Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Politik Uang Tanah Jawara

Isu politik uang menjadi gunjingan menjelang pemilihan Gubernur Banten. Pengawas dianggap tak "bergigi".

13 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGHELA napas panjang, calon Gubernur Banten Rano Karno langsung kuyu mendengar kabar itu. "Kalau kayak gini, peluang menang tipis," kata Rano sebelum penandatanganan pakta integritas "Pilkada tanpa Politik Uang" di Teras Kota, Tangerang, Banten, Rabu pekan lalu.

Sore itu, lima menit sebelum Rano naik panggung, seorang anggota tim suksesnya mengabarkan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum Banten menghentikan pengusutan dugaan bagi-bagi uang dalam kampanye di Cisauk, Kabupaten Tangerang. "Saya yakin menang. Tapi, kalau lawannya duit, kami bisa kewalahan," ujar Rano.

Semula Rano berharap Badan Pengawas Pemilu akan serius mengusut semua laporan permainan uang. Belakangan, harapan Rano mulai menipis. "Kalau yang buktinya jelas saja dilepas, bagaimana laporan lain?" katanya. Padahal sekali Badan Pengawas tak tegas, menurut Rano, menjelang hari pencoblosan, permainan uang bisa lebih marak.

Rano Karno—berpasangan dengan Embay Mulya Syarif—bertarung melawan pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy untuk menduduki kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022.

Pasangan Rano-Embay diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai NasDem, dan Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan pasangan Wahidin-Andika disokong Partai Golkar, Demokrat, Hanura, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Rano adalah calon inkumben. Sebelumnya, ia menjadi Gubernur Banten setelah menggantikan Gubernur Atut Chosiyah, yang divonis tujuh tahun penjara karena menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, pada September 2013. Rano menggandeng Embay, tokoh masyarakat yang juga salah satu pendiri Provinsi Banten.

Adapun Wahidin Halim pernah menjadi Wali Kota Tangerang selama dua periode, kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Demokrat. Wahidin berpasangan dengan Andika, anak sulung Atut, yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah kemudian menjadi anggota DPR dari Fraksi Golkar.

Kedua pasangan ini akan memperebutkan suara 7,7 juta pemilih. Sebagian besar pemilih, sekitar 4 juta, berdomisili di "Tangerang Raya", yang meliputi Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.

l l l

MEMAKAI kaus bergambar Wahidin-Andika, seratusan orang berkumpul di halaman rumah Abdul Hamid di Desa Sampora, Cisauk, Kabupaten Tangerang. Rabu siang dua pekan lalu, rumah berhalaman jembar itu menjadi tempat acara tatap muka calon wakil gubernur Andika Hazrumy dengan masyarakat Cisauk. Pelawak Sudarmadji alias Doyok diundang sebagai penghibur. Dua anggota Panitia Pengawas Pemilu memantau kampanye tatap muka itu.

Seorang anggota Panitia Pengawas menuturkan, kampanye pasangan calon nomor urut satu itu dimulai pada pukul 13.00. Andika berbicara sekitar 15 menit dalam acara yang berlangsung sekitar satu jam tersebut. Setelah kelar berfoto dengan pendukungnya, Andika meninggalkan rumah Abdul Hamid.

Persis setelah Andika pergi, sebelum undangan bubar, sejumlah orang menutup rapat pagar rumah. Mereka meminta undangan berbaris rapi. Di antara lima orang yang berdiri di dekat gerbang, dua orang menenteng segepok amplop surat putih. Setelah undangan rapi berbaris, pintu gerbang sedikit dibuka, cukup untuk melintas dua orang. "Satu per satu orang yang keluar dikasih amplop," ujar seorang anggota Panitia Pengawas Pemilu, Rabu pekan lalu. "Isi amplop berbeda-beda, antara Rp 30 ribu dan Rp 50 ribu."

Salah seorang anggota Panitia Pengawas sempat menegur orang yang membagi-bagikan amplop itu. Tapi Abdul Hamid, si pemilik rumah, malah pasang badan.

"Eh, ini kan rumah saya. Duit saya. Terserah saya mau ngapain," kata Abdul Hamid, seperti ditirukan seorang anggota Panitia Pengawas.

"Waktunya tidak tepat, Pak Haji," si pengawas membalas.

"Uang saya banyak. Itung-itung zakat," Pak Haji menyergah.

Setelah "Pak Haji" menjawab seperti itu, kedua pengawas memilih tidak meneruskan perdebatan.

Siang itu juga foto bagi-bagi duit ini sampai di tangan Bonnie Triana, juru bicara pasangan Rano-Embay. Bagian hukum di tim pemenangan Rano-Embay kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Badan Pengawas Pemilu Provinsi Banten. "Ternyata Bawaslu melempem," ucap Bonnie.

Agar kejadian seperti di Cisauk tak berulang, menurut Bonnie, tim Rano-Embay mendeklarasikan Satuan Tugas Anti Politik Uang. Satuan tugas itu akan menyisir kampung-kampung di Banten, terutama menjelang hari-H pencoblosan. "Kami mengantisipasi serangan fajar," kata Bonnie.

Anggota Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan Cisauk, Taufik Lubis, membenarkan kejadian bagi-bagi amplop di rumah Abdul Hamid. Namun ia tidak mau berkomentar banyak. "Kasusnya ditangani Badan Pengawas Pemilu," ujar Taufik, Rabu malam pekan lalu.

Ketua Badan Pengawas Pemilu Banten Pramono U. Tanthowi mengatakan pengusutan laporan tersebut terhambat sejumlah hal. Hingga Kamis pekan lalu, pemilik rumah sedang ke luar kota sehingga tidak bisa diperiksa. Badan Pengawas juga kesulitan menemukan warga Sampora yang bersedia menjadi saksi. "Ada yang mengintimidasi masyarakat agar tidak bersaksi," kata Pramono. "Mereka bahkan ditakuti-takuti, kalau bersaksi bakal ditangkap polisi."

Hambatan lain, menurut Pramono, petugas Panitia Pengawas Kecamatan juga tak mengenal orang yang membagi-bagikan uang karena mereka bukan penduduk Desa Sampora. "Padahal harus jelas siapa memberi dan siapa menerima," ujarnya.

Tempo menyambangi rumah Abdul Hamid pada Jumat pekan lalu. Seorang penjaga rumah yang tak mau menyebutkan namanya mengatakan majikan dia sedang pergi ke Sulawesi sejak Senin pekan lalu. "Saudaranya sakit," katanya. "Enggak tahu kapan pulang."

Berdiri di atas lahan seluas 700 meter persegi, rumah dua lantai milik Abdul Hamid kontras dengan rumah lain di permukiman padat itu. Di halaman rumah terparkir lima truk pengangkut pasir. Sejumlah tetangga menyebut Abdul Hamid pengusaha pasir. Namun mereka bungkam ketika ditanyai soal bagi-bagi amplop itu.

Sejauh ini, menurut Pramono, Bawaslu Banten sudah menerima empat laporan dugaan "politik uang". Tiga laporan—termasuk dari Cisauk—dialamatkan ke kubu Wahidin-Andika. Satu laporan lagi menuding pasangan Rano-Embay karena tim suksesnya membagi-bagikan sabun cuci bubuk. Di antara keempat laporan tersebut, di mata Pramono, laporan Cisauk yang paling terang duduk masalahnya. "Sayangnya, tak ada saksi. Padahal polisi meminta itu bukti yang kuat."

Di luar empat laporan tersebut, Ahad siang dua pekan lalu, Badan Pengawas Pemilu memergoki Relawan Pemuda Kota Bela Wahidin-Andika yang hendak menggelar bazar murah di Serang. Badan Pengawas mencium rencana itu ketika ada relawan yang membagi-bagikan kupon seharga Rp 10 ribu kepada masyarakat. Tim Bawaslu lantas mendatangi lokasi bazar di salah satu rumah pendukung Wahidin-Andika. Saat itu, bazar belum dimulai. Namun warga Serang yang memegang kupon mulai berdatangan. "Kami bubarkan acara itu," ucap Pramono.

Bazar seperti itu, menurut Pramono, termasuk praktek "politik uang". Dengan kupon seharga Rp 10 ribu, orang bisa menebus satu liter minyak, dua liter beras, setengah kilogram gula, dan tiga buah mi instan. "Hitungan harganya tidak masuk akal," ujar Pramono.

Menurut Pramono, Badan Pengawas Pemilu Banten sudah berusaha menutup celah-celah politik uang. Salah satunya melalui penghentian sementara pencairan dana hibah oleh pemerintah provinsi dan kota/kabupaten di Banten selama masa kampanye. "Gara-gara moratorium itu, kami beberapa kali diprotes," kata Pramono.

Pramono dan kawan-kawan belajar dari kejadian pada 2011. Kala itu, Indonesia Corruption Watch melaporkan dugaan penyimpangan dana bantuan sosial senilai Rp 34,9 miliar ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Modus penyelewengan dana bansos menjelang pemilihan Gubernur Banten waktu itu dari alamat fiktif, pemotongan dana, sampai pemberian bantuan kepada lembaga yang masih berafiliasi dengan calon gubernur. "Kami mencoba mengunci celah itu," ujar Pramono.

Andika Hazrumy mengaku tidak tahu-menahu bila setelah kampanye di Cisauk ada yang membagi-bagikan duit. Menurut dia, perbuatan tersebut bisa dilakukan oleh siapa saja. "Bisa saja kubu lawan mengaku sebagai tim sukses kami untuk menjatuhkan," kata Andika setelah acara debat pemilihan kepala daerah Banten di Hotel Royal Krakatau, Cilegon, Kamis pekan lalu. "Yang jelas, kami ini anti-politik uang."

Jazuli Juwaini, juru bicara tim pemenangan Wahidin-Andika, mengatakan hal senada. Menurut dia, isu bagi-bagi duit dalam kampanye di Cisauk terlalu dibesar-besarkan. "Kenyataannya, Bawaslu menghentikan kasus tersebut," ucapnya. Seperti tak mau kalah oleh manuver tim Rano-Embay, untuk mengantisipasi "serangan fajar", tim Wahidin-Andika juga membentuk Brigade Pengamanan Anti Politik Uang. "Yang inkumben siapa," kata Jazuli. "Mereka yang punya akses ke mana-mana."

Syailendra Persada (Serang) | Muhammad Kurnianto (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus