Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Puspom TNI memeriksa dua pegawai Basarnas sejak Ahad lalu.
KPK dan Puspom TNI berbagi dokumen dalam penyidikan kasus suap Kepala Basarnas.
Pegiat mendorong KPK dan Puspom membentuk tim koneksitas.
JAKARTA – Pusat Polisi Militer (Puspom) Tentara Nasional Indonesia mulai memeriksa saksi-saksi kasus dugaan suap terhadap Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto dalam dua hari terakhir. Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono, menyebutkan Puspom TNI sudah memeriksa dua pegawai Basarnas sebagai saksi sejak Ahad lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dimungkinkan akan ada pemeriksaan saksi tambahan dari pegawai Basarnas,” kata Julius, Senin, 7 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum memeriksa kedua saksi, tim Puspom TNI bersama penyidik KPK menggeledah kantor Basarnas di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. Dalam penggeledahan itu, mereka menyita barang bukti berupa transaksi pencairan cek, dokumen pengadaan barang, dan rekaman kamera pengawas atau CCTV.
Penggeledahan tersebut merupakan tindak lanjut dari keputusan TNI yang menetapkan Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus dugaan suap dalam pengadaan barang di Basarnas. Henri menjabat Kepala Basarnas periode 2021-2022, sedangkan Afri Budi sebagai Koordinator Administrasi Kepala Basarnas.
Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI di Senayan, Jakarta. 4 April 2023. basarnas.go.id
Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan KPK terhadap Afri Budi dan sebelas orang lainnya, dua pekan lalu. Selanjutnya, KPK menetapkan lima tersangka. Mereka adalah Henri Alfiandi; Afri Budi; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil.
Ketiga pihak swasta tersebut diduga menyuap Henri dan Afri sebesar Rp 5 miliar dalam tiga proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Henri dan Afri juga diduga menerima suap hingga Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor sejak 2021. Setoran ini diduga merupakan bagian dari fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak proyek, yang diistilahkan sebagai “dana komando”.
Tiga hari setelah operasi penangkapan itu, Komandan Puspom, Marsekal Muda Agung Handoko, dan rombongan mendatangi gedung KPK. Di hadapan empat pemimpin KPK, menurut dua sumber Tempo di KPK, Agung menyampaikan keberatan atas penetapan tersangka Henri dan Afri Budi tersebut. Ia juga menyampaikan bahwa Puspom TNI tidak bertanggung jawab jika prajurit TNI gelap mata dan mendatangi gedung KPK ataupun para pegawainya yang menangani kasus dugaan suap tersebut.
Seusai pertemuan, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan permintaan maaf kepada TNI. Ia pun memastikan lembaganya hanya menetapkan tiga tersangka dari pihak swasta dalam perkara dugaan korupsi tersebut.
Tempo pernah meminta penjelasan Agung Handoko mengenai dugaan ancaman dan intimidasi terhadap pimpinan KPK tersebut, tapi ia enggan menanggapinya. “Silakan ditanyakan ke Kapuspen, biar satu pintu,” kata Agung singkat.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak bersama Komandan Puspom TNI Marsekal Muda, Agung Handoko seusai melakukan pertemuan koordinasi pasca operasi tangkap tangkap KPK kasus suap Kepala Basarnas, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 28 Juli 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Belakangan, Puspom TNI dan KPK berkolaborasi mengusut kasus dugaan suap tersebut. Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, mengatakan pengeledahan bersama terhadap kantor Basarnas merupakan bentuk kolaborasi kedua lembaga. Selain melakukan penggeledahan, kata Ali, penyidik kedua lembaga berbagi dokumen serta saling membantu dalam pemeriksaan saksi-saksi.
“Kami dalam waktu dekat juga akan melakukan MOU atau kerja sama lagi dengan Puspom TNI,” kata Ali.
Ali menyebutkan penyidik KPK sudah memanggil empat saksi kasus dugaan suap tersebut. Keempatnya adalah Saripah Nurseha, Sekretaris Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama; Tommy Setyawan, Marketing PT Kindah Abadi Utama; serta dua staf PT Dirgantara Elang Sakti Eka Sejati, yaitu Suri Dayanti dan Sonny Santana.
Menurut Ali, saat ini penyidik KPK dan Puspom TNI berfokus mengumpulkan bukti untuk kelima tersangka. Penyidik lembaganya menargetkan dapat menyelesaikan berkas ketiga tersangka dalam waktu empat bulan ke depan.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, berpendapat, kerja sama antara KPK dan Puspom TNI dalam penggeledahan itu sia-sia. Sebab, kedua lembaga pada akhirnya melakukan prosedur berdasarkan aturan masing-masing.
“Kalau tidak di bawah satu kendali, tidak satu substansi, tidak satu timeline, maka tidak terjadi koneksi,” kata Julius.
Menurut Julius, KPK seharusnya mengendalikan penyidikan kasus dugaan suap tersebut agar tidak terjadi disparitas perlakuan terhadap tersangka. Ia khawatir pemisahan itu akan mengakibatkan bobot tuntutan terhadap terdakwa nantinya berbeda-beda. “Nanti ada yang tuntutannya lemah, ada yang tinggi,” kata dia.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mendorong KPK dan Puspom TNI membentuk tim koneksitas dalam menyidik kasus dugaan suap pejabat Basarnas ini. Keberadaan tim koneksitas akan menghindari perbedaan perlakuan terhadap para tersangka, baik dari unsur sipil maupun militer.
”Meski sudah proses penyidikan, belum terlambat untuk segera membuatnya,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, dengan adanya tim koneksitas, KPK dapat mengendalikan dan memimpin penyidikan. Lalu tim koneksitas yang akan mengarahkan para tersangka untuk diadili di peradilan umum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Korupsi Basarnas ini merugikan kepentingan umum, bukan kepentingan militer. Jadi, bukan diadili di peradilan militer,” kata Zaenur.
Ia menilai peradilan umum lebih menjamin akuntabilitas karena publik bisa melihat dan mengikuti proses persidangan di pengadilan. Berbeda dengan peradilan militer yang cenderung tidak transparan.
HENDRIK YAPUTRA | JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo