KEJUTAN Moh. Amien mungkin tidak terbayangkan bagi pembuat KUHAP sekalipun: seorang bekas jaksa mempraperadilankan bekas instansinya, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Amien memohon ke Pengadilan Negeri Surabaya agar memeriksa instansi penuntut itu karena menghentikan penyidikan kasus penyelundupan Holden Camira, yang semula ikut ditanganinya. Persoalannya, berhakkah Amien memohon praperadilan itu. Sebab, lembaga praperadilan, yang dikenal sebagai lembaga pengawas tindakan polisi atau jaksa dalam hal penangkapan dan penahanan itu, selama ini hanya sering digunakan para terdakwa yang menganggap penahanan atau penangkapan terhadap dirinya tidak sah. Sebenarnya, bukan hanya itu wewenang praperadilan. Lembaga yang dilahirkan di akhir 1931 itu juga bisa dipakai oleh pihak ketiga, biasanya korban kejahatan yang merasa dirugikan karena laporannya tidak ditanggapi oleh polisi atau jaksa. Kecuali para korban, Iembaga itu bisa pula digunakan pihak penuntut, yaitu kejaksaan, bila penyidikan polisi yang sudah dilaporkan kepadanya ternyata tidak dilanjutkan. Pihak polisi juga bisa menggunakan lembaga itu, bila perkara yang susah payah diusutnya ternyata tenggelam di kejaksaan, tanpa diajukan ke pengadilan. Di situlah uniknya Amien. Ia bukan terdakwa dalam kasus penyelundupan Holden Camira, bukan pula saksi pelapor atau saksi korban. Ia juga bukan kuasa instansi kepolisian yang kecewa atas kerja kejaksaan atau sebaliknya. Tapi, sebagai bekas jaksa, yang mengaku sudah susah payah mengusut kasus itu, ia merasa berhak membawa kejaksaan ke praperadilan. "Saya, sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dalam kedudukan sebagai warga negara, berhak menuntut kasus itu dituntaskan demi tegaknya kebenaran," kata Amien. Pasal 80 KUHAP, yang menyebutkan, "pihak ketiga yang berkepentingan", menurut Amien, "Jangan diartikan secara sempit." Ia merasa sebagai pihak yang berkepentingan karena pernah mengusut kasus itu. Tapi ketika ia menemukan bukti-bukti keterlibatan pelaku kejahatan itu, atasannya malah menyetop penyidikan, dan belakangan memutasikannya ke Parepare, Sulawesi Selatan. Kecuali itu, katanya, ia merasa berhak karena KUHAP mewajibkan setiap orang yang mengetahui suatu kejahatan melaporkannya. "Jadi, jangankan saya, tukang becak pun berhak melaporkannya," kata Amien lagi. Dua orang jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Amarullah Rivai dan M. Slamet, berkesimpulan bahwa Amien tidak berhak mengajukan praperadilan. Menurut Amarullah, pihak ketiga itu adalah saksi korban atau orang yang terkait haknya, terutama yang hartanya ikut disita dalam perkara itu. "Tanpa ada hubungan dengan kerugian, orang itu bukanlah pihak yang mempunyai kepentingan," ujar Amarullah. Tapi pendapat Amien didukung oleh V.B. Da Costa, bekas anggota DPR, yang ikut membidani kelahiran KUHAP. Ia mengatakan, Amien termasuk pihak ketiga yang berkepentingan, dan bisa mengajukan praperadilan itu. "Sebab, ia jaksa yang pernah menangani kasus itu. Sebagai bekas jaksa ia tentu takut dituduh ikut main, sehingga penyidikan dihentikan," kata Da Costa, yang kini membuka kantor pengacara. Kecuali itu, Da Costa menunjuk pasal 108 KUHAP, yang mewajibkan setiap orang melaporkan bila melihat atau menyaksikan sebuah tindak pidana. Memang, kata Da Costa, pasal itu menyebutkan laporan itu harus disampaikan ke penyidik. "Nah, kalau yang melakukan justru penyidiknya, tidak ada jalan lain, harus melalui praperadilan," ujarnya menambahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini