Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 136 tahun silam atau tepatnya 1 Agustus 1868, merupakan hari kelahiran KH Ahmad Dahlan. Dia adalah pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan pengikut mencapai 60 juta orang pada 2019. Selain itu, sebagai tokoh kebangkitan nasional, Ahmad Dahlan juga ditetapkan sebagai pahlawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendirikan sebuah organisasi Islam dengan paham keislaman murni di era masyarakat yang masih berpegang teguh pada takhayul, bidah, dan khurafat merupakan tantangan berat bagi Ahmad Dahlan. Dengan mendirikan Muhammadiyah, dia berusaha mengembalikan ajaran-ajaran agama sesuai Alquran dan hadis. Namun penolakan masyarakat terhadap Muhammadiyah sangat tinggi kala itu. Sebagai pimpinan organisasi, Ahmad Dahlan kerap mendapat hinaan, cacian, dan bahkan ancaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati menghadapi sejumlah aral, Nur Khozin dan Isnudi dalam buku KH Ahmad Dahlan (1868 – 1923) mengungkapkan, Ahmad Dahlan berhasil melakukan gerakan pembaharuan dalam bidang agama, pendidikan, sosial dan budaya melalui organisasi Muhammadiyah. Dedikasinya dalam melakukan pembaharuan sukses mengubah pandangan masyarakat terhadap gagasan-gagasan barunya. Mereka yang semula menolak, perlahan-lahan mulai menerima dan mengikuti paham keislaman sebagaimana menurut Alquran dan hadis.
Mengutip dari buku Riwayat Hidup KHA Dahlan (1968) oleh Junus Salam, Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta. Nama lahirnya adalah Muhammad Darwis. Putra pasangan Kiai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman dengan Siti Aminah binti Kiai Haji Ibrahim ini ternyata merupakan keturunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Sunan Gresik merupakan seorang Wali Songo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Garis keturunan tersebut didapatkan dari pihak ayah.
Adapun nasab Ahmad Dahlan hingga sampai kepada Sunan Gresik, sebagaimana dinukil dari buku Riwayat Hidup Njai Kiai Haji Ahmad Dahlan (1968) oleh HM Junus Anis, yaitu Muhammad Darwis bin Haji Abu Bakar, bin Kiai Haji Muhammad Sulaiman, bin Kiai Murtadla, bin Kiai Ilyas, bin Demang Jurang Kapindo, bin Jurang Juru Sapisan, bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig, bun Maulana Muhammad Fadlullah, bin Maulana Ainul Yaqin, bin Maulana Ishaq bin Maulana Ibrahim.
Ayah Ahmad Dahlan merupakan abdi dalem Kesultanan Yogyakarta, menjabat sebagai khatib di Masjid Gedhe yang bertugas memberikan khotbah salat Jumat secara bergiliran dengan khatib lainnya. Didik Lukman Hariri dalam buku Jejak Sang Pencerah (2010) mengungkapkan, Muhammad Darwis atau Ahmad Dahlan kecil telah terlihat sebagai anak yang cerdas dan kreatif. Dia mampu mempelajari dan memahami kitab yang diajarkan di pesantren secara mandiri.
Selanjutnya: Ahmad Dahlan merantau ke Mekah...
Ahmad Dahlan dididik secara langsung oleh orang tuanya dalam lingkungan keluarga. Saat usianya baru menginjak 8 tahun, Ahmad Dahlan sudah mampu membaca Alquran sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Ahmad Dahlan juga menuntut ilmu agama pada ulama lain, sehingga pengetahuannya terus bertambah dan makin luas. Setelah dinilai cukup menguasai pengetahuan agama, ayahnya kemudian meminta Ahmad Dahlan merantau ke Mekah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus memperdalam pengetahuan agama.
Berkat bantuan biaya dari Kiai Haji Soleh, kakak iparnya, Ahmad Dahlan berangkat ke Makkah pada 1883. Lima tahun di Makkah, dia mendalami berbagai ilmu agama seperti qiraat, tafsir, tauhid, fikih, tasawuf, ilmu falak, bahasa arab, dan ilmu lainnya. Mengutip buku Kyai Haji Ahmad Dahlan (2009) oleh Adi Nugroho, menjelang kepulangannya ke Tanah Air, Ahmad Dahlan menemui Imam Syai’I Sayid Bakri Syatha untuk mengubah nama. Nama Muhammad Darwis ditanggalkan dan diganti dengan Ahmad Dahlan dengan gelar Haji di depannya.
Setelah pulang kampung, Ahmad Dahlan dengan bekal ilmunya diminta sang ayah untuk mengajar anak-anak di Kampung Kauman. Kegiatan belajar mengajar itu dilakukan pada siang dan sore hari di langgar atau surau ayahnya. Sesekali dia menggantikan mengajar orang dewasa apabila ayahnya berhalangan. Aktivitas inilah yang kemudian menyebabkan Ahmad Dahlan dipanggil sebagai Kiai. Kiai merupakan sebutan untuk ulama atau seseorang yang ahli agama, terutama di lingkungan tanah Jawa.
Pada 1889, Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah yang pada saat itu berusia tujuh belas tahun. Siti Walidah, atau di kemudian hari dipanggil Nyai Haji Ahmad Dahlan, merupakan putri Kyai Fadhil Kamaludiningrat, penghulu di Kraton Yogyakarta. Bersama Siti Walidah, Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak. Anak pertama, Johanah, lahir pada 1890. Anak kedua dan ketiga, Siradj Dahlan dan Siti Busjro masing-masing lahir pada 1889 dan 1903. Anak keempat, Siti Aisyah, lahir pada 1905. Anak kelima dan keenam, Irfan Dahlan lahir pada 1907, serta Siti Zuharah lahir pada 1908.
Selain dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan juga menikahi tiga wanita lain. Pernikahan tersebut dilakukan setelah mendirikan organisasi Muhammadiyah karena alasan agama dan dakwah. Istri kedua Ahmad Dahlan, R.A.Y Soetidjah Windyaningrum, dikenal juga dengan nama Nyai Abdulah. Pernikahan tersebut didasari oleh permintaan dari keraton. Sebagai abdi dalem keraton, Ahmad Dahlan tak dapat menolak. Selain itu, pernikahan ini juga menjadi tanda bahwa Sultan Yogyakarta merestui berdirinya organisasi Muhammadiyah. Namun pernikahan tersebut tidak berlangsung lama, keduanya berakhir cerai.
Pernikahan Ahmad Dahlan berikutnya dilakukan atas permintaan sahabatnya dari Krapyak, Yogyakarta, Kyai Munawar. Munawar meminta Ahmad Dahlan menikahi adiknya, Nyai Rum. Pernikahan ini bertujuan untuk memperkukuh hubungan antara organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Saat berdakwah di Cianjur, Ahmad Dahlan juga diminta untuk menikahi Nyai Aisyah. Dia adalah adik penghulu ajengan atau penghulu bangsawan. Penghulu ajengan menginginkan agar keturunan Ahmad Dahlan ada yang tinggal di Cianjur untuk meneruskan dakwahnya. Pernikahannya dengan Aisyah dikaruniai seorang putri bernama Siti Dandanah.
Pada 1903 Ahmad Dahlan kembali ke Makkah bersama anak pertamanya, Muhammad Siradj, yang masih berumur enam tahun. Dia menetap selama dua tahun di Makkah untuk memperdalam pengetahuan agama. Selama kurun waktu tersebut, Ahmad Dahlan mempelajari gerakan-gerakan pembaharuan Islam yang sedang dilakukan di banyak negara. Pengetahuan inilah yang menjadi dasar dirinya mendirikan organisasi Muhammadiyah ketika pulang ke tanah air. Ahmad Dahlan belajar dan mengkaji pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan seperti Jamaluddin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
Selanjutnya: Bermula dari Kampung Kauman...
Sekembalinya dari Mekah pada 1906, untuk mewujudkan misinya menyebarkan gerakan pembaharuan Islam, Ahmad Dahlan kemudian memilih menjadi pengajar di Kampung Kauman. Menurutnya, pendidikan merupakan tempat yang tepat untuk mengembangkan gagasannya itu. Selain sebagai pengajar, dia juga diangkat sebagai abdi dalem dengan jabatan khatib di Masjid Gede Kauman. Aktivitas Ahmad Dahlan dalam kegiatan kemasyarakatan yang beragam ini menjadikan dirinya mudah diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Selain itu, Ahmad Dahlan juga rutin bersilaturahmi dengan kalangan priyayi pengurus perkumpulan Boedi Oetomo. Melalui Joyosumarto, Kiai Haji Ahmad Dahlan kemudian berkenalan dengan ketua Boedi Oetomo Yogyakarta, Dokter Wahidin Soedirohoesodo. Pada 1909, Ahmad Dahlan resmi menjadi anggota Boedi Oetomo. Keterlibatannya dalam aktivitas perkumpulan menjadi bekal baginya memahami tata cara mengatur organisasi, yang dipraktikkannya saat mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Menurut Adi Nugroho dalam bukunya, selain belajar berorganisasi, misi utama Ahmad Dahlan masuk perkumpulan Boedi Oetomo adalah agar dapat berdakwah di kalangan priayi. Setiap selesai kegiatan rapat, Ahmad Dahlan diberi kesempatan menyampaikan materi pengetahuan agama Islam. Selain itu, untuk mendapatkan informasi tentang pemikiran-pemikiran pembaharuan dari Timur Tengah, Ahmad Dahlan juga bergabung di organisasi Jami’at Khair pada 1910. Organisasi tersebut beranggotakan orang-orang arab yang bergerak dalam bidang pendidikan agama dan aktivitas sosial.
Aktivitas Ahmad Dahlan dalam organisasi-organisasi ini menjadikan aktivitas dakwahnya semakin luas serta mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Gagasan-gagasan pembaharuan Islamnya mulai mendapat dukungan dari rekan-rekannya. Ahmad Dahlan kemudian didesak untuk segera mendirikan perkumpulan sebagai wadah menyampaikan gagasan-gagasan pembaharuan tersebut. Akhirnya Ahmad Dahlan mendirikan perkumpulan Muhammadiyah pada 18 November 1912, bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah.
Pada 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan surat permohonan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar Muhammadiyah diakui sebagai organisasi berbadan hukum. Permohonan disetujui pada 22 Agustus 1914, namun izin tersebut hanya berlaku di Yogyakarta. Pemerintah kolonial Hindia Belanda khawatir dengan aktivitas Muhammadiyah, sehingga kegiatannya dibatasi. Menyikapi keputusan pemerintah, Ahmad Dahlan menganjurkan pengurus di luar Yogyakarta menggunakan nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Almunir di Makassar, Alhidayah di Garut, dan Sidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah di Solo.
Nur Khozin dan Isnudi dalam bukunya menyebutkan, selain mendapat kekangan dari pemerintah, Muhammadiyah juga mendapat tantangan dari pihak-pihak yang tak menginginkan keberadaan organisasi Islam ini. Masyarakat telah terbiasa dengan mencampur adukkan antara syariat agama Islam dengan budaya lokal. Sehingga gerakan pembaharuan Islam yang dibawa Ahmad Dahlan dinilai bertentangan. Tak jarang dirinya mendapatkan cacian, bahkan ancaman.
Menyikapi kondisi ini, KH Ahmad Dahlan rajin melakukan silaturahmi dan memberikan teladan hidup yang baik. Silaturahmi dijadikannya sebagai media untuk mendiskusikan gagasannya dengan ulama-ulama yang tidak sepaham, sehingga lambat laun tercapai kesepahaman. Secara sosial, Ahmad Dahlan bersama muridnya rutin memberikan santunan kepada fakir miskin dan anak yatim dengan benda-benda yang baik. Strategi tersebut berhasil mengurangi pandangan negatif pihak-pihak yang tak menghendaki lahirnya Muhammadiyah.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.