Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA Eva Kusuma Sundari langsung meninggi ketika ditanya mengenai rencana pembangunan gedung baru di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini memang sejak mula menyatakan penolakannya atas proyek senilai Rp 1,138 triliun itu.
Ia tampak kesal waktu mendengar rapat konsultasi pimpinan Dewan dan fraksi-fraksi, Jumat pekan lalu, memutuskan tetap melanjutkan proyek ini. ”Aku kaget sekali,” katanya ketika dihubungi beberapa jam setelah keputusan itu diumumkan.
Seperti halnya beberapa anggota Dewan lain, yang meminta peninjauan ulang proyek ini, Eva bukannya tak setuju peningkatan sarana kerja bagi para wakil rakyat dan stafnya, yang jumlahnya membengkak. Ia bahkan terlibat sejak awal di dalam Tim Peningkatan Kinerja DPR, yang salah satu tugasnya merancang ulang kompleks political venues kawasan Senayan, yang luasnya 72,8 hektare.
Kompleks itu meliputi seluruh lahan yang pada 1965 dipersiapkan bagi Conference of The New Emerging Forces oleh Presiden Sukarno. Selain Gedung MPR/DPR dan Dewan Perwakilan Daerah, yang menempati lahan 28 hektare, ada kantor TVRI, Taman Ria, dan Manggala Wanabakti. ”Tapi semuanya jadi kacau karena ada semacam sabotase dalam prosesnya,” Eva bercerita.
Sebelum sampai pada bagian sabotase itu, kisah rencana membangun gedung baru ini sebetulnya bisa ditarik ke belakang hingga 2005. Ketika itu, serombongan tim dari Badan Urusan Rumah Tangga DPR berkunjung ke luar negeri untuk membanding-bandingkan kantor wakil rakyat di beberapa negara. ”Bagaimana caranya agar anggota DPR bisa berdaya guna, biar enggak bego-bego amat,” kata Dewi Jakse, Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga periode 2004-2009.
Dari situ mereka tahu ternyata para wakil rakyat di Singapura atau Inggris mampu bekerja lebih baik karena didukung fasilitas lengkap dan para anggota staf ahli yang cakap. Sebaliknya, di DPR kita, kinerja tiap anggota hanya ditopang bantuan satu sekretaris dan satu anggota staf ahli.
Tahun berikutnya, satu tim kerja yang terdiri atas perwakilan setiap fraksi ditugasi menyusun rekomendasi yang diperlukan untuk memperbaiki kualitas Dewan. Salah satu usul konkretnya adalah penambahan tenaga ahli menjadi lima orang untuk setiap anggota. Dengan demikian, ruang kerja lama seluas 32 meter persegi per anggota itu dianggap tak lagi memadai, sehingga perlu kantor yang lebih longgar.
Proses diteruskan pada 2007 dengan membentuk Tim Peningkatan Kinerja DPR. Anggotanya 30 orang, mewakili setiap fraksi, plus pemimpin yang dipegang langsung oleh Agung Laksono sebagai Ketua DPR saat itu. Tim lalu dibagi lagi berdasarkan empat poin rekomendasi ”reformasi DPR”.
Salah satunya adalah tim kecil yang diketuai Darul Siska dari Fraksi Golkar, dengan anggota Eva Kusuma Sundari, Alvin Lie, Junisab Akbar, Lukman Hakim Saifuddin, dan lain-lain. Tugasnya menjadi pengarah bagi penyusunan grand design kompleks parlemen.
”Kami ingin menata sebuah kawasan yang kelak bisa menjadi penanda dan ciri khas yang monumental buat bangsa ini,” Darul Siska menjelaskan misi timnya. ”Karena itu, kami berniat melibatkan sebanyak mungkin pihak dengan menggelar sayembara.” Pelibatan publik sejak awal dalam proses ini diharapkan bisa mengikis kemungkinan penolakan atas proyek ambisius itu.
Rapat-rapat pun digelar untuk mempersiapkan sayembara itu. Mereka juga menyepakati pemberian dana Rp 22,5 juta kepada pemenang pertama sampai ketiga. ”Itu untuk ongkos pembuatan maket gedung yang nantinya akan dipresentasikan di depan kami. Belum ada anggaran untuk desainnya,” Darul menuturkan.
Di tengah proses persiapan itu, rupanya Sekretariat Jenderal DPR tak kalah sibuk dengan agenda sendiri. Mereka bahkan telah melangkah jauh dengan mengumumkan pelelangan untuk memilih konsultan pada Juni 2008. Pekerjaan yang ditawarkan meliputi review master plan, analisis mengenai dampak lingkungan, dan audit struktur Gedung Nusantara untuk menghasilkan block plan kawasan MPR/DPR. Pemenang lelang yang ditentukan pada Oktober tahun itu adalah PT Virama Karya (Persero), dengan nilai proyek Rp 4,15 miliar.
Sekretariat Jenderal juga melelang pekerjaan konsultan perencana dan manajemen konstruksi. PT Yodya Karya (Persero) memenangi lelang perencanaan gedung 27 lantai dengan nilai Rp 4,48 miliar. Adapun pekerjaan manajemen senilai Rp 360 juta diberikan kepada PT Ciria Jasa.
Langkah cepat Sekretariat Jenderal dengan ”mencuri start” inilah yang dianggap kelewatan oleh tim pimpinan Darul Siska. Apalagi ketika tiba-tiba PT Yodya Karya muncul dengan desain gedung dan maket yang sudah jadi saat tim itu baru akan berkonsultasi dengan Agung Laksono di ruang pimpinan di Gedung Nusantara III. Peristiwa itu terjadi pada Februari 2009. ”Bentuknya persis seperti desain yang sekarang,” ujar Darul.
Karena merasa ditelikung di tengah jalan, tim ini menolak maket yang disodorkan PT Yodya dan Sekretariat Jenderal bersama Agung. ”Saya protes ke Sekjen, enggak bisa kayak gitu,” kata Eva. ”Saya tolak saja, dan akhirnya tidak dipresentasikan,” Darul menambahkan.
Beberapa anggota Dewan yang mengetahui proses tersebut mengatakan tindakan Sekretariat Jenderal yang main potong kompas itu memang dimungkinkan secara legal. Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan DPR yang berlaku saat itu, keputusan tentang proyek pengadaan memang bisa dikeluarkan langsung Sekretariat Jenderal bersama pimpinan DPR.
Penolakan Darul dan kawan-kawan pun tak ada artinya. Itu terbukti dengan penunjukan kembali PT Yodya sebagai konsultan perencana, dengan tambahan biaya Rp 1,83 miliar, pada 2009. Juga kepada PT Ciria Jasa sebagai konsultan manajemen konstruksi, dengan tambahan ongkos Rp 14,3 juta. ”Penunjukan tersebut atas dasar pendapat teknis pekerjaan lanjutan dari Departemen Pekerjaan Umum,” kata Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Saleh. Ia tak mau menanggapi tudingan miring di balik proses itu.
Penunjukan masih berlanjut pada 2010 dengan nilai proyek yang semakin besar. Untuk PT Yodya, kontraknya menjadi Rp 3,46 miliar. Adapun PT Ciria kebagian Rp 504 juta lebih. Rancangan gedung yang semula 27 lantai pun dimelarkan menjadi 36 lantai.
Berkebalikan dengan mulusnya langkah Sekretariat Jenderal, semua rencana tim yang diketuai Darul berakhir berantakan. Sampai akhir masa jabatan mereka, September 2009, sayembara itu tak pernah terwujud. ”Itu yang saya bilang sebagai sabotase yang membajak proses,” kata Eva.
Ditemui Kamis pekan lalu, arsitek penanggung jawab di PT Yodya, Rizal Syarifuddin, mengatakan semua proses lelang dan penunjukan atas perusahaannya sudah sesuai dengan aturan. Meski begitu, tak urung keributan yang muncul di kemudian hari sempat membuatnya repot juga.
Rizal, yang juga aktif di Ikatan Arsitek Indonesia sebagai sekretaris jenderal, sempat dipanggil dalam sidang dewan kehormatan organisasi itu. Ia ditanyai tentang proyek yang ia kerjakan bersama DPR. ”Hasilnya, tidak terjadi pelanggaran kode etik, baik sebagai anggota IAI maupun konsultan,” ujarnya.
Agung Laksono, yang kini menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, mengatakan sayembara tak jalan karena waktunya tidak mengizinkan. Tapi ia mengelak ketika disebutkan desain gedung itu sudah lengkap sejak masa kepemimpinannya di DPR. ”Kami belum membicarakan detail teknis, apalagi angka-angka,” katanya. Karena itu, ia mengaku kaget saat tahu biaya pembangunannya mencapai 1,138 triliun. ”Saya terkejut. Apa perlu sampai seperti itu?”
Tomi Aryanto, Pramono, Febriyan, Munawwaroh, Ririn Agustia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo