Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Wig Cantik Dusun Glatik

Usaha pembuatan rambut palsu ini sukses setelah sempat mengempis akibat lumpur Lapindo. Kuncinya, ikut model selebritas.

10 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesibukan yang "rumit" tampak di bangunan seluas sekitar 1.700 meter persegi. Belasan perempuan paruh baya menyortir gunungan rambut sintetis. Yang masih kusut disisir dengan paku besi hingga lurus dan teratur. Demikian kegiatan di rumah produksi wig dan sanggul UD Dewi Sri di Dusun Glatik, Desa Glagahsari, Kecamatan Sukorejo, Pasuruan.

"Yang ikal digunakan untuk sanggul dan wig sanggul, yang lurus untuk wig," kata Kepala Bagian Produksi UD Dewi Sri, Edi Suprapto, yang bekerja di sini sejak 2003. Sanggul dan wig sanggul membutuhkan bahan rambut sintetis ikal agar mudah dibentuk. "Rambut lurus lebih sulit dibentuk," kata Khusnul Khowatim, 39 tahun, yang telah bekerja 15 tahun di bagian produksi.

Rambut sintetis untuk sanggul ataupun wig sanggul hanya dibentuk secara manual menurut model yang diinginkan. Sedangkan bahan yang hendak dibuat rambut palsu perlu dijahit dan dirangkai sesuai dengan modelnya. Setelah dijahit dan dirangkai, bagian dalam rambut untuk wig diberi lapisan kain jaring dan plastik agar menyatu dan nyaman dipakai. Pembuatan rambut palsu memang lebih sulit sehingga harganya lebih mahal dibanding sanggul. "Membuatnya harus telaten dan tidak asal jadi," kata Pudjo Sakti, 63 tahun, pemilik UD Dewi Sri, Senin pekan lalu.

Edi Suprapto mengungkapkan setidaknya ada tiga warna bahan baku rambut sintetis-bahan baku ini masih harus diimpor-yaitu hitam, cokelat, dan merah, yang diterimanya dari pemasok.

Menurut dia, setidaknya ada 200 model sanggul dan 100 model wig yang beredar di dunia tata rias rambut. Namun model yang diproduksi disesuaikan dengan permintaan pasar dan model yang sedang menjadi tren. "Biasanya orang meniru model yang digunakan artis," katanya. Misalnya Syahrini, Ashanty, Soimah, dan Bunga Citra Lestari. Namun ada model tertentu yang selalu dicari orang, yaitu sanggul klasik Jawa.

Anak bungsu Pudjo, Dewi Kartika, 31 tahun, mengatakan sanggul dan wig sanggul produksi Dewi Sri dihargai dari Rp 7.500 hingga Rp 300 ribu. Sedangkan harga wig mulai Rp 150 ribu hingga 300 ribu. "Harga tergantung panjang-pendeknya bahan serta proses pembuatannya," kata Kartika.

Produk yang paling mahal adalah wig untuk mereka yang botak, yang disebut man wig. Harganya bisa Rp 2 juta, tergantung banyaknya bahan yang dipakai. Orang yang ingin memesan man wig biasanya datang ke showroom karena ukuran kepala dan botaknya harus diukur dengan cermat.

Setiap bulan Dewi Sri memproduksi 2.000-3.000 buah sanggul dan wig sanggul serta 100 wig. Perusahaan ini memasok pedagang di pasar besar, agen kosmetik, dan salon di Jawa Timur serta kota-kota besar lain di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Saban dua pekan, Dewi Sri mengirimkan paket pesanan. Transaksi bervariasi dari Rp 1 juta hingga Rp 6 juta. Selain melayani penjualan grosir, Dewi Sri melayani eceran. Gerai pamernya yang berada sekompleks dengan tempat produksi kerap menjadi tujuan wisata para istri pejabat sipil dan militer, juga pesohor.

Erika Widiastuti, 40 tahun, adalah salah satu pelanggan Dewi Sri. Menurut karyawan swasta di Surabaya ini, Dewi Sri sangat kaya model, sehingga pembeli memiliki beragam pilihan. "Mau model yang dikuncir pun ada. Pokoknya, one stop shopping. Kalau pesan pun gampang," kata Erika.

Harganya juga terbilang murah. Yang termurah hanya Rp 20 ribu, Rp 50 ribu per unit. "Saya sampai kalap," ujarnya Rabu pekan lalu. Erika kerap mengajak temannya berbelanja ke Dewi Sri. Teman-teman Erika pun kembali bertandang ke sana.

1 1 1

Pudjo mendirikan UD Dewi Sri bersama istrinya, Sri Iswari, 54 tahun. Mereka bukan pemain baru di dunia wig. Sebelum nekat berusaha sendiri, pasangan suami-istri dengan lima anak itu bekerja di pabrik pembuatan wig PT Inhamex di kawasan Ngagel, Surabaya, mulai 1969 hingga 1975. "Pabriknya sudah bubar," kata lelaki kelahiran Ponorogo itu.

Lama jadi buruh pabrik, tebersit keinginan Pudjo mendirikan usaha sendiri. "Daripada jadi suruhan bos di pabrik." Tak sekadar bermimpi, Pudjo dan Sri memutuskan keluar dari pabrik. Keduanya mendirikan usaha pembuatan sanggul kecil-kecilan di Surabaya. Karena berkualitas, produk sanggulnya diminati pasar dan pelanggan di Surabaya serta kota lain di Jawa Timur.

Pada 1983, Pudjo menamai usahanya Dewi Sri Hair Collection. Dewi adalah nama anak bungsunya, Dewi Kartika. Sedangkan Sri diambil dari nama istrinya.

Karena usahanya terus berkembang, Pudjo dan Sri juga membuat wig serta wig sanggul. Meski begitu, pada 1987 keduanya memutuskan hengkang ke Dusun Glatik, Pasuruan. "Di Surabaya ribet dengan prosedur izin usaha." Glagahsari adalah kampung leluhur Sri. Agaknya mereka berjodoh dengan Pasuruan. Pada 2003, Dewi Sri resmi terdaftar sebagai usaha dagang.

Omzet Dewi Sri pun lumayan. Sebelum Sidoarjo dan Pasuruan dihajar lumpur Lapindo pada Mei 2006, omzet bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Tapi, sejak lumpur meluap dan mengganggu akses transportasi, pendapatan Dewi Sri anjlok hingga sekitar Rp 30 juta per bulan.

Tapi Pudjo tak putus harapan. Sejak tiga bulan lalu, ia berusaha mendongkrak omzet dengan mendirikan usaha yang sama di kampung asalnya di Desa/Kecamatan Bungkal, Ponorogo. "Ekspansi ini untuk melayani permintaan pasar di wilayah Madiun, Ponorogo, dan sekitarnya," kata Pudjo. Sembilan orang dipekerjakan menggarap wig, sanggul, dan wig sanggul.

Pudjo dan Sri kini berfokus membesarkan usaha di Ponorogo. Sedangkan usaha di Pasuruan diserahkan kepada anak-anaknya. Mereka terlibat dalam usaha ini, baik dalam pembuatan maupun pemasaran. "Anak-anak saya ada yang ikut memproduksi hingga membantu menangani administrasi penjualan."

UD Dewi Sri di Desa Glagahsari, Kecamatan Sukorejo, Pasuruan, kini dikelola anak bungsunya, Dewi. Anak kedua, Rohmat Yulianto, membuka usaha pembuatan rambut sambungan (hair extension) dari bahan rambut sintetis ataupun rambut asli di Desa Sambirejo, Kecamatan Rejoso, Pasuruan.

Endri Kurniawati, Ishomuddin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus