DARI mana asal kata Negara Islam di Indonesia? "Kata-kata itu
berasal dari Kartosnwiryo," kata Moh. Natsir pada TEMPO pekan
lalu. Menurut Natsir perkataan Darul Islam atau Negara Islam
belum atau tidak ada pada sekitar tahun 1930-an. Waktu itu
pergerakan politik terpecah. "Soekarno mencari kemerdekaan
berdasar kebangsaan sedang saya mengatakan berdasar Islam," ujar
Natsir.
"Perpecahan" itu rupanya tidak mutlak. Itu terbukti pada
sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Tatkala itu para anggota terpecah menjadi dua kelompok utama:
kelompok kebangsaan dipimpin Soekarno dan Hatta, dan kelompok
Islam terdiri dari para ulama terkemuka.
Masalah utama waktu itu adalah mengenai dasar negara Indonesia
yang akan segera didirikan: Pancasila atau Islam? Kompromi
kemudian tercapai lewat suatu "modus" hasil karya Panitia
Sembilan, tanggal 22 Juni 1945. Hasil itu kemudian terkenal
sebagai Piagam Jakarta. Kunci kompromi adalah dicantumkannya
kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" dalam rancangan Preambule UUD.
Rumusan Piagam Jakarta itu ternyata batal masuk dalam Pembukaan
UUD. Menurut Bung Hatta dalam memoarnya, tanggal 17 Agustus 1945
sore datang seorang opsir Angkatan Laut Jepang menemuinya. Ia
mengatakan, tercantumnya kalimat yang mewajibkan pemeluk Islam
menjalankan syariatnya merupakan diskriminasi terhadap golongan
minoritas. Wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang
dikuasai Angkatan Laut Jepang berkeberatan, dan memilih akan
keluar dari RI jika kalimat tersebut dipertahankan.
Hatta esok harinya membicarakan hal ini dengan beberapa ulama
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Mereka, demi keutuhan
negara, setuju menghilangkan kalimat tersebut. Hari itu juga
rancangan UUD disahkan berlaku.
Masalah itu kemudian terbenam selama perjuangan bersenjata
mempertahankan kemerdekaan. Muncullah kemudian tokoh
Kartosuwiryo.
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo lahir di Cepu pada 1905. Bapaknya
seorang Mantri Candu bernama Kartosuwiryo Pendidikan S.M.
Kartosuwiryo cukup tinggi, tamat Europese Lagere School dan
sempat 4 tahun menjadi mahasiswa Sekolah Dokter Jawa (NIAS). Ia
pernah masuk berbagai organisasi, antara lain Jong Java, Jong
Islamieten Bond dan PSII. Ia pernah menjadi sekretaris pribadi
H.O.S. Tjokroaminoto, Pemimpin PSII waktu itu.
Akibat Perjanjian Renville pada 1948, wilayah Rl yang secara
defacto dikuasai Belanda harus dikosongkan. Maka tentara RI pun
diharuskan hijrah. Tapi tentara tidak resmi seperti Hizbullah
dan Sabilillah enggan meninggalkan kantung-kantung mereka.
Kartosuwiryo, yang waktu itu memimpin salah satu pasukan tak
resmi itu, tegas menolak. Malah kantung-kantung yang
ditinggalkan pasukan TNI diisi pasukannya.
Penerusan perlawanan terhadap Belanda itu mendapat restu
pimpinan TNI. Namun tatkala pasukan Siliwangi kemudian merembes
kembali ke Jawa Barat, terjadi kontak senjata dengan pasukan
Kartosuwiryo. Tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo
memproklamasikan berdirinya "Negara Islam Indonesia" yang
dilengkapi dengan Tentara Islam Indonesia.
Alasan Kartosuwiryo NII berdiri sebagai lanjutan Negarai
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang telah jatuh dan bubar setelah
Belanda menyerbu Yogyakarta.
Setelah pengakuan kedaulatan, pemerintah RI beberapa kali
berusaha mengadakan pendekatan dengan Kartosuwiryo. Namun selalu
gagal. Sementara itu pasukan TII Kartosuwiryo terus melancarkan
teror bersenjata di Jawa Barat. Baru 3 Juni 1962 sore praktis
perlawanan bersenjata RI berakhir, tatkala S.M. Kartosuwiryo, 57
tahun, tertangkap di sebuah gubuk tersembunyi di hutan Gunung
Rakutak yang gelap. Dalam keadaan terbaring sakit ia
menandatangani surat perintah menyerah pada seluruh anak buahnya
yang masih tersebar di Jawa Barat. Kemudian ia menyalami perwira
Siliwangi yang berhasil mengejar dan mencarinya, Letda Suhanda
dari Batalyon 328 Kujang.
Perlawanan bersenjata DI/TII Kartosuwiryo selama 13 tahun pada
pemerintah ternyata membekas kuat pada TNI. Ditambah lagi dengan
berbagai pemberontakan bersenjata yang juga memakai nama DI/TII
seperti gerombolan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Daud
Beureuh di Aceh. Agaknya ini yang menjadi akar pertama
kecurigaan pada aspirasi mendirikan negara Islam di Indonesia.
Kecurigaan itu terus, melalui pemberontakan PRRI/Permesta yang
melibatkan beberapa tokoh Islam -- walaupun pergolakan itu
berwarna kedaerahan, dan tak ada sangkut pautnya dengan Islam.
Kemacetan dalam sidang Konstituante di tahun 1959 menegaskan
kecemasan terhadap cita-cita "Negara Islam".
Munculnya berbagai kelompok kecil ekstrim dalam zaman Orde Baru
yang bertujuan membentuk negara Islam tambah memperburuk
suasana, sekalipun para ulama Islam berkali-kali menyatakan
kelompok tersebut hanya merupakan kelompok sempalan dan tidak
mewakili aspirasi umat Islam.
Berbagai pendekatan yang belakangan terjadi antara pemerintah
dan para pemimpin Islam adalah usaha memperbaiki keadaan. Tapi
agaknya benar ucapan Dahlan Ranuwihardjo. "Adanya tuduhan bahwa
masih ada keinginan mendirikan negara Islam itu karena umat
Islam tidak banyak ngomong, bahwa pikiran itu sudah lama
ditinggalkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini