ADA kongres HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di Bandung -- 23
April s/d 1 Mei ini. Ini adalah kongres ke-14 organisasi
mahasiswa Islam terbesar. Anggotanya sekitar 130 ribu atau
kira-kira 30% jumlah penuntut ilmu di universitas, menurut
pengurus besarnya. Bahkan kalau benar 40% mahasiswa di Indonesia
tidak memasuki ormas mahasiswa apa pun (menurut Nurcholish
Madjid, bekas ketua umum HMI akhir 1960-an yang kini berada di
AS), HMI merupakan ormas mahasiswa terbesar.
Yang lebih menarik: para alumnusnya, yang boleh dikatakan berada
di semua sektor swasta dan pemerintahan, mewakili bermacam jenis
"pandangan".
Di sini misalnya ada tokoh seperti Barli Halim, bekas ketua
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang kini dubes di
Prancis. Ada Akbar Tanjung, Ketua Umum KNPI. Juga Menmud Urusan
Pemuda Abdul Gafur. Juga Ridwan Saidi, anggota DPR dari F-PP.
Mar'ie Muhammad, direktur Persero Departemen Keuangan. Lukman
Hakim, bekas ketua umum DM-UI yang menonjol dalam demonstrasi
menjelang Sidang Umum MPR 1978. Dan jangan dilupakan misalnya
Ahmad Tirtosudiro, bekas Kabulog.
Dengan kata lain, yang pertama menonjol dalam HMI adalah
independensinya -- berbeda dengan ormas-ormas Islam lainnya.
"Memang sudah merupakan ketentuan konstitusi dalam HMI," kata
Abdullah Hehamahua, ketua umum yang sedang dicarikan
penggantinya lewat kongres.
Bahkan berita terakhir yang diterima dari kongres ketika laporan
ini diturunkan mengabarkan: lima komisariat Ul
(Fakultas-fakultas Kedokteran, FIPIA, Teknik, Sastra, Ekonomi),
menyatakan melepaskan diri dari keterikatan Pengurus Cabang
maupun PB.
Soal ini memang belum jelas benar. Kelima komisariat basis
tersebut mengemukakan antara lain faktor kehidupan organisasi
yang dinilai "sudah menyimpang dari nafas keislaman." Tapi juga
soal independensi itu--yang dianggap "tidak lagi dicerminkan".
Betapapun HMI dalam perjalanannya (sejak 1947), lebih banyak
menunjuk pada sesuatu yang adem, yang moderat. Berbeda dengan
bayangan yang lazim tentang angkatan muda Islam yang panas.
Bahkan ekstrim.
Contoh yang menyolok ialah yang ditunjukkan bekas Ketua PB HMI
Nurcholish Madjid dalam sebuah ceramah di tahun 1976, di depan
para sarjana ilmu sosial tentang Indonesia di Madison,
Wisconsin, AS. Di tahun 1953, kata Nurcholish, mulai jelas sikap
sementara pemimpin HMI yang menolak gagasan 'negara Islam', yang
menjelang pemilu 1955 jadi tema kampanye Masyumi.
Isu 'negara Islam' (atau tepatnya: negara 'berdasar' Islam, dan
itu memang berbeda), paling mengesankan memang ketika muncul
dalam Konstituante setelah pemilu, tahun 1959. Dalam medan
konstitusional itu, kepada semua fraksi ditawarkan memilih dasar
negara, dalam usaha penyempurnaan UUDS 1950. Dan di sana
partai-partai Islam memilih dasar 'negara Islam'. Ketika terjadi
kemacetan, Presiden Soekarno menawarkan gagasan kembali ke UUD
'45. Kelompok Islam menolaknya. Presiden pun mengeluarkan Dekrit
kembali ke UUD '45 -- yang disetujui oleh 100% anggota DPR
(terdiri dari 40% kalangan Islam). Dan Konstituante dibubarkan.
Dasar Pancasila dipilih.
Setelah itu isu negara Islam sebenarnya selesai. Apalagi karena,
seperti dikatakan KH Masjkur, sesepuh NU dan bekas menteri
agama, bekas ketua Fraksi, Golongan Islam di Konstituante,
pernah memimpin Bagian Pertahanan Masjumi di masa revolusi dan
kini wakil ketua DPR/MPR, "Pancasila itu merupakan ajaran Islam
yang terkandung."
Ajaran Islam itu kalau dirumus-rumuskan, maksudnya, ya klop
Pancasila itu. Masjkur sendiri menuturkan bahwa 'dasar Islam'
dalam Konstituante dulu itu sebenarnya "hanya sebagai name board
saja." Seperti juga kata Moh. Roem, bekas wakil ketua PP
Masjumi, "Itu otomatis saja, karena kita waktu itu ditawari,
sedang kita orang Islam. Seperti membaca bismillah."
Tentu saja, umat Islam bukan tak ingin ajaran Islam mendapat
konkritisasinya dalam kehidupan sehari-hari -- dan itulah
sebabnya ada riwayat Piagam Jakarta. Tapi yang juga menonjol
adalah: gaimana sikap menghadapi kasus seperti Dl Kartosuwiryo
(lihat box). Moh.Natsir, bekas Ketua Umum Masyumi yang tidak mau
banyak bicara itu, menuturkan bagaimana ia dulu bersama Sri
Sultan Hamengku Buwono diutus oleh Bung Hatta, Wakil Presiden,
untuk menyelesaikan masalah Negara Pasundan dan DI. Natsir
kebagian DI-nya. Cara yang ditempuhnya adalah pendekatan
-meskipun gagal.
Kiai Masykur dalam pada itu, sebagai Menteri Agama tahun 1953,
menyelenggarakan rapat ulama di Puncak untuk masalah DI itu.
Bahan-bahan fatwa dikumpulkan oleh KH Djunaidi ayah kolumnis
TEMPO Mahbub Djunaidi. Ketua Pengadilan Tinggi Islam itu
mengumpulkan kitab "sebanyak dua truk". Setelah empat hari empat
malam, rapat akhirnya bisa memutuskan hukum: mengangkat Soekarno
sebagai waliyul amridl dlaruuriy bisy syaukah (pemegang perkara
secara darurat dengan kekuasaan penuh).
Dengan legitimasi agama atas Bung Karno itu, mereka yang
memberontak lantas dianggap bughat, dan sah ditumpas. "Lalu saya
datangi Bung Karno, dan saya bilang. Bung Karno sekarang diuji
secara hukum, mampu apa tidak. Ternyata Bung Karno kemudian
melakukan penumpasan."
Nampaknya itu menggambarkan, DI -- atau kelompok-kelompok mini
lainnya yang bikin ribut -- sebenarnya berada di seberang
kalangan besar Islam. Apalagi bila diingat mayoritas besar
muslimin seperti yang diwakili NU dan anak-anaknya. Ini adalah
mayoritas yang diam, yang sebenarnya damai. Dua buah isu yang
menyebabkan kalangan NU agak guncang adalah, tak lain, soal
Rencana Undang-Undang Perkawinan, 1974 dan soal aliran
kepercayaan di Sidang Umum MPR 1978.
Tapi ide negara Islam? Kata Abdullah Hehamahua, Ketua Umum HMI
itu: "Saya yakin sebagian besar umat Islam Indonesia sekarang
ini tidak punya niatan untuk mendirikan itu. Yang sekarang
diinginkan," katanya, "juga tentunya oleh semua umat beragama
lain, adalah mendirikan masyarakat tempat kita bisa melakukan
kehidupan agama dengan baik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini