Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 17 poin tuntutan keluarga korban tragedi Kanjuruhan ke pemerintah.
Keluarga korban berharap Mabes Polri menerima laporan pihak korban atas tragedi Kanjuruhan.
Ombudsman tengah mendalami berbagai indikasi pelanggaran dalam tragedi Kanjuruhan.
JAKARTA – Ratusan orang mendatangi Stadion Sepak Bola Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Ahad sore kemarin. Mereka datang untuk memperingati satu tahun tragedi Kanjuruhan yang mengakibatkan 135 penonton meninggal di dalam stadion pada 1 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Genap satu tahun sudah, 135 anak yang mencintai sepak bola Indonesia dibunuh di rumahnya sendiri, Stadion Kanjuruhan,” kata Deviathok Yulfitri, perwakilan keluarga korban, saat membacakan pernyataan sikap atas tragedi Kanjuruhan di Stadion Kanjuruhan, Ahad, 1 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deviathok kehilangan dua putrinya dalam tragedi Kanjuruhan. Keduanya bernama Natasya Devi Ramadhani, 16 tahun, dan Naila Debi Anggraini, 13 tahun. Mantan istri Deviathok, Gebi Asta Putri Purwoko, 37 tahun, yang mendampingi kedua putrinya ketika menyaksikan pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, ikut menjadi korban dalam tragedi ini.
Baca juga:
-Pelaku Utama Tragedi Kanjuruhan
Insiden ini terjadi saat pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya. Sebagian pendukung Arema yang memadati stadion merangsek ke dalam lapangan untuk meluapkan kekesalan setelah kekalahan tim kebanggaan mereka. Personel kepolisian dan TNI yang bertugas mengamankan laga tersebut bertindak represif. Polisi berkali-kali menembakkan gas air mata hingga mengarahkannya ke arah tribun penonton.
Tembakan gas air mata tersebut memicu kepanikan penonton. Mereka berdesakan ke luar stadiun. Tembakan gas air mata ini mengakibatkan banyak penonton yang menderita sesak napas hingga ratusan orang meninggal. Tercatat 600 orang terluka dalam insiden ini, termasuk Gebi Asta Putri Purwoko.
Kepolisian lantas mengusut tragedi ini. Mereka menetapkan enam orang sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Satuan Samapta Kepolisian Resor Malang, Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi; Kepala Bagian Operasional Polres Malang, Komisaris Wahyu Setyo Pranoto; Komandan Kompi Brigade Mobil Polda Jawa Timur, Komisaris Hasdarman; Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB), Akhmad Hadian Lukita; Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan, Abdul Haris; dan security officer, Suko Sutrisno.
Di pengadilan, Bambang divonis 2,5 tahun penjara, Wahyu 2 tahun penjara, Hasdarman 1,5 tahun penjara, Abdul 1,5 tahun penjara, dan Suko 1 tahun penjara. Adapun pengusutan perkara Hadian Lukita tidak dilanjutkan setelah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur mengembalikan berkas tersangka ke kepolisian.
Warga bersama keluarga korban memasuki stadion ketika aksi peringatan satu tahun tragedi Kanjuruhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2023. ANTARA/Irfan Sumanjaya
Deviathok menyoroti perkembangan perkara tersebut. Ia menilai vonis ringan kelima tersangka maupun tak jelasnya penanganan perkara Hadian Lukita mencerminkan tak adanya keadilan bagi korban tragedi Kanjuruhan.
Pada kesempatan tersebut, atas nama keluarga korban, Deviathok membacakan 17 poin pernyataan sikap. Sejumlah poin itu antara lain menuntut keberlangsungan proses hukum yang adil dan transparan, menuntut presiden menghentikan impunitas kepada para pelaku, melaksanakan rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), serta menghentikan renovasi Stadion Kanjuruhan sebelum dilakukan rekonstruksi tragedi secara utuh.
Mereka juga mendesak presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam pengendalian massa, menuntut Kepala Polri mengusut kejanggalan penghentian penyelidikan laporan korban atas tragedi Kanjuruhan, serta menuntut Mabes Polri mengambil alih penanganan perkara. Selanjutnya, mereka mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat, menuntut Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mengkaji ulang perjanjian keamanan dengan Polri, dan meminta PSSI menetapkan 1 Oktober sebagai hari duka sepak bola nasional.
Lima Lembaga Dalami Ulang Tragedi Kanjuruhan
Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Mokhammad Najih, mengatakan lembaganya bersama Komnas HAM, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Komisi Perlindungan Anak akan mendalami kembali peristiwa Kanjuruhan tersebut. “Karena keluarga korban masih banyak yang belum mendapatkan perhatian dari upaya penegakan hukumnya dan penanganan yang semestinya dilakukan penegak hukum,” kata Najih.
Ia mengatakan Ombudsman dan keempat lembaga tersebut sudah berkoordinasi, dua hari lalu. Mereka bersepakat akan membahasnya lebih lanjut pada pekan depan.
Najih melanjutkan, berbagai pihak terkait belum merespons temuan Ombudsman hingga kini. Dalam tragedi Kanjuruhan ini, kata dia, Ombudsman menemukan adanya maladministrasi pada proses penyelenggaraan pertandingan dan standar operasional prosedur (SOP) keamanan.
“Kami lihat dalam penanganannya cukup dilakukan di tingkat Kapolres. Namun, dalam kenyataannya, pihak polres meminta tenaga unsur polres lain, termasuk Brimob. Itu juga telaah kami,” ujar Najih.
Ia mengatakan Ombudsman juga akan segera memberikan penilaian atas putusan pengadilan terhadap para tersangka.
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Ombudsman Perwakilan Jawa Timur, Triyogi Habibi, mengatakan, dalam waktu dekat, akan ada pernyataan sikap bersama dari Ombudsman dan lembaga lain soal pendalaman peristiwa Kanjuruhan. “Koordinasi tadi malam intinya setiap lembaga akan melanjutkan pemeriksaan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing,” kata Triyogi.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan lembaganya akan membentuk tim yang akan memantau tindak lanjut temuan Komnas HAM atas tragedi tersebut. Komnas HAM menemukan sejumlah indikasi pelanggaran dalam tragedi Kanjuruhan, baik yang dilakukan PSSI, PT LIB, maupun perangkat pertandingan. Misalnya, PSSI membolehkan polisi bersenjata gas air mata masuk ke stadion, padahal itu menyalahi aturan PSSI dan FIFA. Selain itu, PSSI tidak memberi tahu kepolisian perihal larangan membawa dan menggunakan gas air mata di stadion.
Temuan Komnas HAM lainnya, PSSI tidak menetapkan pertandingan Arema FC versus Persebaya sebagai laga berisiko tinggi, petugas keamanan dan keselamatan tidak bersertifikat, serta PSSI tak mengawasi penerapan regulasi FIFA di stadion.
Kemudian, indikasi pelanggaran PT LIB, yaitu memaksakan pertandingan digelar pada malam hari, tidak memverifikasi kelayakan stadion sebelum Liga 1 musim 2022/2023 digelar, dan tak ada langkah konkret yang menjamin pertandingan berisiko tinggi berjalan aman. Komnas HAM juga mendapati panitia mencetak tiket melebihi kapasitas stadion dan kepolisian menembakkan gas air mata secara berlebihan di dalam stadion.
Pengunjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat membawa spanduk saat melakukan Aksi Kamisan di depan Balai Kota Malang, Jawa Timur, 14 September 2023. ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Menolak Berhenti di Enam Tersangka
Rizal Putra Pratama, 23 tahun, salah satu korban tragedi Kanjuruhan, mendatangi Mabes Polri pada 27 September lalu. Ia melaporkan tindakan pembunuhan dalam tragedi Kanjuruhan ke Mabes Polri. Rizal sempat melaporkannya ke Polres Malang, tapi polisi menghentikan penyelidikannya pada 7 September lalu.
“Kami rasakan laporan itu selama satu tahun digantung. Hanya penyelidikan, tapi tidak naik-naik ke penyidikan,” kata Rizal. Menurut Rizal, PSSI dan PT LIB seharusnya ikut dimintai pertanggungjawaban secara hukum dalam tragedi tersebut.
Dalam tragedi ini, Rizal kehilangan adiknya, Mochammad Rifky Aditya A., 13 tahun, dan ayahnya yang bernama Muchamad Arifin, 45 tahun. Adik Rizal, Cahaya Maida Salsabilla, 11 tahun, ikut meninggal 28 hari setelah kejadian. Cahaya tidak ikut menonton pertandingan, tapi ia jatuh sakit setelah mendapat kabar kematian ayah dan kakaknya.
Ibu Rizal juga masih menderita trauma hingga kini. Saat mengikuti doa bersama di Stadion Kanjuruhan, Ahad kemarin, kondisi kesehatan ibu Rizal kembali menurun karena mengingat kejadian tersebut.
Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang, Daniel Siagian, mengatakan Mabes Polri belum menerima laporan Rizal secara resmi. “Mereka belum mau menerbitkan surat tanda terima laporan. Alasannya, perlu beberapa waktu untuk pendalaman,” kata Daniel. “Mabes Polri meminta waktu 10 hari untuk mendalami laporan itu.”
Dalam laporan itu, kata Daniel, Rizal meminta Mabes Polri mengambil alih laporan keluarga korban ke Polres Malang setelah pihak polres menghentikan penyelidikannya. Pelapor juga meminta Mabes Polri mengusut peran Inspektur Jenderal Nico Afinta, yang menjabat Kepala Polda Jawa Timur saat tragedi Kanjuruhan terjadi; Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat, yang menjabat Kapolres Malang saat tragedi itu terjadi; dan sejumlah anggota Brimob yang ditengarai menembakkan gas air mata.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, mengkritik proses penanganan hukum tragedi Kanjuruhan. Ia menilai negara dan penegak hukum telah lalai karena tidak mencantumkan unsur sistematis dalam tragedi Kanjuruhan.
“Lima orang yang sudah dihukum itu tidak memiliki kewenangan untuk inisiasi dan bertindak. Mereka bukan pemegang komando,” kata Julius.
Ia menilai hukuman ringan yang didapat para terdakwa merupakan bentuk kompromi. Padahal, kata Julius, peristiwa Kanjuruhan ini semestinya tidak dilihat sebagai tindak pidana biasa, melainkan pelanggaran HAM, sehingga harus diadili di pengadilan HAM. “Komnas HAM harus berani mengatakan ini merupakan pelanggaran HAM berat dan menyeret pelaku ke peradilan HAM,” kata dia.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo