Lebaran.

Penduduk Desa Mareje sebanyak 4.602 jiwa, dengan 30 persen di antaranya menganut agama Buddha dan sisanya beragama Islam. Meski berbeda keyakinan, hampir 100 persen warga Mareje berasal dari suku Sasak—suku mayoritas penduduk Pulau Lombok. Mereka menggunakan bahasa Sasak dengan dialek meriaq meriku yang biasa digunakan masyarakat Sasak dari Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.

“Memang asal orang tua kami dari sana, Lombok Tengah,” kata Nurhan alias Inaq Mukini, 65 tahun, warga Mareje yang beragama Buddha.

Menurut Nurhan, semua warga Mareje memiliki tali persaudaraan yang sangat erat. Dalam satu keluarga, sudah biasa ditemukan ada anggota keluarga yang berbeda agama. Misalnya dua putri Nurhan menikah dengan sepupunya yang beragama Islam.

Meski berbeda agama, wujud persaudaraan warga Mareje ditunjukkan dengan melaksanakan tradisi Ngejot, yaitu berbagi penganan saat merayakan hari raya mereka masing-masing. “Agama kita saja yang berbeda, tapi keluarga tidak bisa dipisah,” kata Nurhan.

Kepala Kepolisian Resor Lombok Barat, Ajun Komisaris Besar Wirasto Adi Nugroho, memastikan situasi Mareje sudah kondusif. Ia menyebutkan sekitar 300 personel Polri dan TNI menjaga empat vihara di Desa Mareje dan sebuah vihara di Desa Mareje Timur saat perayaan Waisak.

“Setelah kejadian, sekarang kami melakukan proses rehabilitasi, perbaikan rumah, dan rekonsiliasi,” kata Wirasto.

Salah satu upaya rekonsiliasi itu dengan berencana melaksanakan tradisi makan bersama atau gawe rapah yang akan melibatkan seluruh elemen masyarakat Mareje, Rabu besok. Ada tiga ekor sapi yang akan dipotong dalam tradisi ini.

”Peristiwa kemarin memang sempat menimbulkan ketegangan. Gawe rapah ini akan menyatukan kembali, merayakan hari kebersamaan,” kata Kepala Desa Mareje, Muhsin Salim.

Ia mengatakan tradisi makan bersama di Mareje memang kerap dilakukan dalam setiap kegiatan yang digelar warga. Dia menambahkan, pemerintah juga terus mengupayakan perdamaian dengan melibatkan dua komunitas warga Mareje yang berbeda agama. “Rumah-rumah yang rusak sudah mulai dibangun kembali. Dana perbaikan dari pemerintah daerah Lombok Barat,” kata Muhsin.

Adapun langkah penegakan hukum atas perusakan enam rumah warga tersebut terus berlanjut. Kasus ini ditangani oleh Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat. “Kasusnya sudah ditangani Polda. Olah TKP sudah dilakukan. Prosesnya berjalan juga,” kata Wirasto Adi Nugroho.

Meski pengusutan kasus terus dilanjutkan, warga Buddha di Mareje yang ditanyai Tempo justru memilih sikap berbeda. Mereka ingin hidup damai dan tak mau kasus itu berlanjut ke proses hukum. “Kami ingin perdamaian. Kami mau hidup damai seperti semula,” kata Upasaka Pandhita Ajuna Satya.

Guru Sekolah Minggu Buddha dan guru Sekolah Dasar Negeri 2 Mareje, Derap, 37 tahun, terharu dengan perayaan Waisak tahun ini karena berlangsung tak lama setelah kerusuhan. Dia tak menyangka insiden perusakan rumah warga tersebut terjadi. Selama hidup di Mareje, Derap tak pernah menemukan konflik yang mencederai hubungan penduduk Mareje yang berbeda agama tersebut. “Karena hubungan keluarga itu sangat kental. Tidak ada orang lain, kami satu darah,” ujarnya.

Perayaan Waisak di Mareje berakhir menjelang siang saat terdengar suara azan dari masjid, yang letaknya tak jauh dari Vihara Avalokitesvara. Umat Buddha di Dusun Ganjar, Desa Mareje, menyudahi perayaan Waisak dengan makan bersama di halaman vihara. Panitia perayaan juga membagi-bagikan door prize berupa perabot rumah tangga. Keceriaan terpancar dari wajah-wajah mereka.

ABDUL LATIEF APRIAMAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus