Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA awalnya adalah sepucuk surat seorang pensiunan gaek ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kertas empat halaman itu dibuat dengan semangat mencegah peluang korupsi. Si pengadu bukanlah aktivis yang berapi-api. Meski umurnya telah senja, 66 tahun, T.M. Pardede masih tajam mengadukan kebijakan Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf ke kantor komisi itu di Jakarta, dua pekan lalu.
Dia memang tak menuding sang menteri berbuat korup. Pardede sedang mencemaskan kebijakan pencetakan blangko dokumen kependudukan. ”Saya ingin mengingatkan Pak Menteri agar jangan sampai terjebak,” ujar bekas pejabat di Departemen Dalam Negeri itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Dia melukiskan, potensi laba di balik kebijakan itu rupanya cukup meneteskan air liur.
Dalam surat pengaduan itu, Pardede menyorot Surat Menteri Dalam Negeri bernomor 470/2839/SJ tentang pedoman harga cetak blangko dokumen penduduk. Diteken oleh Menteri Ma’ruf pada 9 November 2005, surat itu berisi perubahan pedoman harga percetakan blangko dokumen penduduk, berupa kartu keluarga, kartu tanda penduduk, buku register akta dan kutipan akta catatan sipil.
Surat edaran itu adalah pedoman patokan harga baru. Disebutkan, harga cetak KTP dari bahan kertas sekuriti termasuk plastik laminasi adalah Rp 1.500 per lembar. Harga blangko kartu keluarga Rp 3.000 per set. Harga blangko kutipan akta catatan sipil Rp 5.000 per lembar, dan harga buku register akta catatan sipil Rp 50 ribu per buku.
”Harga itu lebih mahal dari sebelumnya”, ujar Pardede. Dia lalu membandingkan pedoman harga lama pada 2003, yang dikeluarkan Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan, yang waktu itu masih dijabat Rohadi Haryanto. Surat itu juga ditujukan kepada gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh nusantara. Sejak surat itu dikeluarkan, dengan sendirinya surat lama tak berlaku lagi.
Dalam patokan harga lama, disebut harga KTP berbahan kertas sekuriti Rp 950 per lembar, dengan laminasi terintegrasi Rp 1.100 per lembar. Sementara harga blangko, dari bahan Teslin (HD 1000) Rp 2.250, dan bahan PVC Rp 2.500 per lembar. Kartu keluarga dipatok Rp 2.500 per set, kutipan akta catatan sipil Rp 3.000, dan buku register akta Rp 45 ribu.
Yang menarik, kata Pardede, dengan harga lama pun perusahaan pencetak sebetulnya masih bisa meraup laba. ”Jadi, mengapa harus ganti harga baru? Ini mencurigakan,” ujarnya lagi. Apalagi, jumlah dokumen yang bakal dicetak cukup besar. Kurang lebih ada 220 juta penduduk yang membutuhkan pelbagai dokumen penting tersebut.
Pardede menghitung, misalnya, untuk dua kali pergantian KTP sampai 2007 kelak, plus kartu keluarga dan akta kelahiran, nilai selisih harga lama dan baru adalah Rp 134 miliar.
Sebetulnya, bukan cuma soal harga saja. Ada kebijakan lain dari Menteri Ma’ruf, yaitu surat keputusan bertanggal 11 November 2005. Dalam beleid itu diputuskan semua dokumen kependudukan, demi keamanan, hanya boleh dicetak di empat percetakan sekuriti (security printing), yaitu PT Royal Standar, Aria Multi Graphia, PT Sumber Cakung, dan PT Sandiphala Arthapura. Artinya, untuk seluruh Indonesia, semua dokumen kependudukan hanya boleh dicetak di empat perusahaan itu.
Tentang penunjukan ini, percetakan sekuriti lainnya pun protes. ”Prosesnya tidak transparan,” ujar Wakil Ketua Asosiasi Percetakan Sekuriti Indonesia (Aspersindo) Pantur Silaban. Menurut dia, dengan jangkauan wilayah seluas Indonesia, seharusnya Departemen Dalam Negeri tak menunjuk cuma empat perusahaan itu. Belum lagi soal harga. Kata Pantur, dengan tetap memakai harga lama saja, meskipun tipis, percetakan sekuriti masih bisa untung.
Masih kata Pantur, karena perubahan harga itu, banyak daerah harus merogoh kocek lebih dalam. Bisa dipastikan, kalaupun tender dilakukan di daerah, tak bakal ada persaingan soal harga. Meskipun, menurut Pantur, patokan itu harga tertinggi, tapi yang bersaing hanya empat perusahaan, maka harga tak banyak turun. Berbeda kalau pemain lebih banyak. ”Harga bisa lebih hemat dan efisien,” ujar Pantur. Dia menuding kebijakan itu telah membuka pintu praktek oligopoli.
Saat ini, dalam organisasinya bergabung 27 percetakan yang sudah mendapat lisensi dari Badan Intelijen Negara melalui Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal). Menurut Ketua Pelaksana Harian Botasupal Brigadir Jenderal Lanjar Suparno, ada 33 perusahaan yang mendapat lisensi (lihat Bisnis Besar di Balik Gang Sempit). Semuanya diundang untuk ikut seleksi. Prosesnya, memang, tak lewat tender, melainkan uji kompetensi oleh tim dari Direktorat Administrasi dan Kependudukan pada Juli lalu. ”Dari 17 yang diuji, yang lolos hanya dua,” ujar Pantur. Anehnya, dalam surat keputusan menteri, yang keluar justru empat perusahaan.
Ihwal jumlah empat itu, dia sudah bertanya ke Departemen Dalam Negeri. Jawabannya, dua perusahaan tambahan itu diambil dari hasil uji kompetensi pada 2004. Pantur mengatakan, kebijakan ini agak aneh. Soalnya, spesifikasi yang dipakai pada 2004 berbeda dengan yang sekarang. ”Kami mencium ada usaha monopoli,” ujarnya.
Bukan cuma Pantur yang terbentur kebijakan menteri itu. Sejumlah perusahaan distributor dokumen sekuriti ikut teriak. Lewat Persatuan Distributor Dokumen Sekuriti Indonesia (Perdisindo), misalnya, sejumlah perusahaan distributor pemegang lisensi Botasupal juga terancam gulung tikar. Soalnya, keputusan menteri mengharuskan pekerjaan distribusi harus memakai nama dari empat perusahaan tadi.
Jadi, surat itu memberi peluang empat perusahaan memegang produksi dan distribusi sekaligus. ”Ini jelas monopoli, penguasaan dari hulu ke hilir,” kata Wakil Ketua Perdisindo Andreas Lumanto, dalam suratnya ke Menteri Dalam Negeri. Dia mengatakan, kalau kebijakan itu dijalankan, banyak perusahaan distributor harus memecat karyawan karena terancam bangkrut.
Roda protes juga bergulir ke daerah. Wakil Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo meminta Menteri Ma’ruf membatalkan saja surat keputusan itu. Pemerintah Kota Solo, kata dia, menolak harga baru blangko yang terlampau mahal dan membebani warga. Apalagi, Solo mau membuat KTP gratis bagi warga. ”Kami khawatir tak bisa melayani warga,” ujar Hadi, Rabu pekan lalu. Solo, kata dia, berencana menciptakan KTP sekaligus sebagai kartu asuransi jiwa.
Menurut Hadi, keputusan menteri tidak sejalan dengan fungsi pemerintah sebagai pelayan publik. Dia juga tak paham mengapa KTP harus pakai kertas security printing. Kalau untuk kebutuhan agar tidak terjadi pemalsuan, kata dia, sebaiknya menggunakan metode merekam sidik jari. ”Jadi, satu orang hanya punya satu KTP bersidik jari,” ujarnya.
Sampai kini, kata Hadi, belum ada penjelasan soal pengadaan blangko baru itu dari pemerintah pusat. Dia khawatir sejumlah rencana kebijakan kotanya soal pendataan penduduk akan terbengkalai. Menurut dia, meskipun memakai sistem identitas tunggal, lebih baik pengadaannya dilakukan di daerah saja. ”Kalau soal teknis saja diurus pusat, otonomi daerah bisa hilang,” ujarnya.
Walaupun begitu, toh tak semua menolak. Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip menyatakan tak ada masalah dengan kebijakan pusat itu. ”Kita ini negara kesatuan,” ujarnya, Rabu pekan lalu. Dia merasa harga yang ditetapkan itu tak terlalu mahal. Yang penting, kata dia, stok blangko itu bisa terjamin.
Di Aceh, sejumlah perusahaan yang tergabung dalam asosiasi perusahaan grafika mengirim surat ke Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias pada 9 Desember lalu. Mereka minta agar tender pengadaan blangko KTP dan kartu keluarga diberikan kepada perusahaan lokal. Soalnya, mereka mendengar selentingan bahwa ”perusahaan yang diarahkan sebagai pemenang pengadaan blangko KTP adalah PT Sumber Cakung dan pemenang blangko kartu keluarga adalah PT Arya Multi Graphia,” demikian kata surat itu.
Juru bicara BRR Aceh dan Nias, Sudirman Said, mengakui hingga Jumat pekan lalu lembaganya belum membicarakan masalah ini. Tapi, dia mengacu kepada komitmen badan itu sejak awal bergerak di Aceh bahwa, kalau bukan alasan sangat mendasar, BRR pasti lebih memilih memberdayakan pengusaha lokal. ”Soal tudingan adanya kongkalikong di balik penunjukan itu, maaf, saya tak tahu,” ujar Sudirman.
Lalu, apa kata Menteri Ma’ruf soal kisruh blangko kependudukan ini? Dengan tenang ia menjawab bahwa ia melakukan semuanya berdasarkan peraturan yang berlaku (lihat Masak, Saya Tak Percaya Mereka). Menurut dia, banyak orang salah paham dengan kebijakan itu. ”Sekali lagi, kalau yang diprotes soal harga, itu adalah harga maksimum,” ujarnya, Jumat pekan lalu. Harganya bisa turun atau bisa naik, asal tak lebih dari standar yang ditetapkan.
Soal pengadaan, kata Menteri Ma’ruf, Departemen Dalam Negeri sama sekali tak ikut campur. Semua tender akan dilakukan pemerintah daerah dengan perusahaan yang sudah lolos uji kompetensi. ”Soalnya, ini menyangkut dokumen sekuriti,” ujarnya lagi. Apalagi, dalam tiga tahun ke depan, pemerintah akan mencoba sistem identitas tunggal kependudukan. Jadi, dokumen sekuriti penting agar tak ada dua atau tiga identitas berbeda.
Lalu, mengapa hanya empat perusahaan? Tudingan lalu mengarah ke Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan, badan di dalam Departemen Dalam Negeri yang bertanggung jawab tentang hal ini. Menurut juru bicaranya, H. Budiman, keempat percetakan itu sudah lewat uji kompetensi yang ketat pada Juli silam. Dia mengatakan, semua percetakan sekuriti ikut serta dalam proses itu. Ada 26 yang ikut, tapi yang lengkap administrasinya hanya 15. ”Dari 15, kita uji lagi tinggal lima”, ujar Budiman, yang berbicara atas nama Direktur Jenderal Administrasi dan Kependudukan Rasyid Saleh.
Dari lima perusahaan itu, kata Budiman, yang lolos hanya dua, yaitu PT Sandipala Arthaputra dan Aria Multi Graphia. Masing-masing berbasis di Bekasi dan Bandung. ”Yang tiga gugur karena kita juga menguji integritasnya,” ujar Budiman. Lalu, dua percetakan lain, yaitu PT Sumber Cakung dan Royal Standard, ditunjuk karena keduanya pemenang uji kompetensi pada 2004.
Pemimpin PT Sumber Cakung, salah satu dari empat perusahaan yang diuntungkan oleh keputusan Menteri Ma’ruf, memilih untuk tak banyak bicara. ”Biarin saja, nggak apa-apa,” kata Anton Partono, Direktur Utama PT Sumber Cakung, tentang sejumlah tudingan yang mengarah ke perusahaannya.
Keputusan mengikutkan dua perusahaan itu tentu sedikit aneh. Soalnya, pada 2004 ada lima perusahaan yang lolos. Selain Sumber Cakung dan Royal Standard, yang lolos adalah juga Perum Peruri, PT Jasuindo Tiga Perkasa, dan PT Djakarta Computer Supplies. Tapi, ketiganya rupanya dianggap tak layak lagi pada tahun ini. Lalu, mengapa dua lainnya lolos?
Budiman mengatakan, soal uji integritas dipakai dalam menentukan siapa yang lolos untuk tahun ini. Tentu, alasan itu juga tak begitu terang. Soalnya, Perum Peruri yang lolos tahun lalu malah jeblok pada tahun ini. ”Apa Perum Peruri pencetak uang negara itu kurang berintegritas?” kata Pantur Silaban.
Budiman tak menjelaskan soal mengapa dua perusahaan itu yang diambil masuk dalam keputusan Menteri Dalam Negeri. Padahal, kata dia, spesifikasi dokumen kependudukan sekarang tak berbeda dengan tahun lalu. Jadi, kalau dua lainnya lolos pada tahun ini, logikanya tiga percetakan lain seharusnya diikutsertakan juga. Inilah agaknya yang menjadi sasaran protes Pantur Silaban.
Menurut Budiman, Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan memang berniat menertibkan pencetakan blangko itu. Dia mengatakan, semakin sedikit perusahaan, kian mudah pula kerja pengawasan. Soal protes yang berkembang di luar, dia justru balik menuding. ”Kami duga ada konspirasi sejumlah percetakan mengacaukan kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Nezar Patria, Purwanto, Maria Ulfah, Titis Setianingtyas (Jakarta), Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo