Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jakarta Samsul Maarif setuju dengan usulan Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Syamsul mempertimbangkan berbagai aspek, di antaranya konflik di masyarakat yang terjadi akibat pilkada secara langsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Memang perlu evaluasi untuk pilkada level gubernur, tidak hanya di Jakarta tapi di pilkada tingkat provinsi lainya. Saya pribadi mengusulkan agar dikembalikan kepada anggota DPRD,” kata Samsul saat konferensi pers di Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat, 13 Desember 2024. “Jadi, akan terus menerus terjadi konflik di akar rumput. Ini menjadi evaluasi bersama. Tapi keputusan akan kebijakan ini merupakan wewenang pemerintah pusat.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Katib Syuriyah PWNU Jakarta Taufik Damas juga menyetujui usulan Presiden Prabowo tersebut. Taufik mengatakan usulan itu membutuhkan kajian secara bersama-sama sebagai bentuk evaluasi terhadap sistem pilkada langsung. “Karena banyak di daerah yang digelar pemilihan langsung, orang-orang juga berkonflik secara langsung,” kata Taufik.
Presiden Prabowo Subianto mengusulkan perubahan sistem pilkada dari pemilihan langsung ke pemilihan di DPRD saat berpidato di perayaan ulang tahun ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis malam, 12 Desember lalu. Ketua Umum Partai Gerindra ini menyebut bahwa ada peluang kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.
Usulan Prabowo ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam sistem pilkada di Indonesia. Di awal Reformasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengatur sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Sistem pilkada ini berbeda dengan mekanime pemilihan di masa Orde Lama maupun Orde Baru. Saat itu, presiden yang berwenang mengangkat kepala daerah atas rekomendasi atau usulan DPRD.
Lima tahun setelah Reformasi bergulir, Undang-Undang Pemerintahan Daerah direvisi, yang membuka peluang sistem pilkada secara langsung. Sistem pilkada secara langsung mulai direalisasikan pada Juni 2005.
Pada 2014, Dewan Perwakilan Rakyat dan eksekutif mengesahkan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pilkada. Tapi ketentuan dalam undang-undang ini justru mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah ke DPRD. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk mengembalikan sistem pilkada langsung akibat menuai penolakan publik.
Di era pemerintahan Joko Widodo, pilkada secara langsug mulai digelar secara serentak untuk sejumlah daerah, yaitu pada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Adapun pilkada serentak secara nasional mulai digelar tahun ini.
Presiden Prabowo Subianto mengklaim bahwa sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD akan mampu menekan ongkos politik di pilkada. “Kemungkinan sistem (pilkada langsung) ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah. Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, baik anggaran dari negara maupun dari masing-masing tokoh politik,” ujar Prabowo.
Prabowo juga menyinggung mengenai efisiensi anggaran ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Di samping tidak boros anggaran, sistem pemilihan lewat DPRD juga mempermudah transisi kepemimpinan. Ia mencontohkan pemilihan di Malaysia, Singapura, dan India. “Mereka sekali memilih anggota DPRD. DPRD itulah yang memilih gubernur dan wali kota,” kata Prabowo.
Alfitria Nefi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor : Sejarah Pemilu di Indonesia dari 1955 Hingga Sekarang