PENGANUT Islam di tengah penduduk asli Jepang, syahdan, masih di bawah 100 ribu. Tapi minat kaum cendekiawannya pada Islam meningkat dalam dasawarsa ini. Kemudian, sekitar 130 sarjana yang tergabung dalam 17 tim dan dipimpin 7 guru besar kini menyebar ke berbagai kota di pelosok negeri berpenduduk Islam. Selama tiga tahun mereka akan meneliti bagaimana dan mengapa kota-kota itu tumbuh sebagai "daerah muslim". Di Indonesia, penelitian dipusatkan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penelitian bertema urbanisme (madiniyyah) dalam Islam. Biayanya sekitar 100 juta yen, ditanggung oleh Monbusho, Departemen Pendidikan, Ilmu, dan Kebudayaan Jepang. Kata Dr. Mitsou Nakamura, dari Universitas Chiba, penelitian yang dilakukan para sarjana nonmuslim itu terdorong oleh motivasi eksistensial. "Jika intelektual itu diperkukuh dengan temuan akademis, mungkin dari dalam akan muncul penganut Islam," ujar antropolog itu pada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Islam diteliti karena ia muncul di Timur Tengah, wilayah yang sejak dari Mesopotamia menyimpan sejarah urbanisasi terpanjang di dunia. Selama ini, dalam literatur, soal itu hanya ada di catatan kaki. Padahal, kata Yuzo Itagaki di Universitas Tokyo, Mei lalu, proses Islamisasi telah menawarkan titik pisah bagi kita, dari pemikiran modernisasi yang bercorak Westernisasi. Seperti hampir semua negara Dunia Ketiga, Jepang menentang penjajahan dan orientalisme alias Barat. Menurut Nakamura, 54 tahun, yang dua pekan lalu berceramah di IKIP Muhammadiyah Jakarta, kaum orientalis melukiskan Islam sebagai pelimpahan atau cabang dari tradisi yudaisme Kristen. Islam dilihat dari masyarakat dan sejarahnya, bukan dari sumber ajarannya. Awalnya orang Jepang juga sama: mempelajari Islam untuk kepentingan politis dan ekonomis. "Ketika Jepang mengirim ekspansi militer ke Indonesia, mereka bahkan mencari tahu jumlah dan tradisi kiai atau partai Islam," ujar pemeluk Protestan itu, seperti dikutip Bambang Aji dari TEMPO. Saat oil shock tahun 70-an, Jepang lalu mempererat hubungan politik dengan negara-negara Islam di Timur Tengah. Kini Jepang hendak membagi semangat antipenjajahan, antara lain dengan menolak tcoriteori dari Barat. Orientalisme itu, misalnya dianggapnya berbahaya karena menyebarkan "salah paham" tentang Islam. Jepang, yang konon "pernah termakan salah paham" itu, mencoba memperbaiki citranya dengan penelitian. sembari meniru politik etiknya Belanda dulu sebagai ralat. Tapi di tengah mayoritas penduduknya yang beragam. Shinto -- sekarang berdoa untuk Kaisar Hirohito yang sedang gering -- Jepang meluangkan kebebasan beragama. Islam tumbuh bertahap seabad silam. Pada 1893 orang Jepang pertama yang masuk Islam konon Abdul Khalil T. Yamada. Dan di saat minyak Timur Tengah menjadi daya tarik dunia (1970-an), sekitar 40 ribu orang memeluk Islam. Tak soal sejauh mana keislaman mereka. Apalagi dengan cara Dr. Shawqi H. Futaki, yang berdakwah di Klinik Muslim, Shinjuku, di jantung Kota Tokyo, yang tak memungut bayaran, asal pasien yang berobat ke situ mau masuk Islam. Selain dikritik, kasus klinik Futaki itu sempat disidangkan ke pengadilan. Futaki pada 1974 mendirikan Kongres Islam Jepang (JMA). Dari sini, lalu lahir partai Islam Dai San Tai (Generasi Ke-3) pada 1979, dengan anggota sekitar 50 ribu. Seorang di antara angota JMA adalah Ali Abe. Ia bekas hakim tinggi dan kini pengacara. Tiga tahun lalu ia menerbitkan buku dakwah berbentuk kartun. "Ini menarik, agar kaum muda mau mengerti dan membaca Islam," kata Abdussalam alias Ichisaburo Morita, Wakil Koordinator Dewan Organisasi Islam (CIOJ) di Jepang. Satu lagi organisasi resmi adalah Asosiasi Muslim Jepang, di Yoyogi Shibuya, Tokyo. Anggotanya baru beberapa ratus. Selain itu, tumbuh pula organisasi tak resmi seperti Asosiasi Kebudayaan Islam (Tokyo), Institut Quran Suci (Kyoto), Pusat Pendidikan Islam (Tokushima), Masyarakat Islam (Tamakomai, Hokaido). Semua mereka itu Suni, kecuali Asosiasi Persaudaraan Islam Jepang (Kyoto) yang dekat ke Iran alias Syiah -- selain simpati pada Khomeiniisme. "Tapi mereka menerjemahkan tulisan dan pidato Khomeini itu hanya karena ingin tahu," kata Nakamura. Ahmadie Thaha & Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini