Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketika Para Ateis Terpaksa Mengisi Kolom Agama di KTP

Pengikut ateis dan penghayat kepercayaan terpaksa menuliskan agama di KTP. Agar bisa mengakses layanan publik negara.

9 Januari 2025 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Raymond Kamil (kiri) dan kuasa hukum pemohon Teguh Sugiharto menyampaikan pokok-pokok permohonan pengujian Undang-undang Administrasi Kependudukan, di ruang sidang Panel Mahkamah Konstitusi, 21 Oktober 2024. Dok. Humas Mahkamah Konstitusi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahkamah Konstitusi menolak menghapus kolom agama di KTP.

  • Para penggugat ingin mencegah diskriminasi dan persekusi akibat kewajiban mencantumkan agama di KTP.

  • Putusan MK berpotensi memperkuat diskriminasi terhadap kelompok minoritas penganut agama.

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi pada 3 Januari 2024 yang menolak gugatan menghapus kolom agama di KTP membuat Adam, warga Jakarta, cemas. Ia mengklaim sebagai ateis atau hidup tanpa pilihan agama. Menurut laki-laki 42 tahun ini, putusan MK itu makin menyulitkan mereka yang tak memilih agama dan kepercayaan. “Stigma, persekusi, dan diskriminasi terhadap ateis akan makin kuat,” katanya pada Rabu, 8 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adam pun terpaksa mencantumkan agama Kristen Protestan dalam kolom agama di KTP karena aturan memaksanya menuliskan agama di kartu identitas. Kristen Protestan adalah agama yang dipilih dan dianut orang tuanya. Adam memutuskan menjadi ateis sejak 15 tahun lalu karena merasa tak sesuai dengan kepercayaannya. Ia, katanya, ingin jujur kepada dirinya sendiri tentang pilihan agama dan keyakinan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat mengurus KTP berbasis elektronik, Adam mencoba mengosongkan kolom agama. Tapi ia mengurungkan niatnya. Ia khawatir cara itu justru akan merepotkannya saat mengurus berbagai layanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan. 

Adam merupakan Ketua Humanis Indonesia (Humanesia), komunitas yang memperjuangkan penghapusan diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak beragama dan kebebasan beragama ataupun berkeyakinan. Komunitas beranggotakan 30 orang dari berbagai latar belakang pekerjaan, umur, dan pendidikan itu berdiri sejak lima tahun lalu. Komunitas ini merupakan bagian dari Humanists International, organisasi nonpemerintah internasional yang memperjuangkan hak asasi manusia. 

Sidang putusan yang menolak gugatan tentang penghapusan kolom agama dalam catatan administrasi kependudukan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 3 Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Para hakim konstitusi menolak uji materi Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Administrasi Kependudukan, Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, serta Pasal 12 ayat 1 dan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. 

Pasal 22 Undang-Undang Hak Asasi Manusia mengatur setiap orang bebas memeluk agama dan kepercayaan masing-masing serta negara menjaminnya. Pasal 61 dan 64 Undang-Undang Administrasi Kependudukan mengatur pencantuman kolom agama dalam KTP. Lalu Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Menurut Adam, putusan MK itu menjadi penghalang bagi komunitasnya mencegah diskriminasi terhadap para ateis. Di Indonesia selama ini tak ada aturan yang secara eksplisit membatasi orang untuk tidak beragama. Tapi putusan MK tersebut akan memberikan angin segar dan menjadi senjata bagi kelompok tertentu untuk intoleran serta mempersekusi orang-orang yang tidak beragama. 

Sebagian ateis selama ini terpaksa menyembunyikan identitas mereka agar tak mendapat persekusi ataupun kekerasan dari penganut agama. Humanesia menghimpun cerita pengikut ateis yang kerap mendapat stigma sebagai kalangan yang tidak bermoral, kejam, dan komunis. 

Pengikut ateis juga sering kali mendapat penolakan dan pengusiran oleh keluarga dan lingkungan sosial. Mereka juga dipukuli, menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga karena pilihannya, kehilangan kesempatan promosi dalam pekerjaan, serta dipecat karena menyatakan diri sebagai ateis. “Hidup dalam rasa takut dan harus bersiasat supaya bisa bertahan hidup,” kata Adam. 

Kecemasan akibat putusan MK itu juga menimpa Rika Aminah Sijaya, penganut agama Baha’i. Anggota Majelis Rohani Baha’i yang bermukim di Klaten, Jawa Tengah, itu khawatir putusan tersebut akan memperkuat diskriminasi terhadap kelompok minoritas selain penganut enam agama yang diakui negara. Keenam agama itu adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Pada 2016, MK memutuskan penghayat kepercayaan masuk kolom agama di KTP. 

Perempuan 66 tahun ini mengosongkan kolom agama pada KTP. Tapi, sejak putusan MK pada pekan lalu tersebut, Rika mulai gusar. Ia khawatir harus mengisi kolom agama di KTP dengan memilih satu dari enam agama yang diakui oleh negara. 

Rika, yang terlahir dari keluarga beragama Islam di Makassar, Sulawesi Selatan, menganut Baha’i sejak umur 15 tahun. Karena tak bisa mencantumkan Baha’i, ia mengisi kolom agama di KTP-nya dengan Islam saat tinggal di Makassar. 

Ia pindah ke Yogyakarta pada 2018. Dia lantas mengurus KTP dan mengosongkan kolom agama. Dua anak Rika yang bersekolah di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama ikut pelajaran agama Kristen karena tak ada mata pelajaran agama Baha’i. “Kolom agama dalam KTP ini sangat ribet dan merepotkan,” katanya. 

Menurut Rika, putusan MK tersebut berdampak pada keponakannya yang sedang mengurus surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) di Yogyakarta untuk kebutuhan bekerja. Petugas kepolisian di Yogyakarta menuliskan kepercayaan pada formulir pengurusan SKCK. Padahal kepercayaan berbeda dengan Baha’i. “Tak ada pilihan. Terpaksa keponakan saya menerimanya,” ujar Rika. 

Ia berpendapat kolom agama pada KTP tak perlu ada, seperti di negara-negara lain. Rika pernah tinggal bertahun-tahun di sejumlah negara, di antaranya Ghana dan Timor Leste. 

Putusan MK tersebut, kata dia, akan mempertebal stigma yang dilekatkan kepada mereka, yakni kafir. Stigma kafir terhadap Baha’i kerap muncul di media sosial hingga kini. Dampaknya, penganut Baha’i tak bisa mengekspresikan keyakinannya. 

Ketua Puan Hayati Pusat Dian Jennie Cahyawati. Dok. Pribadi

Ketua Puan Hayati Pusat, organisasi perempuan penghayat kepercayaan, Dian Jennie Cahyawati, mengatakan pencantuman kolom agama pada KTP sudah selayaknya dihapus. Putusan MK itu, kata dia, melanggar hak asasi manusia karena mencampuri urusan privat warganya, yakni berkeyakinan ataupun tidak menganut agama. 

Bagi penghayat kepercayaan, kata dia, putusan itu berpotensi memperkuat diskriminasi terhadap kelompok minoritas penganut agama ataupun kepercayaan di luar enam agama yang diakui negara. “Negara makin menekan kelompok minoritas."

Pemimpin Komunitas Yahudi di Tondano, Sulawesi Utara, Rabi Yaakov Baruch, mengatakan putusan MK itu menggambarkan kemunduran penghormatan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Putusan MK itu justru bertentangan dengan Pasal 1 Undang-Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama Nomor 1 Tahun 1965 yang menyatakan, selain enam agama, ada agama-agama lain yang mendapat tempat dan penganutnya mendapat pelindungan. Rabi Yaakov selama ini mencantumkan penghayat kepercayaan pada kolom agama di KTP. 

Raymond Kamil, penggugat uji materi pasal-pasal tentang agama dan kepercayaan, tidak puas atas putusan MK tersebut. Ia mengatakan putusan itu bertolak belakang dengan ketentuan internasional karena Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCRP) yang mengatur kebebasan beragama. “Kami akan melaporkan ke Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres,” kata Raymond.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus