Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Riwayat Sebuah Ide (Atau Merk)

Riwayat sebuah ide untuk mendirikan "negara islam" kongres hmi yang berlangsung di bandung tgl 23 april-1 mei '81 mengingatkan pada th 1985-an ketika kalangan hmi menolak ide "negara islam". (nas)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kongres HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di Bandung -- 23 April s/d 1 Mei ini. Ini adalah kongres ke-14 organisasi mahasiswa Islam terbesar. Anggotanya sekitar 130 ribu atau kira-kira 30% jumlah penuntut ilmu di universitas, menurut pengurus besarnya. Bahkan kalau benar 40% mahasiswa di Indonesia tidak memasuki ormas mahasiswa apa pun (menurut Nurcholish Madjid, bekas ketua umum HMI akhir 1960-an yang kini berada di AS), HMI merupakan ormas mahasiswa terbesar. Yang lebih menarik: para alumnusnya, yang boleh dikatakan berada di semua sektor swasta dan pemerintahan, mewakili bermacam jenis "pandangan". Di sini misalnya ada tokoh seperti Barli Halim, bekas ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang kini dubes di Prancis. Ada Akbar Tanjung, Ketua Umum KNPI. Juga Menmud Urusan Pemuda Abdul Gafur. Juga Ridwan Saidi, anggota DPR dari F-PP. Mar'ie Muhammad, direktur Persero Departemen Keuangan. Lukman Hakim, bekas ketua umum DM-UI yang menonjol dalam demonstrasi menjelang Sidang Umum MPR 1978. Dan jangan dilupakan misalnya Ahmad Tirtosudiro, bekas Kabulog. Dengan kata lain, yang pertama menonjol dalam HMI adalah independensinya -- berbeda dengan ormas-ormas Islam lainnya. "Memang sudah merupakan ketentuan konstitusi dalam HMI," kata Abdullah Hehamahua, ketua umum yang sedang dicarikan penggantinya lewat kongres. Bahkan berita terakhir yang diterima dari kongres ketika laporan ini diturunkan mengabarkan: lima komisariat Ul (Fakultas-fakultas Kedokteran, FIPIA, Teknik, Sastra, Ekonomi), menyatakan melepaskan diri dari keterikatan Pengurus Cabang maupun PB. Soal ini memang belum jelas benar. Kelima komisariat basis tersebut mengemukakan antara lain faktor kehidupan organisasi yang dinilai "sudah menyimpang dari nafas keislaman." Tapi juga soal independensi itu--yang dianggap "tidak lagi dicerminkan". Betapapun HMI dalam perjalanannya (sejak 1947), lebih banyak menunjuk pada sesuatu yang adem, yang moderat. Berbeda dengan bayangan yang lazim tentang angkatan muda Islam yang panas. Bahkan ekstrim. Contoh yang menyolok ialah yang ditunjukkan bekas Ketua PB HMI Nurcholish Madjid dalam sebuah ceramah di tahun 1976, di depan para sarjana ilmu sosial tentang Indonesia di Madison, Wisconsin, AS. Di tahun 1953, kata Nurcholish, mulai jelas sikap sementara pemimpin HMI yang menolak gagasan 'negara Islam', yang menjelang pemilu 1955 jadi tema kampanye Masyumi. Isu 'negara Islam' (atau tepatnya: negara 'berdasar' Islam, dan itu memang berbeda), paling mengesankan memang ketika muncul dalam Konstituante setelah pemilu, tahun 1959. Dalam medan konstitusional itu, kepada semua fraksi ditawarkan memilih dasar negara, dalam usaha penyempurnaan UUDS 1950. Dan di sana partai-partai Islam memilih dasar 'negara Islam'. Ketika terjadi kemacetan, Presiden Soekarno menawarkan gagasan kembali ke UUD '45. Kelompok Islam menolaknya. Presiden pun mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD '45 -- yang disetujui oleh 100% anggota DPR (terdiri dari 40% kalangan Islam). Dan Konstituante dibubarkan. Dasar Pancasila dipilih. Setelah itu isu negara Islam sebenarnya selesai. Apalagi karena, seperti dikatakan KH Masjkur, sesepuh NU dan bekas menteri agama, bekas ketua Fraksi, Golongan Islam di Konstituante, pernah memimpin Bagian Pertahanan Masjumi di masa revolusi dan kini wakil ketua DPR/MPR, "Pancasila itu merupakan ajaran Islam yang terkandung." Ajaran Islam itu kalau dirumus-rumuskan, maksudnya, ya klop Pancasila itu. Masjkur sendiri menuturkan bahwa 'dasar Islam' dalam Konstituante dulu itu sebenarnya "hanya sebagai name board saja." Seperti juga kata Moh. Roem, bekas wakil ketua PP Masjumi, "Itu otomatis saja, karena kita waktu itu ditawari, sedang kita orang Islam. Seperti membaca bismillah." Tentu saja, umat Islam bukan tak ingin ajaran Islam mendapat konkritisasinya dalam kehidupan sehari-hari -- dan itulah sebabnya ada riwayat Piagam Jakarta. Tapi yang juga menonjol adalah: gaimana sikap menghadapi kasus seperti Dl Kartosuwiryo (lihat box). Moh.Natsir, bekas Ketua Umum Masyumi yang tidak mau banyak bicara itu, menuturkan bagaimana ia dulu bersama Sri Sultan Hamengku Buwono diutus oleh Bung Hatta, Wakil Presiden, untuk menyelesaikan masalah Negara Pasundan dan DI. Natsir kebagian DI-nya. Cara yang ditempuhnya adalah pendekatan -meskipun gagal. Kiai Masykur dalam pada itu, sebagai Menteri Agama tahun 1953, menyelenggarakan rapat ulama di Puncak untuk masalah DI itu. Bahan-bahan fatwa dikumpulkan oleh KH Djunaidi ayah kolumnis TEMPO Mahbub Djunaidi. Ketua Pengadilan Tinggi Islam itu mengumpulkan kitab "sebanyak dua truk". Setelah empat hari empat malam, rapat akhirnya bisa memutuskan hukum: mengangkat Soekarno sebagai waliyul amridl dlaruuriy bisy syaukah (pemegang perkara secara darurat dengan kekuasaan penuh). Dengan legitimasi agama atas Bung Karno itu, mereka yang memberontak lantas dianggap bughat, dan sah ditumpas. "Lalu saya datangi Bung Karno, dan saya bilang. Bung Karno sekarang diuji secara hukum, mampu apa tidak. Ternyata Bung Karno kemudian melakukan penumpasan." Nampaknya itu menggambarkan, DI -- atau kelompok-kelompok mini lainnya yang bikin ribut -- sebenarnya berada di seberang kalangan besar Islam. Apalagi bila diingat mayoritas besar muslimin seperti yang diwakili NU dan anak-anaknya. Ini adalah mayoritas yang diam, yang sebenarnya damai. Dua buah isu yang menyebabkan kalangan NU agak guncang adalah, tak lain, soal Rencana Undang-Undang Perkawinan, 1974 dan soal aliran kepercayaan di Sidang Umum MPR 1978. Tapi ide negara Islam? Kata Abdullah Hehamahua, Ketua Umum HMI itu: "Saya yakin sebagian besar umat Islam Indonesia sekarang ini tidak punya niatan untuk mendirikan itu. Yang sekarang diinginkan," katanya, "juga tentunya oleh semua umat beragama lain, adalah mendirikan masyarakat tempat kita bisa melakukan kehidupan agama dengan baik."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus