SISWA-siswa SMTA boleh lega. Untuk sementar praseleksi belum
menjadi kartu mati. Dalam pertemuan dengan Komisi IX DPR Kamis
pekan lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan "untuk
mengurangi efek psikologisnya, praseleksi akan dilaksanakan
secara bertahap." Maksudnya, baru 1987 nanti akan benar-benar
ada sebagian lulusan SMTA yang tak diberi kesempatan masuk
perguruan tinggi program sarjana.
Tapi perubahan memang tetap ada, mulai tahun depan. Sistem
proyek perintis (PP) tetap ditiadakan. Tes masuk perguruan
tinggi negeri akan dilaksanakan secara serentak, termasuk tes
masuk program diploma dan penggolongan lulusan SMTA menjadi tiga
golongan tetap akan dilaksanakan juga. Tahun 1984 sudah akan ada
lulusan SMTA yang diundang masuk perguruan tinggi negeri tanpa
tes. Ini untuk yang memiliki nilai rapor SMTA dan angka EBTA
tinggi. Golongan kedua yang boleh ikut tes masuk. Dari golongan
ketiga, tak boleh ikut tes. Golongan terakhir ini diragukan
kemampuannya menyelesaikan kuliah dengan baik, meskipun lulus
tes masuk perguruan tinggi.
Cuma, untuk mengurangi "efek psikologis" tadi, golongan ketiga
itu pun pada tes masuk perguruan tinggi 1984, 1985, dan 1986
masih diberi kesempatan ikut juga karena pertimbangan bahwa
siswa SMTA yang menempuh EBTA waktu itu, tentunya, belum
mempersiapkan diri nenghadapi praseleksi. Dengan demikian, baru
angkatan siswa yang kini duduk di kelas III SMTP yang akan
terkena sistem praseleksi sepenuhnya, untuk pertama kalinya.
Yang baru juga pada tahun depan ialah EBTA SMTA tidak lagi
diselenggarakan sekolah. Tapi diselenggarakan secara nasional
untuk beberapa mata pelaiaran yang dianggap menentukan
keberhasilan siswa menempuh pendidikan tinggi. Belum jelas mata
pelajaran apa saja yang akan diujikan secara nasional itu. Tahun
ini ujian negara untuk SMA memang sudah dilaksanakan. Tapi baru
untuk mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, Bahasa
Indonesia dan Inggris, Biologi, dan Geografi. Yang jelas "dengan
pengalaman selama ini kami akan mencoba agar Ebtanas itu tak
akan bocor," janji Darji Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar
dan Menengah, sebelum berangkat naik haji dua pekan lalu.
Ada beberapa hal dalam konsep baru ini yang lebih baik menurut
pandangan tim penyusun konsep pelaksanaan praseleksi. Antara
lain, lebih menjamin pemilihan calon mahasiswa "yang mempunyai
kemampuan akademi," dan menjamin "asas pemerataan kesempatan
belajar." Sidharto Pramoetadi, direktur Pembinaan Sarana
Akademis, salah seorang anggota tim penyusun konsep praseleksi,
memberikan contoh. Sistem proyek perintis, katanya, memungkinkan
seorang pemegang ijazah SMTA ikut tes PP I, PP III dan PP IV.
"Bahkan ada juga yang ikut tes program diploma," katanya kepada
TEMPO, sehabis mendampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di
DPR. Dan tak sedikit siswa yang ikut tes sana-sini itu ternyata
diterima di semua tempat. "Ini 'kan merepotkan, dan jeleknya tak
memberi kesempatan temannya untuk masuk universitas," tambahnya.
Tapi berapa jumlah siswa yang begitu itu memang belum didata.
Pramoetadi cuma mengatakan, banyak siswa yang diterima di
program diploma dan pendidikan politeknik tak kunjung datang,
padahal sudah dipanggil lima kali.
Tidak berarti sistem praseleksi tidak mengundang masalah. Namun,
Pramoetadi rupanya sudah siap dengan risikonya. Misalnya, bila
nanti IKIP dan program diploma ternyata kekurangan peminat.
"Biar saja. Ini sekalian untuk menunjukkan kepada masyarakat
yang sering mengeluhkan mutu guru, tanpa mendorong anaknya
sendiri menjadi guru," kata orang yang Rabu malam pekan lalu
turut menyusun konsep pelaksanaan praseleksi. Toh, nanti tetap
terbuka kemungkinan ada tes susulan bagi IKIP dan program
diploma, bila ternyata peminatnya tak memenuhi daya tampung yang
disediakan.
Lalu, bagaimana dengan pemegang STTB SMTA tahun-tahun yang
lewat? Akan ada seleksi khusus bagi mereka dengan
mempertimbangkan nilai tes masuk dan usia STTB-nya. Menurut
Pramoetadi, akan diprioritaskan STTB yang usianya paling lama
dua tahun. "Ini memang harus diperhatikan," kata dosen ITB ini.
"Tahun ini saja sekitar 25% yang diterima di perguruan tinggi
adalah lulusan SMTA tahun-tahun lalu."
Masih dipertanyakan tentang pemilihan siswa yang akan diterima
tanpa tes, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 10% dari daya
tampung perguruan tinggi negeri. Bila memang praseleksi
merupakan perpaduan PP I dengan PP II (TEMPO, 17 September),
Andi Hakim Nasution, rektor IPB dan anggota panitia PP II,
menggambarkan kerumitan yang bakal dialami panitia praseleksi.
Kini, tutur Andi Hakim kepada TEMPO pekan lalu, PP II hanya
menyeleksi sekitar 1.500 siswa yang diterima dari sekitar tujuh
ribu yang mendaftar. Untuk itu saja, panitia PP II masih sering
pusing, karena banyak nilai yang sama tinggi. "Bila begitu,
siswa mana yang harus diambil, harus ada kriteria lain lagi,"
tuturnya.
Selama ini panitia PP II menambahkan kriteria "aktivitas siswa."
Kata Andi, "Saya tak ingin memilih siswa yang cuma baik dalam
belajar, tapi pasif mengikuti kegiatan sekolah." Juga, latar
belakang ekonomi siswa menjadi pertimbangan. Yang dipilih yang
kurang mampu, "sebab yang mampu bisa saja ikut PP I," ujar
rektor IPB itu menambahkan.
Maka, tak terbayangkan bagi Andi Hakim, bila harus menyeleksi
sekitar empat ribu siswa dari sekitar 400 ribu lulusan SMTA.
"Jika banyak nilai seri, kriteria apa nanti yang bakal
diterapkan?" tanyanya. Itu sebabnya, tahun depan IPB masih tetap
akan menyeleksi sendiri calon mahasiswanya, belum mengikuti
sistem praseleksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini