Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ide itu bermula dari segelas kopi yang pecah. Pada pertengahan 2011, Mohammad Fajar Rajasa Fikri sedang berada di kamar kosnya di Asempayung, Surabaya. Mahasiswa Jurusan Teknik Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya itu secara tidak sengaja menyenggol segelas kopi kesukaannya. Prang.... Hatinya mangkel. Bukan sekadar karena kopinya tumpah, ia juga harus beres-beres lantai kamar.
Pada saat hendak membereskan tumpahan kopi itulah Fikri terpana. Di lantai, tumpahan kopi dan ampasnya membentuk pola seperti bunga. Dari situlah pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, itu kemudian tertarik menjadikan ampas kopi sebagai bahan untuk membuat karya seni. "Kenapa enggak dibuat permanen dengan model suka-suka," kata Fikri saat ditemui Tempo di Surabaya, Rabu malam pekan lalu. Lantaran terbilang unik dan baru, ide ini lolos mendapat dana hibah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan pada 2012.
Tertantang mewujudkan mimpinya itu, Fikri putar otak. Ia melakukan segala macam cara agar ampas kopi bisa dinikmati menjadi karya seni. Ia sempat mencampurkan ampas kopi dengan berbagai lem agar bisa menempel di medium kaca atau keramik. Bolak-balik gagal. Tiga bulan boleh dibilang tanpa hasil, ia sempat berpikir mengibarkan bendera putih. Namun dosennya mendesak agar Fikri jalan terus. Pesan sang dosen terang-benderang: mau enggak mau, idemu harus jadi karena sudah mendapat dana hibah.
Sekitar Mei 2012, Fikri bisa bernapas lega. Sebab, ia menemukan cara agar ampas kopi bisa menempel permanen. Maka terciptalah kreasi seni yang dinamai coffee paste. Secara harfiah, coffee paste berarti kopi tempel. "Nama ini dipilih karena copy-paste lekat dengan tugas-tugas mahasiswa," katanya.
Inilah teknik yang ditemukan Fikri. Ampas kopi ditabur tipis dan merata di atas kertas putih berukuran A4 yang telah dibubuhi lem khusus. Terciptalah kertas dengan lapisan ampas kopi padat di salah satu permukaannya. Sekilas, bentuknya mirip amplas. Kertas bertabur bubuk kopi itu dikeringkan dalam suhu kamar selama satu-dua hari.
Setelah kering, barulah Fikri berkreasi dengan memotong menurut pola yang diinginkan, lalu ditempelkan dengan lem khusus ciptaannya ke medium yang dikehendaki. Misalnya keramik, kaca, porselen, kertas, kayu, melamin, atau bahan lain yang memiliki permukaan datar dan halus. Jika ingin tampil dengan warna lain, tak melulu hitam pekat khas kopi tubruk, solusinya gampang: ampas kopi yang sudah mengering dipoles dengan pewarna atau cat.
Selama ini Fikri menempelkan ampas kopi ke bermacam medium sehingga menjadi vandel atau plakat. Barang ini lazim dijadikan hadiah ulang tahun, suvenir wisuda, kado pernikahan, plakat juara lomba, dan lain-lain. Bentuknya pun "nano-nano", dari kotak, bulat, elips, hingga berbentuk hati. Untuk pola tulisan, ia membatasi 50 karakter. Lebih dari itu akan dikenai biaya tambahan Rp 1.000 per huruf.
Ampas kopi biasanya diperoleh Fikri dari sejumlah kedai kopi. Dari 4-5 kilogram ampas kopi, Fikri bisa membuat 100 produk kopi tempel. Meski proposal produk seni dari ampas kopi diajukan bersama empat teman lain untuk mendapat dana hibah, praktis ide ini hanya digarap Fikri. Kawannya membantu dalam pemasaran dan pengelolaan media sosial.
Untuk satu karya seni kopi tempel, Fikri memasang tarif puluhan hingga ratusan ribu rupiah, tergantung tingkat kesulitannya. Vandel wisuda berdiameter 15 sentimeter, misalnya, dibanderol Rp 60 ribu. Sedangkan lukisan berpigura berharga Rp 120 ribu. Dalam sebulan biasanya Fikri mendapat 30-40 pesanan. Pembelinya bukan hanya dari Surabaya, ada juga dari daerah lain, seperti Kalimantan, Sumatera Utara, Yogyakarta, dan Depok, Jawa Barat.
Yang menarik, pembeli bisa memesan motif atau desain sesuai dengan keperluan. Hal itu pernah dilakukan oleh Dika Virginia Devintasari. Setahun lalu, saat masih menjabat Kepala Departemen Kewirausahaan di Himpunan Mahasiswa Matematika ITS, ia memesan 50-an vandel berbentuk piring kecil untuk cendera mata pembicara di sejumlah kegiatannya. "Kami minta lambang Himpunan Matematika dari ampas kopi," ujar Dika. "Ternyata pembicara juga suka."
Ide memanfaatkan ampas kopi itu menorehkan sejumlah prestasi, antara lain meraih Beasiswa Unggulan Teknologi Industri Kreatif CIMB Niaga dan menjadi juara II Business Plan Competition FTI-ITS Surabaya. Setelah Fikri dan teman-temannya lulus kuliah, kini kreasi ampas kopi itu diteruskan oleh dua pelajar sekolah menengah atas binaan Fikri. "Prospeknya masih bagus. Keunikannya menjadi daya tarik tersendiri," katanya.
Pemanfaatan ampas kopi untuk kreasi seni juga ditekuni Sasang Priyo Sanyoto, pemilik Kedai Kopi Refresho, Sidoarjo. Kedai yang didirikan pada Maret 2010 dan kini mempunyai cabang di sejumlah kota itu-antara lain Tulungagung, Medan, dan Padang-identik dengan produk lukisan berbahan ampas kopi. Sasang biasa melukis dengan ampas kopi di cangkir, gelas, asbak kaca, atau lampu hias.
Setelah bulir-bulir lembut ampas kopi ditorehkan dengan sebatang lidi, bidang yang ditorehi ampas kopi ditutup dengan pelapis kaca agar tidak lepas atau rontok. Selanjutnya dipanaskan dengan alat pres sehingga benar-benar melekat kuat. Sasang menjamin lukisan itu tak akan rontok meski cangkir diisi air yang sangat panas atau dingin. Sebuah cangkir kopi berlukisan ampas kopi dihargai Rp 50 ribu.
Sayangnya, meski sempat diminati konsumen, dalam perjalanannya, bisnis Sasang lebih banyak berkutat pada usaha kedai. Hampir di semua outlet Refresho, penjualan kerajinan ampas kopi tidak didongkrak. Alhasil, benda seni itu hanya diberikan sebagai bonus kepada pengunjung yang telah berbelanja dalam jumlah tertentu di kedai Refresho. Ia menolak anggapan bahwa faktor harga lukisan produk ampas kopi terlalu mahal sehingga produk kreasi seni tersebut tak berkembang. "Itu harga yang murah karena cangkir polosnya sudah mahal," katanya.
Dwi Wiyana, Agita S. Listyanti, Hari Tri Wasono
Di Tulungagung, Nyethe Bergaung
Pepi memiringkan cangkir penuh kopi ke tatakan dengan sebuah sendok yang diletakkan di bibir cangkir. Remaja 16 tahun itu memang tak rela jika ampas kopi ikut larut ke dalam cairan kopi yang hendak diseruputnya. Musababnya jelas: ampas kopi itu akan ia pakai untuk nyethe.
Istilah nyethe berasal dari kata dasar cethe, yang berarti ampas kopi. Salah satu yang terkenal dan sudah berlangsung bertahun-tahun adalah mengoles-oleskan cethe ke permukaan rokok hingga membentuk motif atau lukisan. Kegiatan ini lebih mirip dengan membatik, tapi medianya kertas rokok.
Walhasil, begitu minuman kopi tandas, Pepi mulai nyethe. Dengan teliti, ia menggoreskan korek kayu yang dilumuri cethe ke batang rokok. Perlahan tapi pasti, beberapa pola dibuat dengan rapi. Antara lain motif bunga, papan catur, dan sirip naga. Penampilan rokok pun menjadi unik. "Tapi akhirnya nanti diisap juga," kata Pepi sembari tertawa, Selasa pagi pekan lalu.
Pepi ditemui Tempo di kedai milik Gunadi di gang kecil di depan kantor Kelurahan Kalangbret, Tulungagung. Kedai yang dibuka olah Waris, ayah Gunadi, pada 1975 ini adalah warung kopi lawas dan menjadi salah satu tempat tongkrongan untuk nyethe. Jika sedang ramai, seratusan orang bisa nongkrong di sini. Tak jelas kapan tradisi nyethe dimulai. "Sejak Ayah membuka warung pada 1975, sudah banyak yang nyethe," kata Gunadi.
Urusan nyethe, Unit Kegiatan Mahasiswa Sekar Kusir Institut Agama Islam Negeri Tulungagung pernah dua kali menggelar lomba. Menurut Zainul Nizam, ketua panitia, penilaian didasarkan pada tingkat kesulitan menggambar dan hasil seni yang diciptakan. "Kami mengadakan lomba ini lantaran banyak seniman cethe di Tulungagung," katanya Selasa pekan lalu.
DW, HT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo