Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang Budi Mulya Menyebut Boediono
NAMA Wakil Presiden Boediono disebut berulang kali dalam sidang pembacaan dakwaan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis pekan lalu. Dakwaan yang sama mencantumkan nama enam petinggi lain dari Bank Indonesia dalam sidang kasus Bank Century tersebut.
Dalam surat dakwaan, jaksa menyebut nama Boediono sebagai pihak yang bersama-sama Budi melakukan tindak pidana. Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia juga menyetujui pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) untuk PT Bank Century.
Disebutkan juga proses penetapan bank itu sebagai bank gagal berdampak sistemik sepanjang Juli 2008-Juli 2009. Pemberian FPJP senilai Rp 689,394 miliar itu melawan hukum karena Dewan Gubernur mengubah peraturan Bank Indonesia tentang rasio kecukupan modal. Adapun mengenai penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, jaksa menyebutkan negara menderita rugi Rp 6,7 triliun dan hal itu memperkaya Budi Rp 1 miliar. Walhasil, Budi terancam hukuman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Setelah mendengar dakwaan-setebal 183 halaman-Budi Mulya mengaku dia hanya menjalankan tugas. Setelah berkonsultasi dengan pengacaranya, Budi menyatakan akan mengajukan eksepsi. Juru bicara Wakil Presiden Boediono, Yopie Hidayat, mengatakan, meski nama Boediono muncul dalam dakwaan, belum tentu dia bersalah. "Kebijakan itu untuk kepentingan negara, bukan pribadi," Yopie menegaskan.
Jerat untuk Budi dalam Kasus Bank Century
Memperkaya diri dan orang lain
Untuk diri sendiri
Untuk pemegang saham Bank Century, Hesyam Al Waraq, dan pengendali Bank Century, Rafat Ali
Untuk pemilik Bank Century, Robert Tantular
Untuk PT Bank Century
Pasal 2 ayat 1
Pasal 3
Kerugian Negara
(sesuai dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan)
Rp 689,3 miliar
Rp 6,782 triliun
Pengawal Baru Para Mantan
Senin pekan lalu, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko meresmikan pembentukan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Grup D. Terdiri atas 287 personel, pasukan ini bertugas memberi perlindungan melekat bagi mantan presiden dan mantan wakil presiden beserta keluarga mereka. Rencananya, satu tim Paspampres terdiri atas 30 orang yang siap melayani para mantan 24 jam.
Pengamanan ini, menurut Moeldoko, akan segera dikomunikasikan dengan bekas presiden dan wakil presiden. Moeldoko mengatakan penambahan grup Paspampres merupakan usul Komandan Paspampres Mayor Jenderal Doni Monardo. Pemicunya adalah hasil evaluasi yang menyatakan tak ada kepastian pasukan pengamanan bagi para mantan kepala negara dan wakilnya. Selama ini, pasukan yang bertugas mengawal hanya mengandalkan bantuan dari tiga grup.
Kehadiran grup baru itu menuai protes. Selain dianggap memboroskan biaya, jumlah pengawal yang sampai 30 personel dipandang berlebihan. Mantan wakil presiden Jusuf Kalla meminta pembentukan itu dikaji. Pengawalan yang berlebihan justru membuat tak nyaman dan mengurangi privasi.
Transaksi Mencurigakan Menjelang Pemilu
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan banyak sekali transaksi mencurigakan menjelang kampanye pemilihan umum legislatif. Menurut Wakil Ketua PPATK Agus Santoso, transaksi mencurigakan itu terlihat di luar pola kelaziman transaksi. Misalnya setoran calon legislator dalam jumlah besar kepada pengurus partai. "Ada juga setoran pengusaha ke pengurus partai," kata Agus, Rabu pekan lalu.
PPATK menyampaikan transaksi mencurigakan ini dalam rapat dengan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum pada Kamis pekan lalu. Transaksi-transaksi menyimpang tersebut akan ditelaah bersama dengan laporan dana kampanye yang diterima KPU dari partai politik-yang diverifikasi dalam pekan ini.
Sejauh ini, pelaporan akhir dana kampanye partai masih cacat administratif. Dari 12 partai politik peserta pemilu, tak semua calon legislator mau melaporkan dana sumbangan kampanye. Karena itu, Badan Pengawas Pemilu mendesak KPU mengumumkan nama calon yang belum melaporkan sumbangan kampanye.
Anas Jadi Tersangka Pencucian Uang
Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu pekan lalu, menetapkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus pencucian uang. Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., ada dua alat bukti yang ditemukan penyidik untuk menjerat Anas dalam kasus pencucian uang. Penetapan status ini juga merupakan pengembangan dari kasus gratifikasi proyek Hambalang yang menjerat Anas.
Karena itu, menurut Johan, KPK sedang menelusuri harta Anas sejak dia menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum pada 2001-2005. Ini karena Anas mundur dari KPU pada Juni 2005 dan kemudian masuk ke Partai Demokrat. "Sejauh mana harta diusut itu sesuai dengan undang-undang yang disangkakan," kata Johan.
Anas mengaku sudah mendengar dirinya dijerat pasal pencucian uang sebulan lalu. Ia mengungkapkan telah mendengar status baru itu jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Anas malah memilih menanggapinya secara berkelakar kepada wartawan. "Itu TPPU alias Pencucian Untung," ujarnya.
Gugatan Uji Materi Antasari Azhar Lolos
Duduk di samping istrinya, Ida Laksmiwati, Antasari Azhar terlihat berulang kali menyeka air mata. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu tak bisa menahan haru saat Hamdan Zoelva, ketua majelis hakim Mahkamah Konstitusi, menyampaikan bahwa permohonan uji materi yang diajukannya dikabulkan. Putusan itu sekaligus membatalkan secara keseluruhan ketentuan Pasal 268 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal yang digugat Antasari menyangkut mekanisme pengajuan permohonan peninjauan kembali. Dalam pasal itu, disebutkan permohonan peninjauan kembali hanya bisa diajukan sekali. Menurut Antasari, pasal itu tak punya kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan konstitusi.
Antasari mengajukan permohonan itu untuk menuntut kebenaran dan keadilan karena merasa ada kriminalisasi terhadap kasusnya. Keluarga Antasari merasa yakin dia bukan dalang utama di balik pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Pihaknya mengaku telah memperoleh bukti baru atas kasus tersebut.
Antasari pernah mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung, tapi gagal. Dia pun sudah meringkuk lima tahun di penjara atas dakwaan pembunuhan Nasrudin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo