Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ribuan Warga Terdampak Banjir di Konawe Utara Mengungsi

Sekitar 3.700 warga di Konawe Utara terdampak banjir sejak 7 Juli 2020.

11 Juli 2020 | 04.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Personel Basarnas Kendari membantu warga mengungsi dari lokasi banjir dengan sampan di Desa Puwanggudu, Kecamatan Asera, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Sabtu, 20 Juni 2020. ANTARA/Humas Basarnas Kendari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Kendari - Banjir besar kembali melanda Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, ditengah wabah pandemic Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini sedikitnya 3.741 warga yang tersebar di 19 desa di enam kecamatan terendam banjir sejak pekan lalu atau tepatnya pada 7 Juli 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka berada di Kecamatan Andowia, Kecamatan Wiwirano, Kecamatan Langgikima, Kecamatan Landawe, Kecamatan Oheo dan Kecamatan Asera 

Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Konut, Djasmidin, mengatakan banjir terparah menerjang Kecamatan Andowia dan Kecamatan Asera.

Di tempat ini, air merendam rumah-rumah warga sampai ketinggian 1 meter. Sebagian warga di sana bahkan sejak sepekan lalu sudah mengungsi ke hunian sementara, yang dibangun Pemda Konawe Utara.

Ini lokasi yang sama untuk korban banjir medio 2019 lalu. Sejak Januari hingga Juli ini, BPBD Konut mencatat sudah tiga kali banjir menerjang wilayah yang dikenal dengan sebutan Bumi Oheo ini.

Sementara itu, ruas jalan di Kecamatan Oheo terputus karena terendam air. Ada dua titik yang terendam banjir yakni di sekitar Desa Puuhialu.

Jalan sepanjang 400 meter tidak bisa dilintasi karena ketinggian air mencapi satu meter. Lalu di Desa Sambandete ruas jalan yang terputus mencapai dua kilometer dengan ketinggian air mencapai 2 meter.

"Ini akses jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan 4 kabupaten ke Morowali Sulawesi Tengah dan sebaliknya tidak bisa dilintasi. Kondisinya sudah dari pekan lalu tidak bisa dilalui kendaraan,” terang Djasmidin yang dikonfirmasi Tempo lewat sambungan telepon dari Kendari, Jumat malam.

Putusnya akses di ruas Trans Sulawesi, praktis juga memutus akses tiga kecamatan yakni Kecamatan Wiwirano, Kecamatan Landawe dan Kecamatan Langgikima.

“Di Wiwirano beberapa desa terisolir karena jembatan putus seperti Desa Pondoa, Desa Padalere Utama dan Lamonae Utama,” tambah Djasmiddin.

Menurut Djasmiddin, salah satu penyebab banjir kali ini kembali terjadi karena curah hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur Bumi Oheo selama sepekan ini.

Ini menyebabkan beberapa sungai seperti Sungai Lalindu dan Sungai Lasolo serta sungai-sungai kecil di daerah itu tak bisa menampung air hingga akhinta meluap.

Dia merasa khawatir jika hujan terus mengguyur maka bencana banjir bandang Konut di tahun 2019 lalu bisa terulang kembali. Sejauh ini Pemda Konut pun sudah menyalurkan bantuan logisitik ke sejumlah lokasi di bantu oleh kepolisian, TNI, Basarnas dan relawan.

“Data BMKG di Konut masih akan diguyur hujan ini akan mempertinggi debit air dan kami prediksi banjir akan semakin meluas. Kami memberikan imbauan kepada warga terkait tentang dampak banjir,” kata dia. 

Pengurus Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra meyesalkan bencana banjir ini kembali terulang.

Namun, itu juga merupakan konsekuensi dari tidak ditindaklanjutinya rekomendasi dan kajian dari KLHK terkait langkah-langkah yang harus diambil pemerintah setempat perihal perbaikan kawasan hutan dan sungai.

Walhi menilai tak ada komitmen yang kuat untuk mengurangi resiko banjir yang terjadi di Konut.  

Hal itu dibuktikan dengan deforestasi kawasan hutan yang semakin meluas. Walhi mencatat di tahun 2020 ini saja 140 hektar blok Matarape - kawasan hutan di Kecamatan Langgikima kembali di buka untuk aktifitas penambangan.

Banyak kawasan hutan di Konut belum memiliki izin usaha pinjam pakai kawasan hutan atau (IUPKH). Kawasan hutan yang bisa dibuka sudah melebihi target.

Luasan wilayah Konut mencapai sekitar 500.000 hektar. Dari jumlah itu, ada sekitar 200.000 hektar, yang dipakai untuk aktifitas pertambangan. Tercatat ada 200 lebih Izin Usaha Pertambangan.

Dari jumlah itu, sekitar 70 perusahaan yang melakukan aktifitas produksi. Konawe Utara memang diketahui merupakan wilayah di Sultra dengan izin tambang terbanyak terbanyak.

“Makanya, banyak yang ajukan pinjam pakai kawasan hutan di KLHK ditolak. Daya dukung dan daya tampung lingkungan di Konut sudah maksimal tidak bisa lagi dibuka hutanya tapi faktanya illegal mining terus terjadi,” kata Saharuddin, aktivis lingkungan, yang berada di Jakarta saat dimintai penjelasan oleh Tempo Jumat malam.

Untuk itu, menurut pria yang karib disapa Udin ini, meminta pemerintah dan semua pihak yang terkait serius menangani banjir Konut sebagai penanganan jangka panjang bukan hanya sekedar membagikan bantuan.

Sebelumnya pada medio Juni 2019 lalu, banjir bandang menerjang Konawe Utara. Saat itu banjir mengakibatkan kerugian material dan non material yang tak terkira. Ribuan warga harus kehilangan tempat tinggal bahkan mereka harus bertahan hidup di huntara hingga saat ini. Fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah, jalan jembatan, sawah hingga ternak ludes disapu air bah.

 

ROSNIAWANTI FIKRI 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus