Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam peringatan Hari Perempuan Internasional 2025, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyoroti bahaya laten industri rokok yang dinilai semakin memperburuk kondisi perempuan di Indonesia. Tak hanya dari sisi kesehatan, IYCTC menilai rokok juga menjadi beban ekonomi dan memperkuat ketimpangan gender yang masih mengakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan Indonesia menghadapi ancaman berlapis akibat rokok, baik sebagai perokok pasif, pekerja industri tembakau, maupun sasaran strategi pemasaran. Program Manager IYCTC Ni Made Shellasih mengatakan perempuan sering kali tidak menyadari besarnya dampak yang mereka alami. "Satu dari dua laki-laki di Indonesia adalah perokok aktif, yang artinya masih banyak perempuan dan anak-anak yang terpapar asap rokok dan menghadapi risiko kesehatan serius," ujar Shella dalam keterangan resmi, Senin, 10 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampak ini bukan sekadar dugaan. Data menunjukkan bahwa dari 8 juta kematian akibat rokok, 1,2 juta di antaranya adalah perokok pasif. Lebih jauh, perempuan juga dijadikan alat pemasaran oleh industri rokok, baik sebagai Sales Promotion Girl (SPG) maupun dalam narasi iklan yang mengaitkan rokok dengan kebebasan perempuan. “Ini manipulatif. Perempuan seakan diberi kebebasan, padahal mereka justru menjadi objek eksploitasi industri ini,” ujarnya.
Tak hanya soal kesehatan, beban ekonomi akibat rokok juga dinilai semakin menekan perempuan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rokok menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah beras bagi masyarakat ekonomi kecil. Studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) juga mencatat pergeseran prioritas pengeluaran rumah tangga, di mana rokok lebih diutamakan dibandingkan kebutuhan pokok lain seperti makanan bergizi dan pendidikan anak.
"Kondisi ini memperburuk kesejahteraan perempuan, yang dalam banyak kasus harus menanggung konsekuensi ekonomi dari keputusan anggota keluarga yang merokok," kata Shella.
Sementara itu, di sektor tenaga kerja, Shella mengungkapkan perempuan yang bekerja di industri rokok kerap menghadapi upah rendah dan perlindungan kerja minim. Tak jarang, mereka juga mengalami kekerasan seksual di lingkungan kerja.
Masalah ini kian kompleks karena rendahnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan kebijakan. Campaign and Creative Lead IYCTC Isranalita Madelif Sihombing menyoroti bagaimana dominasi laki-laki dalam kabinet eksekutif membuat isu-isu perempuan kurang mendapat perhatian serius.
“Kebijakan yang pro-perempuan tidak bisa hanya sebatas angka keterwakilan perempuan di posisi strategis, tetapi harus mencerminkan keberpihakan nyata terhadap kesejahteraan perempuan,” ujar Nalita.
Dalam konteks ini, pemerintah dinilai perlu mengoptimalkan kebijakan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang bisa menjadi landasan perlindungan bagi perempuan. Namun, implementasi kebijakan semacam ini, menurutnya akan sulit terwujud tanpa keterlibatan perempuan dalam perumusan kebijakan.
"Perempuan harus menjadi aktor perubahan, bukan sekadar objek kebijakan. Tanpa itu, kesetaraan gender hanya akan menjadi wacana kosong," kata Nalita.