RUMAH masih jadi impian buat banyak orang. Maka, sungguh suatu kejutan ketika Menteri Transmigrasi Martono mengatakan 16.000 rumah transmigran -- sebagian besar di Kalimantan -- yang sudah siap pakai akan dipusokan. Seperti padi yang puso, berarti rumah-rumah itu sudah dianggap musnah. "Dipusokan dalam arti semua uang yang digunakan untuk membangunnya dicoret dari anggaran," kata Martono. Alasan: kurangnya dana untuk pemeliharaan dan pengiriman transmigran. Begitu penjelasan Martono kepada wartawan seusai menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, Selasa pekan lalu. Masyarakat pun geger. Banyak sekali yang menentang keputusan itu. Malah ada yang menduga, seperti dikatakan anggota DPR dari F-PP Ali Tamin, itu merupakan upaya Martono untuk menutupi kegagalan. Seorang pejabat teras Departemen Transmigrasi sendiri mengecam keputusan itu sebagai suatu "kebijaksanaan putus asa". Menurut Kepala Kanwil Transmigrasi Kalimantan Barat, Soepono, setiap unit rumah itu menghabiskan biaya sekitar Rp 3juta. Selain untuk membangun rumah 4 x 8 m, beratap seng, lantai tanah, dan dinding papan, jumlah itu termasuk pula biaya membuka lahan usaha seluas dua hektar, pekarangan seperempat hektar. Bila angka itu akurat, berarti 16.000 unit rumah yang akan dipusokan Martono itu menelan biaya sekitar Rp 48 milyar. Suatu jumlah yang bisa untuk membangun sekitar 3.200 gedung SD Inpres, bila biaya pembangunannya sekitar Rp 15 juta. Rumah-rumah itu telantar konon karena sudah dibangun ketika anggaran untuk transmigrasi masih tersedia. Pembangunan dilakukan dalam jumlah banyak, mengikuti pola yang disesuaikan dengan target Pelita. Ternyata, sejak tahun ketiga Pelita IV (1986/1987) anggaran Departemen Transmigrasi menurun drastis dari Rp 400 milyar setahun menjadi Rp 200 milyar. Dengan begitu, tak ada biaya mengirimkan transmigran umum ke proyek-proyek yang sudah dibangun. "Barangkali tahun depan rumah-rumah itu sudah dimakan rayap," kata Martono. Sekarang saja banyak yang tak lagi terpakai. Di proyek Klumpang dan Sebamban VI, Kalimantan Selatan, misalnya, 300 rumah sudah hancur-hancuran. "Ketika melewati proyek itu, setahun yang lalu, saya sudah tak melihat rumah lagi. Mungkin tertutup semak belukar," kata Djono, Kepala Kanwil Transmigrasi Kalimantan Selatan. Lebih parah, umumnya proyek itu terpencil nun di tengah hutan. Untuk mencapai proyek Pamukan, contohnya, harus menyusur sungai dengan perahu bermesin selama 12 jam. Itu pun masih harus dilanjutkan berjalan kaki melintasi hutan belantara. Wajar, rumah-rumah itu pada rusak. "Siapa yang mau menjaganya dalam hutan itu?" kata Djono. Lokasi itu pula yang menyebabkan pemda begitu sulit mencari penduduk atau transmigrasi swakarsa yang bersedia menempati proyek itu. Padahal, rumah itu dilengkapi lahan pertanian dua hektar, dan diberikan secara gratis. Pemda masih memberikan jaminan hidup selama tiga atau empat bulan. Sebetulnya, ketika proyek itu akan dibangun 2 tahun lalu, Gubernur Kalimantan Selatan, H.M. Said, sudah meminta pada Menteri Martono agar yang dibangun lebih dulu adalah jalan untuk menghubungkan lokasi proyek dengan desa-desa terdekat. Bukan rahasia lagi, selama ini banyak proyek yang asal dibangun untuk memenuhi sasaran atau agar tidak terjadi Siap (sisa anggaran pembangunan). Hingga tidak heran bila banyak proyek yang mubazir. Contohnya, lapangan terbang di Batulicin, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan yang dibangun dengan biaya Rp 800 juta pada 1982, khusus untuk pengangkutan transmigrasi. Hingga kini lapangan terbang ini belum pernah dimanfaatkan untuk mengangkut transmigran, karena belum ada jalan raya menuju ke sana. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) USU tiga tahun lalu pernah meneliti proyek transmigrasi Batang Pane, 393 km dari Medan. Ternyata, tanahnya mengandung keasaman yang amat pekat, dengan PH 3-4. "Jangankan padi, ilalang pun tak akan tumbuh di situ," kata Sadakata Sembiring Meliala, Ketua LPPM. Belum lagi seperti diungkapkan Kepala Kanwil Transmigrasi Kalimantan Barat: kebanyakan proyek itu tak sesuai dengan kontrak. Tak aneh, baru dua tahun ini kebanyakan rumah sudah pada rusak. "Ya, akibat proyek diburu-buru Siap itu," ujar Soepono. Bila rumah-rumah yang rusak mau dihuni, menurut Soepono, dibutuhkan Rp 200.000 untuk biaya perbaikan tiap rumah. Di provinsi itu saja terdapat 5.384 rumah yang terserak di hutan-hutan tanpa penghuni. Di Kalimantan Tengah, 4.160 bernasib sama. Jumlah yang hampir sama bisa ditemukan di dua provisi lainnya, Kalimantan Selatan dan Timur. Tapi akankah ribuan rumah itu dibiarkan dimakan rayap? Tidak mungkin. Presiden memberi petunjuk, rumah transmigran yang sudah siap pakai tapi tidak bisa dihuni karena tak adanya dana pemindahan transmigran hendaknya dimanfaatkan seoptimal mungkin dan jangan sampai mubazir. Begitu pula lahan yang sudah sempat dibuka tapi terbengkalai, agar tetap dimanfaatkan, karena investasi yang ditanam di sana sudah banyak. Petunjuk itu diberikan Presiden ketika Gubernur Sulawesi Tengah, Ir. H. Alala, menemuinya di Bina Graha, Rabu pekan lalu. Untuk itu, Kepala Negara meminta Departemen Transmigrasi dan pemerintah daerah serta instansi terkait agar mengadakan koordinasi sebaik-baiknya. Upaya itu sudah mulai dilakukan. Di Kalimantan Barat, misalnya, pemda sedang mencoba memasukkan 2.000 peladang berpindah untuk menghuni rumah-rumah itu. Dengan begitu, rumah-rumah yang dibangun dengan uang rakyat itu tidak akan binasa dimakan rimba. Amran Nasution (Jakarta), Djunaini K.S. (Pontianak), Almin Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini