Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASRUL Halili heran melihat daftar nama yang lolos seleksi administrasi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Di antara ratusan nama yang lolos, ada kandidat yang berasal dari Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masuknya kandidat dari unsur kepolisian dan kejaksaan itu dikhawatirkan Hasrul bakal mengganggu independensi KPK dalam proses penegakan hukum. Musababnya, kata dia, penanganan kasus korupsi ditengarai bakal mandek jika ada perkara yang menyeret institusi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasrul menilai seolah-olah ada pesan titipan untuk melancarkan agenda khusus dalam menempatkan penegak hukum di seleksi calon pimpinan lembaga antirasuah itu. "Seolah-olah mereka menitipkan nama," kata Sekretaris Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada itu saat dihubungi, Jumat, 26 Juli 2024.
Panitia seleksi calon pimpinan KPK mengumumkan hasil seleksi administrasi capim KPK pada Rabu, 24 Juli 2024. Ada 236 dari 318 pendaftar yang dinyatakan lolos. Sebanyak 16 orang di antaranya berasal dari unsur kepolisian dan 11 orang dari kejaksaan.
Polri mengaku memang mengutus wakilnya untuk bertarung dalam seleksi calon pimpinan lembaga antirasuah itu. Mereka di antaranya Setyo Budianto yang menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, Sekretaris Utama Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) Ridwan Zulkarnain Panca Putra Simanjuntak, Kapolda Kalimantan Tengah Joko Purwanto, serta Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK Didik Agung Widjanarko.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan lembaganya mengirim lima nama yang disetujui Jaksa Agung S.T. Burhanuddin. Kelima nama itu adalah pelaksana tugas Deputi III Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Sugeng Purnomo; Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Andi Herman; Harli Siregar; Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Ketut Sumedana; serta eks Direktur Penuntutan KPK, Fitroh Rohcahyanto. Semua nama itu dinyatakan lolos oleh pansel KPK.
Senada dengan Hasrul, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani juga ragu penegakan hukum bisa diusut tuntas jika pimpinan KPK berasal dari kepolisian atau kejaksaan. Sebab, kata dia, sejumlah kasus korupsi nyatanya melibatkan aktor yang berasal dari Korps Bhayangkara. “Keterlibatan Polri dan kejaksaan di seleksi capim KPK sarat konflik kepentingan,” ujarnya.
Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK menyampaikan keterangan bersama kepada awak media, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 12 Juni 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Dia mewanti-wanti agar pansel KPK tak mengulang kesalahan yang sama ketika meloloskan kandidat dari unsur Polri seperti pada era Firli Bahuri. Julius mengatakan KPK dilahirkan karena kepolisian dan kejaksaan gagal menangani sejumlah perkara korupsi. Atas pertimbangan itu, KPK didirikan dengan tujuan menjadi lembaga trigger mechanism.
Artinya, KPK mendorong kepolisian dan kejaksaan melakukan perbaikan, mengingat korupsi masih terjadi di lingkup internal dua lembaga itu. Karena itu, kata Julius, kehadiran kepolisian dan kejaksaan di tubuh KPK tidak masuk logika. “Bagaimana mereka mau memberantas korupsi kalau instansi asal saja masih terjangkit korupsi?” ucapnya.
Julius menduga motif kepolisian dan kejaksaan mendaftar capim KPK adalah melindungi kepentingan institusi ataupun penguasa. “Karena itu, pimpinan KPK tak boleh berasal dari aparat negara. Tak akan independen dan ada konflik kepentingan,” kata Julius.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan, mengatakan KPK dilahirkan untuk mengoptimalkan kinerja kepolisian dan kejaksaan. Kehadiran capim KPK dari kedua unsur itu justru tidak relevan dengan semangat berdirinya KPK. “Apalagi masih banyak terjadi korupsi di level kepolisian dan kejaksaan,” kata Yuris kepada Tempo, Jumat, 26 Juli 2024.
Semestinya relasi KPK dengan institusi penegak hukum bisa menjadi checks and balances jika terjadi praktik korupsi di lembaga penegak hukum. Bila KPK diisi oleh orang dari institusi penegak hukum lain, hal itu akan menurunkan derajat checks and balances tersebut. “Risikonya, kasus-kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum akan tumpul,” kata Yuris.
Ketumpulan itu dapat dilihat dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 yang disebabkan oleh lemahnya komitmen lembaga penegak hukum. Sejak KPK menjadi lembaga eksekutif pada 2019, IPK Indonesia mengalami stagnasi. Pada 2019, IPK Indonesia sebesar 40 poin. Angka ini naik dua poin dibanding pada 2018. Makin dekat dengan poin 100 menandakan negara itu bersih dari korupsi.
Namun, setelah revisi Undang-Undang KPK, IPK Indonesia turun menjadi 37 poin pada 2020. Kemudian angkanya naik lagi menjadi 38 poin, tapi setelah itu turun beruntun menjadi 34 poin pada 2022-2023. “Salah satu faktor penurunan IPK itu adalah lemahnya komitmen aparat penegak hukum melakukan pemberantasan korupsi,” kata Yuris.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch alias ICW, Diky Anandya, mengatakan tidak ada aturan komposisi pimpinan KPK harus berasal dari unsur kepolisian dan kejaksaan. Pansel KPK, kata dia, harus memilih pimpinan KPK berdasarkan pengalaman dan kompetensi.
Menurut dia, kehadiran kepolisian dan kejaksaan dikhawatirkan menghambat agenda pemberantasan korupsi. Sebab, potensi munculnya konflik kepentingan ketika mengusut perkara korupsi di institusi asal sangat besar.
“Apalagi KPK dibentuk dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagai lembaga independen karena polisi dan jaksa gagal dan tidak efektif memberantas korupsi,” kata Diky kepada Tempo, Jumat, 26 Juli 2024.
Hal senada disampaikan peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Ia menilai banyak perkara yang melibatkan polisi dan jaksa berhenti di tengah jalan karena konflik kepentingan. Mereka menjadi lemah melakukan pengusutan karena melibatkan unsur pimpinan lembaga asal.
Herdiansyah mencontohkan kasus rekening gendut yang melibatkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka dugaan gratifikasi pada 2015. Dugaan rasuah diduga dilakukan BG ketika menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi SDM Polri. Hakim Sarpin Rizaldi, yang mengadili perkara itu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemudian memutuskan penetapan tersangka terhadap Budi oleh KPK tidak sah. Penyebabnya adalah, saat menjabat Karobinkar, Budi tidak termasuk penegak hukum.
Seorang saksi memberikan keterangan kepada awak media sebelum memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Jakarta, 10 Juni 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Setelah itu, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung. Namun kejaksaan justru melimpahkan perkara itu ke Bareskrim Polri. Tak ada kabar pasti soal nasib BG di Bareskrim Polri. Sebab, pada 2010, Polri sudah mengusut kasus rekening gendut BG. Kala itu Polri mengatakan tak menemukan tindak pidana dalam kasus dugaan gratifikasi BG.
Contoh lain melemahnya agenda pemberantasan korupsi yang melibatkan unsur kepolisian bisa diamati pada kasus eks Ketua KPK, Firli Bahuri. Dia ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). Dewan Pengawas KPK juga menetapkan Firli melanggar kode etik berat saat menjadi Ketua KPK karena pertemuan dia dengan SYL.
Menurut Herdiansyah, pansel KPK jangan sampai mengulang kesalahan yang sama. Sebelum menjadi pemimpin KPK, Firli sejak awal sudah memiliki rekam jejak yang buruk. Dia pernah melanggar kode etik ketika menjabat Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK. Ia pernah bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat kala itu, Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi. Padahal KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.
Karena itu, kata Herdiansyah, Pansel KPK seharusnya melihat rekam jejak para peserta saat menyeleksi. "Rekam jejak buruk dan minim pengalaman seharusnya tak diterima. Capim idealnya harus bersih dari kejahatan, baik tindak pidana maupun etik," ujarnya.
Tak hanya berpotensi mengganggu proses penegakkan hukum, rekam jejak sejumlah kandidat itu juga ditengarai bermasalah. Berdasarkan penelusuran Tempo, Panca Putra Simanjuntak pernah terseret kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Majalah Tempo mengungkap keterlibatan Panca dalam lobi para pejabat utama Polri demi memuluskan skenario yang dirancang Ferdy Sambo.
Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Andi Herman diduga pernah terlibat dalam upaya pemerasan Rp 10 miliar saat masih menjabat di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pada 2022. Namun Andi membantah tuduhan itu.
Harli Siregar mengatakan tuduhan organisasi masyarakati sipil subyektif dan tak berdasar. Menurut Harli, calon dari unsur masyarakat sipil pun tak menjamin mereka terlepas dari konflik kepentingan. “Karena itu sangat bergantung pada bagaimana pimpinan KPK ke depan membangun komitmennya,” kata Harli saat dihubungi, kemarin. Ia juga menjamin Andi Herman independen bila menjadi pimpinan KPK. Apalagi masalah yang menimpa Andi dahulu sudah dibantah.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho belum merespons pesan Tempo hingga berita ini diturunkan. Setali tiga uang, R.Z. Panca Putra Simanjuntak juga belum membalas pesan yang dikirim ke telepon seluler pribadinya.
Tempo kembali meminta tanggapan Arif Satria mengenai pandangan pengamat atas seleksi capim KPK. Namun ia belum menjawab hingga berita ini terbit.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo