Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pada Mulanya: Sekarmaji Kartosuwirjo

Kata-kata negara islam di indonesia berasal dari s.m. kartosuwiryo. perkataan darul islam atau negara islam belum atau tidak ada pada sekitar tahun 1930-an. (nas)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI mana asal kata Negara Islam di Indonesia? "Kata-kata itu berasal dari Kartosnwiryo," kata Moh. Natsir pada TEMPO pekan lalu. Menurut Natsir perkataan Darul Islam atau Negara Islam belum atau tidak ada pada sekitar tahun 1930-an. Waktu itu pergerakan politik terpecah. "Soekarno mencari kemerdekaan berdasar kebangsaan sedang saya mengatakan berdasar Islam," ujar Natsir. "Perpecahan" itu rupanya tidak mutlak. Itu terbukti pada sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Tatkala itu para anggota terpecah menjadi dua kelompok utama: kelompok kebangsaan dipimpin Soekarno dan Hatta, dan kelompok Islam terdiri dari para ulama terkemuka. Masalah utama waktu itu adalah mengenai dasar negara Indonesia yang akan segera didirikan: Pancasila atau Islam? Kompromi kemudian tercapai lewat suatu "modus" hasil karya Panitia Sembilan, tanggal 22 Juni 1945. Hasil itu kemudian terkenal sebagai Piagam Jakarta. Kunci kompromi adalah dicantumkannya kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam rancangan Preambule UUD. Rumusan Piagam Jakarta itu ternyata batal masuk dalam Pembukaan UUD. Menurut Bung Hatta dalam memoarnya, tanggal 17 Agustus 1945 sore datang seorang opsir Angkatan Laut Jepang menemuinya. Ia mengatakan, tercantumnya kalimat yang mewajibkan pemeluk Islam menjalankan syariatnya merupakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang berkeberatan, dan memilih akan keluar dari RI jika kalimat tersebut dipertahankan. Hatta esok harinya membicarakan hal ini dengan beberapa ulama anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Mereka, demi keutuhan negara, setuju menghilangkan kalimat tersebut. Hari itu juga rancangan UUD disahkan berlaku. Masalah itu kemudian terbenam selama perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan. Muncullah kemudian tokoh Kartosuwiryo. Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo lahir di Cepu pada 1905. Bapaknya seorang Mantri Candu bernama Kartosuwiryo Pendidikan S.M. Kartosuwiryo cukup tinggi, tamat Europese Lagere School dan sempat 4 tahun menjadi mahasiswa Sekolah Dokter Jawa (NIAS). Ia pernah masuk berbagai organisasi, antara lain Jong Java, Jong Islamieten Bond dan PSII. Ia pernah menjadi sekretaris pribadi H.O.S. Tjokroaminoto, Pemimpin PSII waktu itu. Akibat Perjanjian Renville pada 1948, wilayah Rl yang secara defacto dikuasai Belanda harus dikosongkan. Maka tentara RI pun diharuskan hijrah. Tapi tentara tidak resmi seperti Hizbullah dan Sabilillah enggan meninggalkan kantung-kantung mereka. Kartosuwiryo, yang waktu itu memimpin salah satu pasukan tak resmi itu, tegas menolak. Malah kantung-kantung yang ditinggalkan pasukan TNI diisi pasukannya. Penerusan perlawanan terhadap Belanda itu mendapat restu pimpinan TNI. Namun tatkala pasukan Siliwangi kemudian merembes kembali ke Jawa Barat, terjadi kontak senjata dengan pasukan Kartosuwiryo. Tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya "Negara Islam Indonesia" yang dilengkapi dengan Tentara Islam Indonesia. Alasan Kartosuwiryo NII berdiri sebagai lanjutan Negarai Proklamasi 17 Agustus 1945 yang telah jatuh dan bubar setelah Belanda menyerbu Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan, pemerintah RI beberapa kali berusaha mengadakan pendekatan dengan Kartosuwiryo. Namun selalu gagal. Sementara itu pasukan TII Kartosuwiryo terus melancarkan teror bersenjata di Jawa Barat. Baru 3 Juni 1962 sore praktis perlawanan bersenjata RI berakhir, tatkala S.M. Kartosuwiryo, 57 tahun, tertangkap di sebuah gubuk tersembunyi di hutan Gunung Rakutak yang gelap. Dalam keadaan terbaring sakit ia menandatangani surat perintah menyerah pada seluruh anak buahnya yang masih tersebar di Jawa Barat. Kemudian ia menyalami perwira Siliwangi yang berhasil mengejar dan mencarinya, Letda Suhanda dari Batalyon 328 Kujang. Perlawanan bersenjata DI/TII Kartosuwiryo selama 13 tahun pada pemerintah ternyata membekas kuat pada TNI. Ditambah lagi dengan berbagai pemberontakan bersenjata yang juga memakai nama DI/TII seperti gerombolan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Daud Beureuh di Aceh. Agaknya ini yang menjadi akar pertama kecurigaan pada aspirasi mendirikan negara Islam di Indonesia. Kecurigaan itu terus, melalui pemberontakan PRRI/Permesta yang melibatkan beberapa tokoh Islam -- walaupun pergolakan itu berwarna kedaerahan, dan tak ada sangkut pautnya dengan Islam. Kemacetan dalam sidang Konstituante di tahun 1959 menegaskan kecemasan terhadap cita-cita "Negara Islam". Munculnya berbagai kelompok kecil ekstrim dalam zaman Orde Baru yang bertujuan membentuk negara Islam tambah memperburuk suasana, sekalipun para ulama Islam berkali-kali menyatakan kelompok tersebut hanya merupakan kelompok sempalan dan tidak mewakili aspirasi umat Islam. Berbagai pendekatan yang belakangan terjadi antara pemerintah dan para pemimpin Islam adalah usaha memperbaiki keadaan. Tapi agaknya benar ucapan Dahlan Ranuwihardjo. "Adanya tuduhan bahwa masih ada keinginan mendirikan negara Islam itu karena umat Islam tidak banyak ngomong, bahwa pikiran itu sudah lama ditinggalkan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus