MEREKA seakan-akan bertepuk sorak. Menyatakan diri sebagai "para pedagang ekonomi lemah Pasar Regional Tanah Abang", sejumlah orang menulis sepucuk surat dan dimuat di harian Kompas pekan lalu. Isinya: ucapan terima kasih buat gubernur DKI yang baru, Wiyogo, yang telah menginstruksikan agar dua bangunan tambahan di Pasar Tanah Abang dibongkar -- sesuai dengan permintaan mereka. Sejak gedung tambahan tiga lantai itu dibangun, protes memang bermunculan. Para pedagang mengeluh panas dan sumpek, akibat udara tak mengalir, tertahan bangunan baru. Selain itu, transaksi perdagangan cenderung menurun, karena pembeli enggan datang ke sana. Haji Sjamsju, misalnya, mengaku sejak pembangunan Blok B tambahan tiga bulan lalu dilaksanakan, omsetnya tinggal 10 persen. Padahal, sebelumnya sehari-hari pendapatan dari tokonya sekitar Rp 700 ribu. "Pelanggan ogah ke sini kalau harus berdesak-desakan dengan truk yang mondar-mandir membawa bahan bangunan," tutur pemilik toko tekstil di Blok B itu. Melayanglah sejumlah protes dari kalangan pedagang. Dan dijawab dengan Instruksi Gubernur Nomor 286. Dan itulah yang disambut gembira oleh para pedagang kecil di sana. Wiyogo sendiri tak menyangka sambutannya semeriah itu. Tapi sebaliknya, mungkin dia juga tak menyangka bahwa instruksinya akan tak dilaksanakan dengan lancar. Semacam tarik tambang terjadi. Hingga Sabtu pekan lalu -- batas waktu pelaksanaan instruksi -- bangunan baru senilai di atas Rp 1,5 milyar yang diperintahkan dibongkar itu masih berdiri. Tapi soalnya memang tak mudah. Bila bangunan tambahan itu harus dibongkar, bisa dibayangkan berapa besar biaya yang mubazir. Lebih dari itu, developer PT Pondok Indah Tower (PIT) mendirikan bangunan tambahan Blok A sebagai kompensasi setelah mereka membangun Terminal Tanah Abang dan Pasar Onderdil atas pesanan pemerintah daerah. Kompensasi itu tak sembarangan, karena yang mereka bangun lumayan banyak. Di Pasar Onderdil saja ada 900 kios, yang nilainya tak disebutkan. Dengan membangun kios-kios baru di bangunan tambahan di Pasar Tanah Abang, yang rencananya akan mereka sewakan, mereka berharap untung. Soalnya, perkembangan Pasar Tanah Abang memang tergolong pesat. Saat ini terhimpun sekitar lima ribu pedagang pakaian jadi dan tekstil. Menurut Sutan Tumenggung, Ketua Umum Koppas (Koperasi Pedagang Pasar) Tanah Abang, di situ rata-rata setiap hari bertambah dua sampai tiga pedagang baru. Untuk menampungnya, beberapa bagian pasar yang didirikan tahun 1975 itu sudah berubah fungsi. Lorong-lorong yang seharusnya jadi ventilasi kini berubah jadi pertokoan. Termasuk lapangan -- seharusnya untuk parkir belakangan jadi kios-kios yang tak jelas siapa pengelolanya. Tarif bisa bermacam-macam. Harga toko berukuran 2 x 2 m, yang dalam keadaan normal hanya Rp 30 juta, bisa melambung jadi Rp 130 juta. Maka, tak heran bila banyak developer yang berebut ladang basah itu. Tapi kini ladang basah itu ternyata tak lagi bisa dipetak-petak seenaknya. Keresahan telah terjadi, dan gubernur berganti, dan juga kebijaksanaan. Tak urung, sebuah perusahaan swasta agaknya harus bisa bermain di antara putusan yang berubah dari pemerintah daerah. Harapan untung harus diatur lagi. Jika harga per kios di blok B (sekitar 100 buah rencananya) itu semula diperhitungkan Rp 65 juta, kata sebuah sumber, kini, setelah harus dibongkar, harganya jadi nol. Yang ikut terancam rugi adalah pedagang yang sudah telanjur membeli kios dalam blok yang bakal diruntuhkan itu. Seorang pedagang asal Sumatera Barat, misalnya, beberapa bulan yang lalu ikut membeli ruang usaha di Blok B tambahan, dengan uang muka 20% (kemudian ditambah 10% lagi) dari harga jual, yakni sekitar Rp 45 juta. Ia cukup panik mendengar instruksi Wiyogo. "Tapi pihak developer cukup simpatik," katanya. Yang dimaksudkannya dengan simpatik ialah kesediaan menjelaskan. Juga Budiman, salah seorang staf bagian pemasaran developer Pondok Indah Tower, memberikan dua alternatif bagi para pembeli kios yang sudah sempat membayar. Pertama, menunggu uang kembali, entah kapan, karena pihak developer tak punya uang kontan. Kedua, dipersilakan memilih kios baru di bangunan bekas Pasar Kambing, yang tak begitu strategis, tapi lebih murah. Pihak developer jelas tak begitu bersemangat untuk membongkar -- yang berarti juga keluar biaya, setelah mereka merasa menanamkan uang dalam jumlah milyaran rupiah berhubung merasa diri sudah aman, dengan sejumlah surat keputusan gubernur yang lama. Tapi justru soal surat itu yang jadi soal. Dalam jumpa pers Kamis dua pekan lalu, Wiyogo menyebutkan bahwa kedua gedung tambahan tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Padahal, menurut ketentuan, setiap bangunan wajib dilengkapi IMB. Dalam tafsiran pemerintah daerah kini, sejauh ini developer bangunan tambahan cuma mengantungi Izin Prinsip. Izin ini bisa didapat, "asal memenuhi beberapa persyaratan tertentu," kata Wakil Gubernur Bun Yamin Ramto. Misalnya, menyangkut tanah, lokasi, dan bentuk bangunan. Tapi Izin Prinsip belum punya kekuatan hukum. "Belum ada ikatan apa-apa," kata Bun Yamin pula. Yang misalnya jadi pegangan para developer adalah Surat Keutusan Gubernur -- diteken oleh Gubernur R. Soeprapto -- Nomor 23327/IX/1987, yang ditujukan kepada PT Graha Saba Kencana Sakti (GSKS). Isinya, antara lain, perusahaan ini diberi izin membangun perluasan Pasar Tanah Abang di atas tanah seluas 500 m2. Kini, berdasarkan instruksi gubernur yang baru, Wiyogo, semua itu harus dibatalkan. Mungkm, karena merasa harus menanggung rugi, pembongkaran blok-blok baru yang belum sepenuhnya rampung itu sampai sejauh ini tampak seret. Apa yang sebenarnya terjadi? Melunakkah sikap Wiyogo? "Ibarat main catur, dia bisa saja mundur dulu selangkah," kata sebuah sumber. Namun, sumber itu percaya, Wiyogo tetap berpegang pada aturan semula. Artinya, Instruksi Nomor 286, "tidak dikompromikan," katanya. Tak jelas sampai kapan permainan catur itu. Yang pasti, ini ujian besar buat wibawa Gubernur Wiyogo -- termasuk dalam menghadapi birokrasinya sendiri. *Yusroni Henridewanto, Linda Djalil, dan Moebanoe Moera (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini