E.Z. Muttaqien, Ketua Majelis Ulama Indonesia
Istilah negara Islam sebenarnya bukan istilah akidah, tapi
politik. Bagi umat Islam sendiri, negara Islam secara politis
ini tidaklah penting. Yang penting adalah bagaimana bisa
sebanyak mungkin melaksanakan ajaran Islam dalam hidupnya, baik
secara pribadi maupun dalam masyarakat.
Sekarang ini saya merasakan ajaran Islam ini sudah mulai
dilaksanakan secara berangsur-angsur. Umpamanya gubernur
mengeluarkan peraturan pelaksanaan mengenai zakat fitrah dan
pemerintah pusat melarang segala bentuk perjudian. ltu kan
artinya pelaksanaan ajaran Islam. Bahkan menurut saya, seluruh
pembangunan yang berazaskan ridho Allah itu pembangunan Islam
namanya.
Jadi menurut saya, kita jangan terus-terusan melibatkan diri
pada istilah negara Islam itu. Dan saya pikir demikian juga yang
dikehendaki oleh mayoritas umat Islam Indonesia.
Kecurigaan akan masih adanya niat untuk mendirikan negara Islam
itu tetap ada karena secara sosiologis yang memimpin negara kita
sekarang adalah mereka yang dulunya pernah terlibat dalam
pertempuran dengan DI/TII. Jadi pantas kalau sekarang dalam hati
mereka masih ada hal yang tersisa dari pengalaman lama itu.
Tapi kecurigaan itu mungkin juga muncul karena upaya kaum
komunis untuk memisahkan dua kekuatan terpokok di Indonesia ini:
ABRI dan Islam. Caranya dengan menumbuhkan rasa saling
mencurigai, dan yang paling mudah adalah dengan menghembuskan
"isu" negara Islam itu.
Padahal bagi republik ini, ABRI dan Islam bagaikan hutan dan
harimaunya. Kalau saja harimaunya keluar dari hutan, keduanya
akan mati harimaunya ditembak dan hutannya dibabat orang. Begitu
juga kalau umat Islam berpisah dengan ABRI, saya kira republik
ini akan kehilangan tulang punggung.
Saya ingin menghimbau agar kecurigaan itu dihilangkan saja.
Sebab kalau tidak, saya khawatir nantinya seperti seorang istri
yang terus menerus mencurigai suaminya kawin lagi. Padahal
tidak. Karena tidak tahan dicurigai terus, sang suami akhirnya
ya kawin lagi saja. Saya khawatir, munculnya berbagai kelompok
kecil yang ekstrim itu karena tidak tahan terhadap kecurigaan
yang dilontarkan.
Hussein Umar, Ketua Umum PII (1969-1973) dan saat ini staf di
Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat.
Konsep negara Islam sekarang ini sudah telanjur dijadikan tema
sentral politik di kalangan yang tidak suka terhadap konsep itu
untuk memukul umat Islam. Kalangan ini sebetulnya kurang
demokratis melihat kondisi sidang konstituante di saat konsep
itu dilemparkan oleh kelompok Islam.
Padahal Konstituante itu dibentuk sebagai forum tempat
memperbincangkan masalah dasar negara secara konstitusional.
Bahwa sesudah forum berakhir, tentu semua pihak tunduk pada UUD
1945. Namun sayangnya sikap kelompok Islam dalam Konstituante
itu kemudian dijadikan alat untuk memukul umat Islam,
seolah-olah mereka tidak rela hidup di bawah UUD 1945.
Menurut pendapat saya, mereka yang menghubungkan sikap umat
Islam dulu dengan aspirasi sekarang sangat keliru. Sebab kita
bisa melihat bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.
Tapi umat Islam jangan dipaksa untuk iman pada Pancasila
sebagaimana mereka iman pada Quran dan Sunnah Nabi. Keimanan
terhadap Wahyu dan Rakyll jelas berbeda. Menteri Agama Alamsyah
sendiri sering menekankan agar agama jangan dipancasilakan.
Menurut perkiraan saya mungkin ini juga dimaksud agar Pancasila
itu jangan pula diagamakan. Sebab dalam penjabaran nilai-nilai
Ketuhanan misalnya, umat Islam sudah otomatis melaksanakannya.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Ketua Umum PB HMI periode 1951-1953,
sekarang berpraktek sebagai pengacara.
Islam tidak pernah memerintahkan supaya mendirikan negara Islam.
Mungkin aspirasi untuk mendirikan negara berdasar Islam masih
ada di kalangan kecil tertentu. Dan mereka perlu kita dakwahi.
Masyumi dulu pun belum punya konsepsi kongkrit tentang apa itu
negara berdasarkan Islam meskipun usaha itu diperjuangkan secara
parlementer. Kalau Masyumi saja tak punya, apalagi mereka yang
hendak menempuh usaha itu secara ilegal.
Jumlah umat Islam yang mayoritas tidak mesti berarti lantas
harus mendominasi. Umat Islam sebagai mayoritas kan tetap
diperhitungkan. Masalah politik harus di tangan umat Islam
adalah lain. Dulu kelompok Islam juga pernah punya kekuasaan.
Tapi buktinya kan belum bisa mempergunakan kekuasaan itu.
Saya merasa saat ini umat Islam tidak dipojokkan. Kalaupun ada
umat Isslam yang merasa dipojokkan, tentang dong! Asal pakai
saluran hukum. Islam kan punya jiwa heroik, punya sikap jihad.
Kalau tidak berhasil itu karena pimpinannya yang lembek.
Teropong saja mereka itu.
Jusuf Hasjim, Anggota F-PP di DPR dan Ketua I PB-NU.
Sejak fusi Partai Persatuan Pembangunan pada 1973, tidak pernah
ada rapat atau pertemuan yang menyinggung masalah negara Islam.
Jangankan dibicarakan, disinggung sekali pun tidak pernah
walaupun dalam rapat tertutup sekalipun.
Malah karena ada semacam trauma agar jangan sampai dituduh ke
sana, PPP sampai memperkecil kontaknya dengan negara-negara
Islam dan Arab. Di kalangan NU sendiri tidak pernah ada yang
terlibat, misalnya dalam Komando Jihad. NU tidak pernah
terlibat usaha-usaha yang menunjuk pada kekerasan. Pak Idham
Chalid sendiri sering mengemukakan tamsil tentang negara Islam
dan orang Islam di dalamnya: "Lebih baik minyak samin cap babi
daripada minyak babi cap onta . . ."
Dalam NU ada dua pedoman untuk warganya: Menjadi warganegara dan
Muslimin yang baik. Dari situ (terlihat) dalam hal mematuhi
undang-undang negara dan ajaran Islam, antara agama dan negara
tak terpisahkan.
Moh. Roem, Bekas Wakil Ketua Masyumi dan pernah menjabat Wakil
Perdana Menteri.
Sejak semula tidak ada aspirasi di kalangan umat Islam untuk
mendirikan negara Islam. Tidak ada dalam tujuan Masyumi
perkataan mendirikan negara Islam. Yang ada ialah: menyusun
masyarakat yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Masyumi
bertujuan mewujudkan negara hukum berdasarkan atas ajaran-ajaran
Islam.
Intisari tujuan itu sudah termuat dalam azas tujuan Serikat
Dagang Islam dulu, juga pada Muhammadiah yang didirikan pada
1912. Jadi tujuan Masyumi meneruskan yang sudah ada. Negara
hukum maksudnya di dalam negara ada hukum yakni hukum negara
yang dibikin oleh parlemen. Kita tidak menjalankan Islam sebagai
hukum.
Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 menurut
saya tidak menyimpang dari ajaran Islam. Tidak ada satu pasal
pun dalam UUD 45 yan melanggar ketentuan ajaran Islam.
Sejak orang mengakui Islam sebagai agamanya, atau sejak ia
dilahirkan sebagai orang Islam, sudah ada kewajiban untuk hidup
sesuai dengan ajaran Islam. Apakah itu tercantum dalam UUD atau
tidak, kewajiban itu tetap ada. Islam itu kan way of life.
Kalau di dalam masyarakat kehidupan kita sudah sesuai dengan
ajaran Islam, itu sudah cukup. Saya pribadi tidak punya
cita-cita mendirikan negara Islam. Negara yang sesuai dengan
ajaran Islam itu berbeda dengan negara Islam. Nabi sendiri tidak
menamakan negaranya negara Islam, malah tidak memberi nama sama
sekali.
Alfian, Direktur Lembaga Riset Nasional, LIPI.
Di zaman kolonial Islam lewat Sarekat Islam (SI) pernah tampil
sebagai alternatif baru untuk menentang penjajah. Waktu itu
orang Indonesia bisa menerima Islam sebagai alat pemersatu. Tapi
pada perkembangan lebih lanjut terjadi perselisihan dalam
organisasi itu, hingga muncul Si Hijau dan Si Merah. Sejak
itulah terjadi gejala saling curiga antara mereka yang beragama
Islam tapi memiliki aliran politik yang berbeda.
Sejak itu pula terjadi apa yang disebut pertentangan ideologi.
Mereka yang beraliran Marxis dan juga yang lain tidak bisa
menerima konsep Islam sebagai alat pemersatu atau landasan
perjuangan. Mereka ini kemudian mencari konsep lain. Pencarian
ini akhirnya melahirkan UUD 45 yang juga diperjuangkan dan
disepakati kelompok Islam.
Tapi di tahun 1950-an sistem politik membuka kesempatan berbagai
ideologi untuk bertanding. Ini terjadi pada saat masyarakat kita
belum mendalami Pancasila. Akibatnya kesepakatan di tahun 1945
dicairkan kembali. Mereka, yang sebelum Pancasila lahir sudah
terbentuk oleh nilai-nilai agama Islam tentu saja menginginkan
adanya ideologi Islam, atau kasarnya negara Islam.
Ketelanjuran kita membuka kesempatan bertanding secara ideologis
itu menyebabkan berbagai pertentangan ideologi dalam masyarakat
kita. Dan itu pula yang memperbanyak munculnya berbagai
kecurigaan dan kekhawatiran dalam berbagai hal.
Akibatnya, meski sesudah 1959 Orde Baru semua pihak sepakat
mendukung Pancasila dan UUD 1945, pengalaman masa lalu masih
berpengaruh pada yang mengalami: bahwa pernah ada golongan yang
menginginkan negara berdasar Islam, bahkan pernah terjadi
pemberontakan bersenjata. Sedang sebagian besar pemimpin,
politisi dan mereka yang memegang jabatan sekarang adalah mereka
yang mengalami suasana pertentanan ideologis itu.
Nurcholis Madjid, Bekas Ketua Umum HMI (1967-1971) dan saat ini
tengah menyelesaikan tesis doktornya di Pusat Studi Islam,
Universitas Chicago.
Saya tidak melihat gagasan negara Islam sebagai seluruhnya salah
atau benar. Saya melihat Pancasila diterima rakyat Indonesia.
Saya juga tidak melihat gagasan negara Islam tidak berhasil pada
sidang Dewan Konstituante. Bagi saya Pancasila sebanding dengan
Konstitusi Madinah pada zaman Rasulullah dalam hal akomodasinya
terhadap golongan bukan Islam.
Pancasila sendiri amat menguntungkan umat Islam karena membuka
kesempatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang dimuliakan Islam
dalam masyarakat Indonesia. Itu sebabnya saya berkeyakinan bahwa
yang penting bagi umat Islam Indonesia bukanlah mendirikan
negara Islam tapi memberi warna Islam, mengisi Republik
Indonesia dengan perbuatan dan tindakan yang dijiwai nilai
Islam.
Daripada berbicara tentang gagasan negara Islam yang abstrak
itu, mengapa kita tidak sibuk dengan misalnya, masalah
ketidakadilan dan kemiskinan yang masih diderita kebanyakan
rakyat kita?
Yang harus diperjuangkan adalah suatu masyarakat Islam, suatu
masyarakat Indonesia yang di dalamnya sebanyak mungkin
diterapkan nilai-nilai Islam oleh umat Islam sendiri. Dan itu
bukan negara Islam. Untuk mencapai itu kegiatan tidak perlu
sepenuhnya lewat partai-partai yang secara formal membawa nama
Islam. Ini untuk mencegah suatu partai mengaku sebagai penyuara
tunggal aspirasi umat Islam. Yang lebih penting di sini adalah
organisasi dakwah, pendidikan dan sosial seperti Nahdlatul
Ulama, Muhammadiah, Dewan Dakwah Majelis Ulama dan sebagainya.
Yang penting di sini bukan benderanya, tapi perbuatan atau
amalnya.
Akbar Tanjung, Ketua Umum KNPI dan bekas Ketua Umum HMI
(1971-1973).
Kecurigaan bahwa umat Islam masih tetap ingin mendirikan negara
Islam barangkali muncul dari wajah politik yang ditampilkan
sementara tokoh mubalikh selama ini. Yang dimaksud wajah politik
di sini misalnya: kotbah atau ceramah keagamaan yang terlalu
berat ke masalah politik praktis. Kalau yang mereka kemukakan
soal amar makruf nahi mungkar, ya yang ditonjolkan soal nahi
mungkar-nya.
Kalau saat ini masih ada kelompok yang mencita-citakan ingin
mendirikan negara Islam, itu hanya suatu ilusi. Coba saja,
kekuatan apa yang akan mereka pergunakan sekarang ini?
Untuk menetralisasikan kecurigaan ini, jalan paling baik adalall
dengan memperbanyak dialog umat Islam dengan pemerintah.
Sementara umat Islam sendiri harus dapat memperlihatkan diri
mereka bisa memberi kontribusi yang besar terhadap pembangunan
bangsa dan negara.
Imaduddin, Dosen ITB yang sedang belajar Teknik Industri di lowa
State University, Amerika Serikat.
Jelas umat Islam merasa bahagia dengan Pancasila dan UUD 1945.
Cita-cita Islam bisa jalan di bawah naungan Pancasila dan UUD
1945, kalau itu dijalankan secara jujur dan murni.
Saya bukan orang politik. Saya tidak giat di politik karena
saya tidak percaya kemenangan Islam akan datang dari bidang
politik. Kebangkitan Islam akan muncul dari bidang ilmu dan
teknologi. Saya yakin sekali tentang ini.
"Isu" tentang negara Islam itu cerita lama. Sudah lama umat
Islam tidak lagi memikirkan negara Islam. "Isu" negara lslam
(sengaja) ditiup-tiupkan terus untuk memojokkan umat Islam. Mana
ada pemimpin Islam yang bicara tentang negara Islam?
H. Endang Saifuddin Anshari, Bekas anggota pimpinan PB PII dan
Dosen ITB dan Universitas Padjadjaran.
Menurut hipotesa saya, sampai sekarang ini (jumlah) kelompok
Islami konstan kira-kira separuh rakyat Indonesia. Melihat
kondisi obyektif itu, para pengamat sejarah menyimpulkan: negara
Islam maupun negara anti-lslam telah tidak dapat didirikan di
Indonesia ini.
Masalah Islam atau Pancasila sebagai dasar negara bagi kelompok
Islam sudah lama selesai dan merupakan masa lampau. UUD 1945
sudah diberlakukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang antara
lain memahatkan hubungan historis, ideal dan spiritual antara
Piagam Jakarta dan Pancasila. Ini tidak bakal terhapus oleh
kekuatan apapun juga. Tambahan pula dekrit tersebut telah
diterima secara aklamasi pada 22 Juli 1959 oleh DPR yang 100%
pilihan rakyat, 44% di antaranya mewakili kelompok Islam.
Tujuan hidup setiap Muslim sama: terwujudnya pribadi dan
masyarakat yang Islami. Di dalam bernegara, seorang Muslim tetap
terikat jiwanya pada tujuan ini. Soal papan nama dan etiket merk
tidak penting. Yang penting isi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini